Mari kita perhatikan satu contoh berikut.
Dalam pembelajaran eksakta seperti fisika dan matematika yang di Indonesia dianggap primadona kerumitan dunia pendidikan dan menjadi parameter kecerdasan seseorang, rupanya sastra menjadi wahana yang mengantarkan teori dan rumus menjadi realistis.Â
Buktinya, berbagai persoalan fisika dan matematika dibuat dalam bentuk narasi atau deskripsi yang notabene merupakan karya sastra. Mengapa? Karena soal yang dibuat tentu memiliki nilai manfaat, tetapi tetap diantarkan kepada siswa dengan cara "enak baca" alias nikmat sehingga berterima bagi mereka.Â
Secara literasi, siswa dituntut mampu menikmati teks soal secara logis sehingga mampu menjelajah lebih jauh dalam dunia teori secara lebih realistis.
Barangkali, contoh yang saya ambil terlalu ekstrem atau bagaikan sebuah flash back yang melemparkan kita (khususnya saya) ke belasan atau beberapa puluh tahun silam ketika masih bersekolah.
Ya, ketika itu saya dan teman-teman mungkin mencoba menalar dengan mudah bagaimana sebuah soal dapat dipecahkan dengan mudah.Â
Ketika kemampuan literasi kita tidak memadai, persoalan ini tidak dapat kita pahami dengan logika kita.
Kita akan sulit mengerahkan kemampuan untuk menghubungkannya, apalagi memecahkannya. Namun, ketika kemampuan literasi kita memadai, tentu yang terjadi sebaliknya.
Terlalu old-fashion?
Baik, saya akan mencontohkan dengan yang lebih dekat dengan kehidupan saat ini, khususnya dengan anak-anak kita yang saat ini ada di sekolah menengah.
Saat ini, popularitas pembelajaran tematik integratif sedang meningkat. Rupanya, ini bukan sekadar euforia atau tren saja.Â