Pada tahun 2004, NATO kembali memperluas keanggotaannya dengan menerima tujuh negara baru, termasuk negara-negara bekas Uni Soviet seperti Estonia, Latvia, dan Lithuania, serta Bulgaria, Rumania, Slovakia, dan Slovenia. Ekspansi ini semakin mendekati perbatasan Rusia, menambah kekhawatiran Moskow. Penambahan keanggotaan NATO berikutnya juga terjadi pada negara-negara Albania, Kroasia pada gelombang ke tiga, dan diikuti oleh Montenegro, serta Makedonia Utara pada gelombang ke empat dan ke lima, sehingga total ke seluruhan menjadi 14 Negara.
Ketegangan antara Rusia dan Barat meningkat setelah Revolusi Maidan di Ukraina pada tahun 2014, yang mengakibatkan penggulingan Presiden pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Rusia merespons dengan mencaplok Crimea dan mendukung pemberontakan separatis di wilayah Donetsk dan Luhansk di timur Ukraina.
Hal ini menjadi titik balik utama, di mana NATO meningkatkan kehadirannya di Eropa Timur sebagai tanggapan, sementara Ukraina mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan NATO. Pada 2019, Ukraina memasukkan aspirasi untuk menjadi anggota NATO ke dalam konstitusinya, yang semakin memperdalam ketakutan Rusia akan pengepungan strategis.
Rusia secara konsisten mengekspresikan kekhawatirannya terhadap ekspansi NATO, yang disebutkan secara eksplisit sebagai ancaman utama dalam Strategi Keamanan Nasional Rusia yang diadopsi pada 2015. Sebelum krisis Ukraina, Rusia telah menunjukkan ketidakpuasan terhadap ekspansi NATO dengan invasi ke Georgia pada 2008, setelah negara itu mengumumkan keinginannya untuk bergabung dengan NATO. Kejadian ini menunjukkan pola perilaku Rusia terhadap negara-negara yang berusaha mengalihkan orientasi keamanan mereka ke Barat.
Sebelum invasi Rusia ke Ukraina, telah terjadi ketidakpuasan Rusia terhadap ekspansi NATO, yang termanifestasikan dalam invasi ke Georgia pada tahun 2008 setelah negara tersebut menyatakan keinginannya untuk menjadi anggota NATO. Pola perilaku ini menggambarkan respons Rusia terhadap negara-negara yang berupaya memperkuat hubungan keamanan mereka dengan Barat.
Perang Ukraine-Rusia: Konsekuensi Sanksi Ekonomi Barat
Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, NATO semakin meningkatkan komitmennya terhadap keamanan anggotanya di Eropa Timur. Latihan militer bersama dan peningkatan kehadiran pasukan NATO di negara-negara Baltik dan Polandia semakin sering terjadi. Â Putin, Presiden Rusia, menjustifikasi invasi tersebut dengan alasan ekspansi NATO dan aktivitas militer Barat di sekitar perbatasan Rusia yang dianggapnya sebagai ancaman. Menurutnya, invasi diperlukan untuk melindungi warga Rusia dan mencegah ancaman yang dipercayainya berasal dari NATO.
Dalam pidato resmi sebelum invasi 2022, Presiden Putin menyatakan bahwa ekspansi NATO yang terus-menerus mengancam keamanan Rusia. Ia menuduh NATO menggunakan Ukraina sebagai alat untuk mengancam Rusia dan menyatakan bahwa tindakan militer diperlukan untuk mencegah ancaman ini dan melindungi warga Rusia di Ukraina timur.
Latihan militer NATO yang semakin sering di Eropa Timur dan penempatan sistem pertahanan misil di negara-negara seperti Polandia dan Rumania dianggap sebagai ancaman langsung oleh Rusia. Data dari NATO menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah dan skala latihan militer di sekitar perbatasan Rusia setelah 2014. Laporan dari Council on Foreign Relations dan Carnegie Endowment for International Peace menunjukkan bahwa ekspansi NATO ke timur dipandang oleh Rusia sebagai langkah agresif yang mengancam zona pengaruh tradisionalnya. Analis keamanan dari berbagai lembaga juga menyoroti bahwa NATO tidak memberikan jaminan keamanan yang memadai kepada Rusia mengenai batas ekspansi tersebut.
Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, komunitas internasional secara luas merespons dengan serangkaian sanksi ekonomi yang keras terhadap Rusia. Sanksi ini meliputi pembekuan aset, larangan perdagangan, dan pembatasan akses ke sektor keuangan internasional. Banyak negara Barat juga menghentikan atau membatasi perdagangan dengan Rusia, termasuk pembatasan teknologi dan peralatan yang dapat digunakan dalam sektor pertahanan dan energi. Selain itu, bantuan senjata dan dukungan militer diberikan kepada Ukraina oleh negara-negara Barat sebagai respons terhadap invasi Rusia. Hal ini termasuk pengiriman senjata, peralatan militer, dan bantuan logistik untuk membantu Ukraina dalam pertahanan mereka. Di sisi lain, bantuan serupa kepada Rusia dibatasi atau dihentikan sama sekali sebagai bagian dari sanksi ekonomi, memperparah isolasi ekonomi Rusia dan memberikan tekanan tambahan pada pemerintah Rusia untuk mengakhiri invasinya dan mencapai penyelesaian damai.
Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung selama lebih dari dua tahun, dan situasinya semakin rumit. Invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 telah menimbulkan guncangan besar bagi tatanan dunia pasca-Perang Dingin. Potensi perang berkepanjangan semakin besar mengingat gagalnya upaya perdamaian hingga saat ini. Banyak pihak khawatir bahwa penyerangan ke Ukraina akan menjadi pondasi bagi piramida ketegangan baru yang berakhir pada Perang Dunia Ketiga. Meskipun skenario ini masih spekulatif, potensinya tetap ada. Perang di Ukraina semakin bereskalasi dan berpotensi meluas. Pasukan Rusia terus mendekati ibu kota Kyiv, dan gempuran artileri terjadi di berbagai wilayah. Serangan udara dan serangan balik Ukraina juga meningkat.