Â
Tragedi Brexit, Jonan dan Bonek
Alhamdulillah, pukul 02.41, Selasa (5/7) akhirnya saya berhasil melewati "Tragedi Brexit". Sebuah tragedi kemacetan panjang, berhari-hari, dengan jutaan liter BBM terbuang akibat salah konsep dan salah urus arus mudiik Lebaran 2016.Â
Jutaan pemudik menjadi korban. Para pengendara didera kelelahan akut, stress di jalan dan ini yang penting: menghilangnya kesalehan sosial. Buang sampah di sepanjang jalan tol, saling serobot, tak tertib antrean. Pengemudi mudah marah dan main fisik. Dua anak saya juga mulai didera diare karena asupan makanan dan minuman yang tak terkontrol akibat dua malam menginap di jalan.Â
Mengapa disebut Tragedi Brexit? Saya mencoba memahami mengapa kemacetan bisa sedemikian parah dan sangat membahayakan keselamatan jutaan keluarga pemudik. Jutaan nyawa dipertaruhkan oleh uji coba rekayasa lalu lintas yang gagal.Â
Mari kita lihat satu per satu.Â
Pertama, rekayasa dilakukan dengan menciptakan kanal lalu lintas bebas pembayaran di sejumlah pintu tol. Tujuannya agar kendaraan pemudik dapat menerjang jalanan tanpa kemacetan di dalam kota dan bisa sampai Brexit dengan cepat.
Apa yang terjadi ketika rekayasa ini dilakukan? Ratusan ribu kendaraan dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya datang seperti air bah dan menumpuk di Brexit. Petugas kepolisian yang bekerja sangat keras mengurai kemacetan justru menciptakan Bonek (bottle neck). Kemacetan bukan terurai tetapi makin menjadi-jadi.Â
Kedua, akibat Bonek, rekayasa kedua dilakukan dengan memberlakukan sistem Contra Flow (Colow). Entah apa yang ada dalam benak para penentu kebijakan, sistem Colow diberlakukan tanpa "kajian akademik", tanpa sosialisasi, dan tanpa aturan (baca:urakan). Akibatnya Bonek terjadi di mana-mana di sepanjang jalur Pantura setelah keluar Brexit hingga Pemalang, Kota Tegal dan Kabupaten Tegal.
Mari kita buktikan di jalan. Sebagai awam dalam hal transportasi, saya membandingkan sistem Colow yang diterapkan di Brexit dengan jalan tol dalam kota, Semanggi.Â
Sependek pengetahuan saya, Colow baru saja diperkenalkan di Jakarta dan itu pun dipraktikkan di jalan tol Semanggi. Satu jalur tol dari Semanggi ke Cawang digunakan secara berlawanan untuk mengurai kepadatan arus Cawang ke arah Semanggi. Colow dilakukan di jalan bebas hambatan bukan di jalan reguler dalam kota.Â
Ini berbeda dengan Colow yang dipraktikkan di jalur Pantura yang notabene adalah jalur umum dalam kota, bukan jalan tol yang bebas hambatan. Jalan Pantura juga penuh tikungan, banyak aktivitas warga lalu lalang, banyak jalan memotong dan putar balik.Â
Tentu ada "alasan rasional" mengapa Colow diperkenalkan di dalam jalan tol (selain untuk mengatasi persoalan lalu lintas) dan bukan di jalan reguler biasa. Ini yang saya sebut ada "kajian akademik ketika memberlakukan Colow."Â