Pasca putusan Mahkamah Konstitusi terkait PHPU yang diajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 dan 3, KPU akhirnya mengesahkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029.Â
Pada akhirnya semua dugaan dan prasangka yang santer mengenai bagaimana presiden ini terpilih, sirna dan menyisakan bualan semata. MK yang dilabeli sebagai penjaga demokrasi pun telah memutus dengan ex aequo et bono (dengan seadil-adlinya), yang mana memberi legitimasi konstitusional pada keterpilihan pasangan calon nomor urut 2 ini.Â
Meski putusan MK bersifat final dan mengikat, namun penulis berpendapat hal ini hanya terbatas pada soal legalitas hukum. Yang mana tidak menutup pintu interpretasi bagi para akademisi dan masyarakat untuk tetap bisa memberi nilai dan komentar atas realita yang terjadi.Â
Berikut penulis rangkum beberapa anomali pemilu 2024 yang membuat penulis yakin bahwa pemilu kali ini merupakan pemilu terburuk sepanjang era reformasi dan menjadi bagian pemilu terburuk sepanjang republik ini berdiri.
Akal-akalan penjabat kepala daerahÂ
Pemilu serentak 2024 merupakan grand desain dari pelaksanaan pemilu sejak tahun 2014. Pemilu serentak diharapkan mampu menjadi konfigurasi dan sinkronisasi pemberdayaan, pemerataan ekonomi di semua daerah serta keselarasan hubungan antara pusat dan daerah.Â
Masalah muncul ketika aturan turunan terkait pengisian jabatan penjabat kepala daerah tak kunjung dibuat oleh Kemendagri, bahkan saking brutalnya kemendagri melakukan penetapan 7 Penjabat Gubernur dan 97 penjabat bupati/walikota sebelum aturan turunan tersebut ada. Penetapan penjabat kepala daerah ini acap kali tanpa ada konsultasi intens antara daerah dan pusat sehingga cukup membuat polemik.Â
Yang paling menjijikan dari penunjukan penjabat kepala daerah ini adanya indikasi yang sampai pada derajat "yaqin" bahwa banyak dari figur penjabat ini diisi oleh orang dekat istana, terafiliasi dengan partai politik, bahkan sampai pati TNI/Polri yang jelas-jelas merusak nilai-nilai reformasi.Â
Janji Mendagri bahwa akan dilakukan evaluasi bertahap terhadap kinerja para penjabat agaknya isapan jempol belaka. Nyatanya evaluasi hanya dilakukan pada daerah-daerah yang jauh dari hiruk pikuk pemberitaan atau mudahnya hanya dilakukan kepada para Pj. Kepala daerah yang gagal mengkondisikan daerahnya untuk memenangkan calon tertentu.Â
Untuk memahami sengkarut dan bahaya penetapan penjabat kepada daerah ini, sila merujuk pada opini penulis pada tulisan berikut Polemik Pejabat Kepala Daerah
Ketidakjelasan penyelenggara Pemilu
Dalam perhelatan pemilu 2024 ini, kinerja KPU dan Bawaslu perlu dievaluasi secara mendalam, pasalnya lembaga yang diamanahkan UU untuk mengoordinir hajat 5 tahunan ini terkesan ugal-ugalan dan sarat akan kepentingan titipan.Â
KPU dalam perjalananya acap kali lalai dan terkesan sembrono menafsirkan aturan yang sudah jelas pemaknaanya. Alasanya seperti yang diungkapkan oleh Ketua KPU, Hasyim Asyari bahwa KPU juga memiliki hak untuk menafsirkan sendiri aturan tersebut sebagai wujud profesionalitas KPU. Bahkan pemerintan pun melempar tanggung jawab dengan segala kekeliruan yang ada dengan dalih tidak mau mengintervensi KPU yang berdiri sebagai lembaga independen.Â
Semakin menjadi masalah, Bawaslu yang seharusnya bisa menjadi solusi atas kekeliruan yang dibuat KPU seolah tutup mata. Hubungan yang diupayakan antar 2 lembaga ini pun terkesan saling menutupi satu sama lainnya dan tidak mengedepankan chek and balences. Mulai dari permasalahn penetapan DPT, permasalahan penetapan parpol peserta pemilu, ketidaknetralan ketua dan pimpinan KPU, melanggar putusan MA dan MK terkait masa tunggu caleg mantan narapidana, kekeliruan yang disengaja dalam memaknai aturan keterwakilan perempuan dalam pemilu, pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden, inkonsistensi jadwal pelaksanaan tahapan pemilu dan pengunaan aplikasi sirekap yang menyumbang misinformasi di khalayak.Â
Selain Bawaslu, dalam hal penegakan norma-norma kepemiluan, DKPP juga memegang peranan penting untuk memberikan sanksi terkait pelanggaran-pelanggaran yang jelas terjadi. Sayangnya DKPP dalam berbagai putusannya dianggap tidak membawa efek jera bagi KPU maupun Bawaslu. Kategorisasi sangsi yang dijatuhkan juga menjadi persoalan, sebab tidak jelas dan terkesan ingin melindungi KPU dan Bawaslu.Â
Kegagalan MK menjadi benteng terakhirÂ
Melalui putusanya terkait UU Pemilu No. 7 tahun 2017 yang melegalkan pencalonan Gibran sebagai peserta Pilpres 2024, MK memantapkan dirinya sebagai lembaga alternatif yang bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk meraih kekuasaan. Tentunya hal ini bukan tanpa alasan dan perhitungan yang matang, sebab putusan MK yang bersifat final dan mengikat membuat semua jenis putusanya mejadi lebih mudah dan terkesan konstitusional untuk dilaksanakan serta tidak bisa diganggu gugat.Â
Meskipun putusan tersebut oleh MKMK (Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi) dinyatakan bermasalah karena adanya konflik kepentingan dan cacat formil, sama sekali dan tidak mampu menegasikan status dari putusan MK itu sendiri.Â
Pun setelah terang benderang adanya rentetan kecurangan sebelum, saat dan pasca pemilu, lagi-lagi MK menumpulkan pisau keadilannya. Masyarakat yang sudah berharap banyak, hanya bisa pasrah berharap iklim demokrasi pada hari esok akan tetap bersinar walau tak lagi terang.Â
Dalam persidangan PHPU 2024, sebenarnya MK bisa kembali meyakinkan publik bahwa marwah MK sebagai lembaga pelindung konstitusi masih ada dan selalu tegak berdiri. Alih-alih menjadi bagian dari pelindung konstitusi, mayoritas hakim MK justru memilih sebaliknya.Â
Hal ini saya rasa bukan tanpa alasan. Mengecualikan adanya hubungan terlarang para hakim, adanya batasan waktu 14 hari kerja juga menjadi penghambat terbesar dari proses PHPU. Hakim dipaksa bekerja cepat dan cermat hanya bermodalkan butki-bukti yang terbatas. Kedepan tata beracara di MK mesti diubah, terlebih yang menyangkut dengan PHPU sehingga klaim bahwa MK bukan sekedar mahkamah kalkulator benar-benar terwujud.Â
Akar permasalahanÂ
Akar permasalahan dari ketidakadilan pilpres 2024 adalah cawe-cawe Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden pada tahapan-tahapan pilpres, mulai dari menjadi ketua penasihat, ketua tim pemenangan, koordinator propaganda, koordinator strategi, koordinator logistik bahkan sampai juru kampanye lapangan. Begitu aktifnya Jokowi pada pilpres kali ini, membuat saya bertanya-tanya apa tugas presiden sesederhana itu, sampai-sampai masih ada waktu untuk ambil tugas sampingan?Â
Manuver yang dilakukan Jokowi, seolah menolak julukan bebek lumpuh yang biasa melekat pada presiden diakhir masa jabatannya pasca pemilu. Saat sindrom bebek lumpuh ini muncul, biasanya sosok presiden tersebut akan kehilangan ketenarannya sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan. Hal ini yang membuat banyak program pemerintah yang belum rampung, bisa dipastikan akan macet total, bahkan jika presiden terpilih tidak satu klan dengan presiden yang sedang menjabat, haqqul yakin, program tersebut akan dihentikan.Â
Besarnya efek sindrom bebek lumpuh ini membuat Jokowi sadar bahwa "mimpi besarnya" dalam "membangun Indonesia" harus dikawal oleh penerusnya. Sehingga "tidak salah" jika dia pada akhirnya mendorong anaknya, Gibran menjadi wakil presiden berpasangan dengan Prabowo yang juga mendapat endorsement dari Jokowi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H