Bahasa dan sastra menjadi modal bagi pembelajar (boleh disebut siswa atau istilah lainnya) untuk menalar, menelaah, mengkritisi, mengapresiasi hingga memproduksi banyak hal besar yang memberikan dampak yang luar biasa bagi peradaban.Â
Rupanya, sejauh itu filosofi pembelajaran bahasa dan sastra sebagai induk semua ilmu (untuk mendalaminya dapat dilihat dalam Dasar-Dasar Filsafat: Seni untuk Bertanya).Â
Mengacu pada penjelasan tersebut, memang akhirnya ada tuntutan bagi para pelaku pendidikan (boleh disebut guru atau pendidik) untuk bekerja lebih keras.Â
Mereka perlu memahamkan dirinya tentang esensi belajar bahasa dan sastra sehingga mampu memahamkan esensi pembelajaran kepada para pembelajarnya.Â
Jika sudah berhasil memahamkan dirinya, guru dapat merancang kegiatan pembelajaran bermakna dengan memberikan pengalaman belajar bahasa dan sastra tersebut.Â
Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa dan sastra dengan basis pengalaman akan jauh lebih berdampak secara menetap sehingga siswa merasakan kenikmatan tersendiri dalam memproduksi karya kebahasaan dan kesastraan. Akan tampak bagaimana siswa berproses dalam pembelajaran berbasis pengalaman tersebut.Â
Hal tersebut justru memantik peluang untuk berpikir kreatif dan kritis yang merupakan basic skill sebagaimana saat ini populer dikenal sebagai pembelajaran abad 21 (4C Skills atau 21st Century Skills).
Jika ingin dibahas lebih lebar, skill inilah yang pada beberapa paragraf sebelumnya saya sebut sebagai modal siswa dalam memahami, menalar, menelaah, hingga memproduksi banyak hal untuk peradaban.Â
Namun, mari kembali ke pembahasan semula. Kita akan mencoba mengaitkan bahasa dengan sastra. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan sastra (literature) berkaitan erat dengan bahasa bahkan tidak dapat dilepaskan.Â
Saya pikir, itulah sebabnya pembelajaran bahasa selalu bersama dengan sastra, walaupun pada prinsipnya secara bidang kajian ini menjadi hal yang berbeda.