Mohon tunggu...
Bejok Silalahi
Bejok Silalahi Mohon Tunggu... -

ktivis Anti Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rambo Desa (Versi Lengkap)

4 Februari 2012   20:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuseruput kopi Borong yang dihidangkan istri Razak. Kopi lokal ini semakin nikmat saja. Sambil menyulut rokok, Razak berkata, "Kenapa tak pulang saja, Ancu ? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi keluarga kita dulu." Aku menyimak ucapan Razak. Selama ini, tidak pernah terbesit sedikitpun untuk pulang ke kampung.

Saat menuju rumah duka, Aku dan Razak banyak bercerita dan mengenang kawan-kawan lama. Mengenang masa dimana kami pernah dianggap pahlawan kecil dikampung. Di sekolah, saya punya genk berjumlah sembilan orang. Awalnya kami namakan genk sembilan. Setiap kerja PR sekolah, pasti kami lakukan bersama. Setiap ada hajatan dikampung, kami kerap dimintai bantuan, minimal menguber-uber ayam yang akan disembelih diacara hajatan. Semua kami lakukan bersama-sama. Hingga akhirnya, pak Ambo, guru kami yang berpulang, menjuluki kami “RAMBO DESA”.

“Sebenarnya kalian lebih tepat diberikan gelar, Robin Hood. Tapi karena saya gemar menonton film Rambo, maka kalian saya gelari RAMBO DESA,”, kata pak Ambo saat itu.

“Selain judul film, RAMBO DESA adalah singkatan dari nama kalian”

“Apa itu pak ?” sergah Aku ketika itu.

“RAMBO DESA adalah singkatan dari, Razak, Ancu, Munir, Bahar, Olleng, Dattulu, Emmang, Saleng dan Arif,”

Tanpa sadar saat itu kami langsung memeluk guru kami.

“Nama yang bagus,” kata Dattulu, teman kami yang paling pendek.

Nama inipun semakin melekat. Warga kampung pun semakin identik dengan Rambo Desa.

Karena gelar itulah, sehingga kami susah melupakan guru kami, pak Ambo.

Waktu telah mengubah segalanya. Sekelumit kisah teman-teman lama sudah kami kupas tuntas. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Usai berdoa di sisi almarhum Pak Ambo, kami beringsut keluar dari ruang tamu. Duduk di seberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi matahari, makin banyak pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Namun, teman-teman aku dulu tidak kutemui di rumah duka. Padahal, setiap musim lebaran tiba mereka selalu mudik. Pun, genk sembilan Rambo Desa juga tidak lengkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun