Mohon tunggu...
Bejok Silalahi
Bejok Silalahi Mohon Tunggu... -

ktivis Anti Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rambo Desa (Versi Lengkap)

4 Februari 2012   20:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini hari kedua aku di kampung. Razak mengajakku ke sawah. Aku sungguh menikmati.

“Sudah sangat lama, namun pematang-pematang ini tetap menyimpan jejakmu” gurau Razak

Di pematang sawah, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah. Ada yang memikul cangkul, ada pula yang membawa rantang berisi nasi dan lauk pauk. Bahkan, masih ada yang setia mengayuh sepeda ontel ke sawah.

“Ancu !, kamu masih ingat ketika kita menangkap belalang, lalu kita bakar dan menyantapnya bersama nasi,”

“masih, dan rasanya lebih nikmat daripada udang”

Sawah Razak hanya belasan meter jaraknya dari rimbunan pohon kelapa. Aku menatap dalam-dalam rimbunan pohon kelapa itu. Masih tegak berdiri. Daun-daunnya masih melambai kearahku. Razak mengajakku turun ke sawahnya.

“Sudah lama kamu tidak menginjak lumpur sawah ini Ancu. Ayo, turun” ajak Razak.

Yah, terakhir saya bermain lumpur dengan genk RAMBO DESA, saat kami memutuskan menggelar acara perpisahan. Kecuali Razak, aku dan tujuh anggota genk lainnya saat itu bersepakat menyabung nasib di kota. Atas usul Razak, kami pun menggelar pesta perpisahan dengan mandi-mandi lumpur disawah.

“Aku masih ingat yang kamu katakan saat itu Razak, bahwa dengan mandi-mandi lumpur di sawah akan mengingatkan dari mana asal kita,”

Kami menikmati berkubang di tengah sawah, ditemani suara gemerisik batang-batang padi di sawah seberang yang saling bergesekan.

Hari menjelang petang. Kami memutari jalan kampung. Meski lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa berenang. Rindu kesegaran airnya, akupun langsung menceburkan diri. Disusul Razak yang memilih melakukan salto ke sungai, seperti kebiasaannya dulu. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa puluh langkah menyusuri jalan sunyi, tiba-tiba Razak mencekal bahuku. Tangannya menunjuk rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu. Ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun