Mohon tunggu...
Gita Pratiwi
Gita Pratiwi Mohon Tunggu... -

bahagia dan membahagiakan.\r\nmirip pegadaian lah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hujan (2)

5 Mei 2011   11:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:03 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Thursday, March 31, 2011 at 12:07pm

Gila. Yang benar saja, dia ingin soft copy sequel novelku?! Kalau saja dia tidak menghangatkanku dengan sweternya ini, aku pasti akan marah pada usaha plagiatnya itu. Aku tersenyum geli, kenapa bukan Andra yang ada di depanku saat ini? Malah orang yang namanya saja aku tak tahu, tapi mampu memberi tatapan yang bermakna 'everything is ok'.

Dia mengantarku sampai teras rumah, aku melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih. Tanpa senyum, kata kembali, dan hanya lambaian ia berlalu. Di angkot tadi, dia berjanji akan mengantarkan motorku esok hari.

***

Pukul delapan kurang, mataku yang masih belekan menatapi seseorang yang berbaring di sisiku. "Heh orang aneh! Dari kapan kamu ada di sini?" tanyaku agak berteriak.

Yang ditanya senyum-senyum kayak orang gila dikasih makan sama orang lewat, dia adalah Ra. Kami berteman sejak kami kenal, yaitu dari kami kecil. Ra tinggal di ujung gang rumahku dengan neneknya yang sangat pikun, sehingga kadang tak ingat punya cucu bernama Ra. Ra seorang anak periang dan punya taman bacaan di belakang rumahnya. Taman bacaan itu ia namai 'Kandang Ayam', karena memang tempat itu dulunya kandang ayam. Menurut finansial, Ra yang anak yatim piatu itu, kurang beruntung. Ia harus bekerja jadi ini dan itu di mana saja setelah lulus SMA, padahal dia sangat pintar pelajaran Kimia. Ia sempat dikirim sekolah ke Korea untuk studi banding. Nasib kami boleh berbeda, namun kebisaan kami masih sama. Pada saat matahari mulai tenggelam, aku naik ke genteng rumahnya, Ra pun di ujung gang menaiki gentengnya. Kami berkomunikasi ala kami hingga hari menjadi gelap.

Aku menceritakan kisah semalam padanya, kenapa motorku tidak ada di garasi, dan kenapa aku sedikit puyeng sekarang. Dia malah teriak mengagetkan, "Wah Be, pencurian motor model baru tuh!"

Aku tergelak, "Kamu gak fokus sama inti ceritanya, aku ditinggalin sama Andra. ."

Ra memotong kalimatku, "dan kamu nyerahin motor sama orang gak dikenal, yang identitasnya gak jelas!"

"Tapi kan dia baik minjemin sweternya."

"Jangankan sweter, dompet sama isinya aja bakal dia kasih kalo kamu minta. Ga seberapa kali dibanding motor kamu!"

"Tapi, Ra. . ." aku diam sebentar "iya juga ya"

"Sekarang telepon Andra, dia temennya kan?" aku mengangguk.

"Tapi aku masih sebal sama Andra."

"Ah cuma nanya tentang orang itu doang kok"

Aku memanggil nama Andra di ponselku, terdengar nada sambung dan dia memutusnya. Aku mengulangnya, Andra memutus, sekali lagi hingga berkali-kali ia lagi-lagi menolak panggilanku.

Ra dengan kesal merebut ponselku dan mengetik SMS buat Andra. Belum selesai ia ketik, ponselku berdering, dan Ra membukanya.

Be,lg rapat nih. Siang andra tunggu d perpus kampus. .
Sender: andra

"Ini saat yang tepat, Be." kata Ra.

"Buat apa?"

"Buat mutusin Andra."

"HAH? Gila kamu, aku sama Andra udah deket banget, aku ga mau ah pisah!"

"Be, yang gila tuh kamu! Dia itu jelas-jelas gak peduli lagi sama kamu, kamu mertahanin apa sih? Puisi-puisi picisannya itu? Kamu bisa dapet yang lebih baik daripada penyair ga punya masa depan kayak dia, kamu novelis!"

"Apa hubungannya sama profesi aku?"

Ra menepuk dahinya, "oh God, kamu tuh lemot apa idiot sih? Pokoknya siang nanti setelah kamu tahu identitas maling motor itu, putusin Andra!" katanya sambil berlalu meninggalkan kamarku, bersama keheningan ia tinggalkan juga rumahku.

Aku terdiam memeluk kakiku yang melipat, sungguh aku akui aku tak sepintar Ra. Aku yang lebih tua darinya pernah tinggal kelas sewaktu SD. Dia anak yang cerdas, selalu juara kelas. Kadang aku ingin sekali memberikan nasib kuliahku untuknya yang bercita-cita jadi profesor. Dan aku dapat hidup tenang bersama samudera kata-kataku yang harus kususun lagi dalam tulisan, demi melayang lagi di langit khayalku.

Saking pintarnya Ra, dan bodohnya aku, aku selalu tertegun pada kata-katanya. Sehingga, kerap seusai kalimatnya aku berkata pada diriku sendiri, "benar juga ya kata si Ra?"

Tapi, tentang hubunganku dengan Andra, haruskah aku menuruti Ra?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun