Mohon tunggu...
Beina Prafantya
Beina Prafantya Mohon Tunggu... Guru - Editor, Penggiat Pendidikan, Istri, Ibu Satu Anak

Saya mencintai dunia pendidikan dan pengembangannya, tertarik dengan dunia literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seberapa Besar Peran Bahasa dan Sastra dalam Dunia Pendidikan?

30 Juni 2021   19:24 Diperbarui: 1 Juli 2021   04:22 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diana Indrawati guru kelas III SDN 174/V Intan Jaya, Muara Papalik, Tanjab Barat. Sekolahnya berada di pedesaan transmigrasi yang penduduknya mengandalkan hasil perkebunan.(DOK. PRIBADI/DIANA INDRAWATI)

Sebagai seorang lulusan ilmu murni sastra Indonesia, saya semestinya memampukan diri membagi dan memanfaatkan ilmu yang saya peroleh dari almamater saya sebagaimana mestinya. 

Maka dengan bekal sedikit ilmu tentang bahasa dan sastra Indonesia, sejak awal saya memilih profesi sebagai guru. 

Saya berupaya konsisten membelajarkan siswa tentang ilmu bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan kadar kepahaman saya.

Sungguh itu adalah hal yang sangat berat, begitu menantang. Tantangan terbesarnya adalah popularitas bahasa dan sastra Indonesia. 

Salah seorang teman saya yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa dan sastra itu kalah pamor dengan mata pelajaran eksakta atau ilmu sosial. 

Bahasa dan sastra dianggap mata pelajaran sampingan, sekadar pengakuan sebagai seorang anak bangsa. Benarkah begitu? Jika ya, apa yang salah dari pernyataan ini?

Mari kita coba telaah dari kondisi para siswa, tentu tidak mungkin kondisi ini terjadi tanpa sebab. Bahkan, sangat mungkin ini sudah berlangsung begitu lama, termasuk ketika saya menjadi siswa. Beberapa poin yang saya temukan dari hasil analisis saya adalah sebagai berikut.

  1. Siswa belum sepenuhnya paham apa sebetulnya esensi belajar kebahasaan dan kesastraan.
  2. Baik guru maupun siswa masih memandang bahasa dan sastra dari satu sisi, yakni sebagai bidang ilmu yang seharusnya setara dengan bidang ilmu lain (silakan buka kembali buku filsafat Ilmu untuk mendalaminya). Namun, lebih jauh lagi rupanya para guru termasuk saya kerap alpa bahwa bahasa dan sastra dapat dijadikan cara atau media untuk memahami bidang ilmu lain bahkan semua ilmu.
  3. Bahasa dan sastra berada dalam kotak sebagaimana bidang ilmu lain yang juga berada dalam kotak-kotak yang berbeda. Dengan begitu, seolah pembelajaran terkesan segmental dan semakin jauh dari kesan holistik.
  4. Guru terkesan kurang menguasai ilmu bahasa dan sastra. Hal yang diajarkan cenderung terlalu banyak dan hanya berada dalam tataran permukaan saja. Padahal, siswa perlu memahami lebih mendalam.
  5. Guru masih belum sepenuhnya menunjukkan hubungan antarprasayarat dalam pembelajaran bahasa dan sastra, serta belum sepenuhnya pula menghubungkan secara logis antara teori dan praktik dalam pembelajaran kebahasaan dan kesastraan.
  6. Entah karena keterbatasan waktu, tenaga, atau hal lainnya, guru seolah tidak terlalu concern atau berfokus dalam memandang kedalaman pemahaman siswa melalui kualitas produk pembelajaran bahasa dan sastra. 
  7. Pembelajaran cenderung sekadar melibatkan kognisi, tetapi kurang melibatkan emosi sehingga salah satu aspek penting dalam pembelajaran bahasa dan sastra, yaitu apresiasi, baik lisan maupun tertulis, masih belum terkesan tulus dan tuntas.

Apa yang saya tulis tersebut hanyalah sebagian dari banyak hal lainnya. Setidaknya hal-hal tersebutlah yang saya dan teman-teman lainnya alami sendiri. 

Tujuh poin tersebut lebih bersifat empirik, tidak secara langsung berkaitan dengan teori kebahasaan atau kesastraan karena lebih cenderung bersifat aplikatif. 

Saya kira, ketujuh masalah tersebut dapat diatasi ketika kita sebagai guru lebih memahami esensi belajar bahasa dan sastra. 

Bahasa dan sastra bukan melulu persoalan menghasilkan produk kebahasaan atau kesastraan, melainkan lebih jauh dari itu. 

Bahasa dan sastra menjadi modal bagi pembelajar (boleh disebut siswa atau istilah lainnya) untuk menalar, menelaah, mengkritisi, mengapresiasi hingga memproduksi banyak hal besar yang memberikan dampak yang luar biasa bagi peradaban. 

Rupanya, sejauh itu filosofi pembelajaran bahasa dan sastra sebagai induk semua ilmu (untuk mendalaminya dapat dilihat dalam Dasar-Dasar Filsafat: Seni untuk Bertanya). 

Mengacu pada penjelasan tersebut, memang akhirnya ada tuntutan bagi para pelaku pendidikan (boleh disebut guru atau pendidik) untuk bekerja lebih keras. 

Mereka perlu memahamkan dirinya tentang esensi belajar bahasa dan sastra sehingga mampu memahamkan esensi pembelajaran kepada para pembelajarnya. 

Jika sudah berhasil memahamkan dirinya, guru dapat merancang kegiatan pembelajaran bermakna dengan memberikan pengalaman belajar bahasa dan sastra tersebut. 

Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa dan sastra dengan basis pengalaman akan jauh lebih berdampak secara menetap sehingga siswa merasakan kenikmatan tersendiri dalam memproduksi karya kebahasaan dan kesastraan. Akan tampak bagaimana siswa berproses dalam pembelajaran berbasis pengalaman tersebut. 

Hal tersebut justru memantik peluang untuk berpikir kreatif dan kritis yang merupakan basic skill sebagaimana saat ini populer dikenal sebagai pembelajaran abad 21 (4C Skills atau 21st Century Skills).

Jika ingin dibahas lebih lebar, skill inilah yang pada beberapa paragraf sebelumnya saya sebut sebagai modal siswa dalam memahami, menalar, menelaah, hingga memproduksi banyak hal untuk peradaban. 

Pembelajaran bahasa dan sastra (Sumber: edukasi.kompas.com)
Pembelajaran bahasa dan sastra (Sumber: edukasi.kompas.com)
Betapa luar biasa kehidupan pendidikan saat tujuan utama belajar yaitu membuat siswa menjadi orang yang siap menghadapi masa depan benar-benar tercapai.

Namun, mari kembali ke pembahasan semula. Kita akan mencoba mengaitkan bahasa dengan sastra. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan sastra (literature) berkaitan erat dengan bahasa bahkan tidak dapat dilepaskan. 

Saya pikir, itulah sebabnya pembelajaran bahasa selalu bersama dengan sastra, walaupun pada prinsipnya secara bidang kajian ini menjadi hal yang berbeda.

Sastra merupakan salah satu produk berbahasa yang mungkin selama ini dianggap terbatas hanya sebagai sebuah seni yang terbungkus atau tersimpan rapi dalam kotak khusus kesastraan. 

Sebagaimana karya seni lainnya, sastra kerap dianggap sebagai karya yang hanya dapat dinikmati sekelompok penikmat tertentu saja. 

Bahkan, sebagaimana sempat dibahas pekan lalu, sastra pun kerap dipandang sebagai suatu karya rumit yang hanya dipahami sebagian orang saja.

Namun, jika kita mau membuka paradigma berpikir kita lebih luas, ternyata sastra bersifat sangat universal. Apalagi jika kita kembali pada hakikat sastra, yaitu utile et dulce atau indah dan bermanfaat. Artinya, selama karya tersebut indah dan bermanfaat, kita dapat menyebutnya sebagai karya sastra. 

Lebih spesifik, kita dapat menyebutnya sebagai karya sastra jika di dalamnya terkandung nilai moral atau pesan hidup yang membuka cakrawala berpikir manusia. 

Bahkan, lebih dalam lagi, sastra mampu meresap mendalam hingga ranah emosi kita sehingga sastra ini mampu memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam mengubah tingkah laku manusia.

Apa dan bagaimana peran bahasa dan sastra dalam dunia pendidikan telah sempat kita bahas di atas. 

Sekarang, saya mencoba sedikit mengupas tentang apa dan bagaimana cara sastra masuk dalam dunia pendidikan sehingga memberikan kontribusi yang luar biasa. Efeknya, sastra dapat membuka banyak jalan untuk berkreatif, baik bagi guru maupun bagi siswa. 

Maka, dalam kesempatan ini, saya akan lebih banyak menggunakan istilah "membelajarkan" karena bahasa dan sastra memaksa banyak komponen dalam dunia pendidikan untuk membelajarkan diri dan orang lain dengan cara yang nikmat dan bermanfaat.

Sastra sebagai produk kebahasaan adalah bagian penting untuk mengantar pesan dalam pembelajaran sehingga siswa lebih memahami konteks pembelajaran secara komprehensif. 

Sastra mampu mendekatkan dunia siswa dengan materi pembelajaran bahkan yang dianggap paling rumit sekalipun.

Mari kita perhatikan satu contoh berikut.

Dalam pembelajaran eksakta seperti fisika dan matematika yang di Indonesia dianggap primadona kerumitan dunia pendidikan dan menjadi parameter kecerdasan seseorang, rupanya sastra menjadi wahana yang mengantarkan teori dan rumus menjadi realistis. 

Buktinya, berbagai persoalan fisika dan matematika dibuat dalam bentuk narasi atau deskripsi yang notabene merupakan karya sastra. Mengapa? Karena soal yang dibuat tentu memiliki nilai manfaat, tetapi tetap diantarkan kepada siswa dengan cara "enak baca" alias nikmat sehingga berterima bagi mereka. 

Secara literasi, siswa dituntut mampu menikmati teks soal secara logis sehingga mampu menjelajah lebih jauh dalam dunia teori secara lebih realistis.

Barangkali, contoh yang saya ambil terlalu ekstrem atau bagaikan sebuah flash back yang melemparkan kita (khususnya saya) ke belasan atau beberapa puluh tahun silam ketika masih bersekolah.

Ya, ketika itu saya dan teman-teman mungkin mencoba menalar dengan mudah bagaimana sebuah soal dapat dipecahkan dengan mudah. 

Ketika kemampuan literasi kita tidak memadai, persoalan ini tidak dapat kita pahami dengan logika kita.

Kita akan sulit mengerahkan kemampuan untuk menghubungkannya, apalagi memecahkannya. Namun, ketika kemampuan literasi kita memadai, tentu yang terjadi sebaliknya.

Terlalu old-fashion?

Baik, saya akan mencontohkan dengan yang lebih dekat dengan kehidupan saat ini, khususnya dengan anak-anak kita yang saat ini ada di sekolah menengah.

Saat ini, popularitas pembelajaran tematik integratif sedang meningkat. Rupanya, ini bukan sekadar euforia atau tren saja. 

Jika diteliti lebih mendalam, ternyata ada tujuan yang lebih esensial dalam pembelajaran tematik integratif ini. 

Saya kembali tidak akan berpanjang-panjang dalam pembahasan ini. Namun, saya menggarisbawahi bahwa dalam pembelajaran tematik integratif, kita membelajarkan siswa dengan cara yang lebih sastrawi. 

Mereka lebih banyak berkreatif dengan berbagai produk kesastraan seperti drama pendek, film, poster, atau produk kebahasaan lain yang secara nuansa kesastraan cukup kental.

Mengapa?

Alasannya sederhana, kita berupaya mendekatkan mereka dengan kenyataan. Dalam salah satu buku yang ditulis Bobby de Porter disebutkan bahwa dalam pembelajaran siswa harus mengetahui apa manfaat pembelajaran tersebut untuknya. 

Dengan demikian, pembelajaran yang bermanfaat tentu haruslah yang logis plus realistis dengan kehidupan mereka. 

Jika kembali dihubungkan dengan salah satu sifat sastra, ada istilah "mimesis" atau tiruan dari kenyataan. Tentu dalam hal ini, tiruan haruslah mendekati aslinya. Dengan demikian, tetaplah harus logis dan realistis.

Maka dari itu, pembelajaran sastra tidak perlu lagi berdiri sendiri apalagi dianggap pembelajaran yang kalah pamor alias terpinggirkan. Sastra menjadi penopang kuat bagi mata pelajaran lain untuk membantu siswa membelajarkan dirinya.

Referensi

  1. DePorter, Bobby. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar dengan Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit Kaifa, PT Mizan Pustaka. 
  2. DePorter, Bobby. 2020. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Dalam Ruang-Ruang Kelas. Bandung: Penerbit Kaifa, PT Mizan Pustaka. 
  3. Suriasumantri, Jujun S. 2017. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Keterkaitan Ilmu, Agama, dan Seni. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 
  4. Sudjiman, Panuti. 1987. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun