Dalam perhelatan pemilu 2024 ini, kinerja KPU dan Bawaslu perlu dievaluasi secara mendalam, pasalnya lembaga yang diamanahkan UU untuk mengoordinir hajat 5 tahunan ini terkesan ugal-ugalan dan sarat akan kepentingan titipan.Â
KPU dalam perjalananya acap kali lalai dan terkesan sembrono menafsirkan aturan yang sudah jelas pemaknaanya. Alasanya seperti yang diungkapkan oleh Ketua KPU, Hasyim Asyari bahwa KPU juga memiliki hak untuk menafsirkan sendiri aturan tersebut sebagai wujud profesionalitas KPU. Bahkan pemerintan pun melempar tanggung jawab dengan segala kekeliruan yang ada dengan dalih tidak mau mengintervensi KPU yang berdiri sebagai lembaga independen.Â
Semakin menjadi masalah, Bawaslu yang seharusnya bisa menjadi solusi atas kekeliruan yang dibuat KPU seolah tutup mata. Hubungan yang diupayakan antar 2 lembaga ini pun terkesan saling menutupi satu sama lainnya dan tidak mengedepankan chek and balences. Mulai dari permasalahn penetapan DPT, permasalahan penetapan parpol peserta pemilu, ketidaknetralan ketua dan pimpinan KPU, melanggar putusan MA dan MK terkait masa tunggu caleg mantan narapidana, kekeliruan yang disengaja dalam memaknai aturan keterwakilan perempuan dalam pemilu, pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden, inkonsistensi jadwal pelaksanaan tahapan pemilu dan pengunaan aplikasi sirekap yang menyumbang misinformasi di khalayak.Â
Selain Bawaslu, dalam hal penegakan norma-norma kepemiluan, DKPP juga memegang peranan penting untuk memberikan sanksi terkait pelanggaran-pelanggaran yang jelas terjadi. Sayangnya DKPP dalam berbagai putusannya dianggap tidak membawa efek jera bagi KPU maupun Bawaslu. Kategorisasi sangsi yang dijatuhkan juga menjadi persoalan, sebab tidak jelas dan terkesan ingin melindungi KPU dan Bawaslu.Â
Kegagalan MK menjadi benteng terakhirÂ
Melalui putusanya terkait UU Pemilu No. 7 tahun 2017 yang melegalkan pencalonan Gibran sebagai peserta Pilpres 2024, MK memantapkan dirinya sebagai lembaga alternatif yang bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk meraih kekuasaan. Tentunya hal ini bukan tanpa alasan dan perhitungan yang matang, sebab putusan MK yang bersifat final dan mengikat membuat semua jenis putusanya mejadi lebih mudah dan terkesan konstitusional untuk dilaksanakan serta tidak bisa diganggu gugat.Â
Meskipun putusan tersebut oleh MKMK (Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi) dinyatakan bermasalah karena adanya konflik kepentingan dan cacat formil, sama sekali dan tidak mampu menegasikan status dari putusan MK itu sendiri.Â
Pun setelah terang benderang adanya rentetan kecurangan sebelum, saat dan pasca pemilu, lagi-lagi MK menumpulkan pisau keadilannya. Masyarakat yang sudah berharap banyak, hanya bisa pasrah berharap iklim demokrasi pada hari esok akan tetap bersinar walau tak lagi terang.Â
Dalam persidangan PHPU 2024, sebenarnya MK bisa kembali meyakinkan publik bahwa marwah MK sebagai lembaga pelindung konstitusi masih ada dan selalu tegak berdiri. Alih-alih menjadi bagian dari pelindung konstitusi, mayoritas hakim MK justru memilih sebaliknya.Â
Hal ini saya rasa bukan tanpa alasan. Mengecualikan adanya hubungan terlarang para hakim, adanya batasan waktu 14 hari kerja juga menjadi penghambat terbesar dari proses PHPU. Hakim dipaksa bekerja cepat dan cermat hanya bermodalkan butki-bukti yang terbatas. Kedepan tata beracara di MK mesti diubah, terlebih yang menyangkut dengan PHPU sehingga klaim bahwa MK bukan sekedar mahkamah kalkulator benar-benar terwujud.Â
Akar permasalahanÂ