Dikisahkan di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid ada seorang alim yang hendak menasihati khalifah. Orang alim tersebut sangat bersemangat untuk mempraktikkan ‘nahi munkar’ karena ia menilai khalifah sering melakukan kesalahan. Orang alim ini kelihatannya kelompk chawarij jika jaman sekarang, hanya mau berdalil Quran dan Hadist terjemahan saja. Orangnya jumud, kurang memahami budaya local dan seolah dia benar sendiri lainya salah. Orang tersebut mendatangi khalifah harun AL-Rasyid dan. Berkata:\
“Saya akan memberi Anda nasihat. Tapi (nasihat) saya dengan cara keras dan terbuka serta agak ekstrem,” kata orang alim tersebut, “Mohon Anda jangan tersinggung. Anda Ya Amirul Mukminin, jangan tersinggung,” lanjutnya.
Mendengar kata-kata orang alim tersebut, Khalifah Harun menjawab, “Usquth Ya Jaahil! Kamu ini mengaku aku ustadz dan bodoh”.
“Allah mengutus Musa yang tentu lebih baik dari Anda dan tentu Firaun itu lebih buruk dari saya. Itu saja masih ada Musa masih pakai adab dan kesopanan dan aturan ‘faqulaa lahu qaulal layyina’,” kata khalifah Harun seraya mengutip QS. Tha Haa ayat 44.
Khalifah Harun meneruskan ucapannya, “Kamu harus ngomong yang halus. Kamu kok mendakwahi saya pakai kata-kata kotor”. Akhirnya yang mengaku Alim tadi langsung diam dan mengakui kalau Harun Al-Rasyid lebih alim ketimbang dirinya. Hal ini di maklumi karena Khalifah Harun Al-Rasyid juga diketahui gemar menuntut ilmu kepada para ulama di zamannya, seperti Abdullah bin al-Mubarak, Imam Malik, Ibnu As-Samak, dan Fudhail bin Iyadh. Namnya juga kerap disandingkan dengan Abu Nuwas dalam kisah-kisah lucu sufistik, jadi beliau di kelilingi oleh orang alim.
Hal ini sangat penting diungkap, utamanya di sebuah lembaga pendidikan yang dalamnya banyak orang pandai (sok alim), orang tanpa kepentingan (misalnya) , orang ‘bebas’, orang berani. Namun yang tidak boleh lupa di lembaga pendidikan nilai kebaikan dan adab harus diutamakan. Terkadang para pimpinan sudah membuat kebijakan ya mestinya kita hormati kadang sebaliknya. Tidak ada kebijakan yang sempurna, adanya tepat atau tidak. Kebijakan tidak mesti mempertimbangkan ratusan factor, menunggu sampai basi, sepanjang itu bukan keputusan yang UNSTRUCTURED DECESION boleh dibenarkan menganut aliran step-by step decesion, namun kehati-hatian dan ketelitian serta kecermatan adalah penting. Kaidah yang dipakai adalah semua keputuan ada sistematikanya dan informasi yang lengkap, namun selengkap apapun informasi yang dikumpulkann pasti ianya punya sifat error dan bias, akhirnya yang bermain adalah instink dan pengalaman.
Sebuah keputusan STRUCTURED DECESION sepanjang sudah ada dasarnya yang logis dan riil kebijakan yang dihasilkan dengan proses yang bisa dirunut balik maka harus dijunjung. Dengan waktu dan jadwal yang padat dan volume kerjaan yang selalu bertambah, sementara sumberdaya yang biasanya di organisasi Islam lebih terbatas khususnya masalah dana, yang dibatasi dengan sumber dana yang halalan thoyiban jadi contrainnya lebih banyak.
Dalam kondisi yang seperti ini kebijakan rutin yang diambil harus jalankan dan dipantau namun tidak boleh balik ke fase sebelumnya ( mentah), baru kemudian di evaluasi untuk perbaikan. Jadi Plan, Do, Check, Actions. Dalam penugasan mengajar misalnya ‘Pimpinan tentu sudah melihat beberapa faktor termasuk kemampuan, dengan berbagai teori, pendekatan, akhirnya kembali pada kaidah jalan tengah RESULTANTE. Banyak kejadian misalnya seorang tenaga pengajar diminta mengajar mata kuliah tertentu kemudian mengembalikan/menolak tugas tersebut biasanya beralasan saya sudah lama tidak mengajar MK tersebut, atau alasan lain. Apapun alasanya rasanya alasan tersebut kurang pas, kecuali kasus itu terjadi tanpa alasan syar’i dan udzur.
Hal ini bisa terjadi sebab pengajar senior selalunya menganggap ianya minta superiority, privilege. Hal ini jika pimpinan adalah yuniornya akan menambah panjang urusannya. Mestinya di dunia pendidikan harus dikembangkan budaya SAMA’ wa THA’AH. Bukanya melakukan praktek-praktek tirani minoritas dan arogansi senioritas. Dimanapun organisasi pimpinan adalah punya embanan yang yang harus diselesaikan dalam periode tertentu, oleh pimpinan atasnya, dalam perjalanannya ianya diberi sumber daya dan dan termasuk sumberdaya insaniah yakni tenaga pengajar yang siap sebagai garda depan proses pendidikan. Sehingga jika terganggu di satu sayap dikawatirkan mengganngu secara keseluruhannya.
Kita sebagai bawahan, mempunyai tugas membantu merampungkan beban kerja pimpinan, demikianlah yang digadang-gadang oleh Nabi Kita, sepanjang pimpinan tidak mengajak dosa. Jika kebijakan pimpinan kita nilai ( subyektif) kurang adil, datanglah, dengan tabbayun, tidak langsung berkata tugas saya tolak, saya kembalikan. Itu kurang beradab dan di cela dalam Islam. Bahkan kadang-kadang kita menggunakan kedekatan kita dengan pimpinan untuk ‘kalam-kalam’ lobi lobi agar kita diberi yang menguntungkan kita (sendiri), itupun juga kurang beradab karena ianya pasti aka ada yang dirugikan dalam keputusannya nanti. Marilah kita kembangkan budaya adab, karena pendidikan adalah adalah tempat semaian nilai termasuk ADAB, Kelembutan, Kesopanan, Mendukung Visi bersama mewujudkan terbumikannya nilai-nilai kebaikan.