Tentu saja hal ini membuat kekacauan pasar global terutama untuk bahan makanan. Pada bulan-bulan mendatang ( 4 s/d 6 bulan setelah mulai perang) dapat dipastikan akan terjadi kelangkaan bahan pangan dunia. Terutama gandum, dan minyak goreng, di mana Ukraina, dan Rusia merupakan pemasok utama dan terbesar di dunia.
Minyak goreng memberikan reaksi paling awal di pasar saat ini. Bagaimanapun stok dari minyak goreng untuk daerah-daerah tujuan ekspor dan konsumsi masyarakat sangat terbatas. Sehingga produksi dan konsumsi berlangsung secara kontinu, dan tersedia dalam jumlah kecil di pasar. Kedua negara ini (Ukraina dan Rusia) adalah penghasil minyak goreng  terbesar di Eropa.Â
Mereka memproduksi minyak goreng berasal dari bunga matahari. Minyak goreng berasal dari bunga matahari mendapat tempat di kalangan masyarakat Eropa. Promosi kesehatan lebih memberikan pilihan terhadap konsumsi produk ini dari minyak goreng yang berasal dari minyak kelapa sawit.
Terdapat 58% ( 31% berasal dari Ukraina, dan 27 % dari Rusia, produksi 2021-2022) produksi minyak goreng tidak sampai di pasar. Terutama untuk Uni Eropa, Asia kecil dan Timur Tengah. Rata-rata mereka memakai dan mengimpor minyak goreng yang berasal ke dua negara tersebut (Ukraina dan Rusia).Â
Sebagai akibatnya pasokan minyak goreng di pasar Eropa semakin menipis, dan memicu kenaikan harga minyak nabati global. Dengan sendirinya minyak goreng kelapa sawit terpaksa (oleh kebutuhan) masuk ke Eropa dan menyebakan kenaikan harga minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit yang dibeli/dijual secara global.Â
Posisi ini menyulitkan perdagangan minyak goreng di Indonesia sebagai produsen minyak goreng kelapa sawit terbesar di dunia. Kebun kelapa sawit Indonesia sangat luas, produksi melimpah, namun harga minyak kelapa sawit mahal. Sangat kontradiktif antara harga dengan pasokan. Minyak goreng naik dan memberatkan masyarfakat Indonesia. Harga  naik hampir menjadi dua kali lipat dari sebelumnya.
Untuk mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah Republik Indonesia menggunakan prinsip dua pasar, dengan dua harga. Satu disubsidi, dan satu lain dibiarkan menggunakan harga pasar. Prinsip ini terpaksa dipakai karena pemerintah untuk menekan produsen minyak goreng kelapa sawit untuk mejual minyak goreng dengan harga murah.Â
Pilihan ini dilakukan karena pemerintah Indonesia (diduga) tidak punyak kendali terhadap produsen minyak goreng dan distribusi minyak goreng dalam negeri secara langsung dari hulu (kebun dan CPO) sampai ke hilir (minyak goreng.
Langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah mengendarlikan distribusi, dan mensubsidi minyak goreng yang dijual oleh pasar-pasar modern.Â
Setiap kios minimarket, dan mall-mall diberi subsidi dan menjual minyak goreng dengan terjangkau dimasyarakat (Rp.14.000,-). Sementara minyak goreng di jual di pasar bebas, tradisional, menggunakan harga pasar internasional sesuai dengan  pasar global yang hampir dua kali lebih mahal.Â
Terdapat variasi harga, untuk produk yang sama dikonsumsi masyarakat, minyak goreng murah dan minyak goreng mahal. Satu-satu Perbedaannya adalah tempat penjualan, sementara barang yang dijual atau dibeli adalah sama. Â Sebagai akibatnya minyak goreng yang berada dipasar tradisional, dan tingkat grosir tidak terjual dan tidak punya pembeli. Masyarakat lebih memilih minyak goreng, dan meng-antri di mall-mall atau kios minimarket untuk mendapatkan satu atau dua liter minyak goreng untuk kebutuhan satu atau dua minggu untuk setiap rumah.