Adalah pertama kali dalam sejarah pemerintah Indonesia mem-banned ekspor dari produksi dalam negeri. Melarang total penjualan seluruh produk kelapa sawit dari hulu sampai ke ilir. Tercatat bahwa produk tersebut adalah minyak goreng, CPO, dan seluruh produk turunannya.Â
Satu-satunya yang belum dilarang adalah ekspor dari tandan mentah kelapa sawit. Pelarangan ini sempat mempunyai dua sisi ambigue dan membingungkan setiap orang antara di larang atau tidak untuk produksi produk tertentu dari kelapa sawit.Â
Pada awalnya palarangan diumumkan oleh Presinden Republik Indonesia pada  22 April 2022 secara langsung  tentang ekspor minyak goreng dan bahan baku minyak goreng (diinterprestasikan sebagai CPO).Â
Kemudian tanggal 26 April diumumkan pembatalan terhadap palarangan CPO dan yang dilarang hanya hanya minyak goreng dan produk produk olahan pembuatan minyak goreng yaitu Refined, Bleached, Doedarize (RBD) Palm Olien, dan sementara minyak kelapa sawit mentah, CPO menjadi bagian keputusan tersebut. Namun sehari setelah itu informasi jadi berubah, Â larangan berlaku untuk semua produk dari hulu sampai dengan hilir produksi kelapa sawit, yaitu mulai dari CPO, RBD Palm Olein, Pome.Â
Bahkan  minyak goreng bekas (Used Cooking Oil) juga termasuk dalam larang untuk ekspor. Kontan saja pengumum ini membuat pasar minyak goreng dunia menjadi kritis, dan memicu kelangkaan diberbagai pasar di Eropa, India, dan tempat-tempat lain di dunia.
Sebetulnya produksi CPO dan minyak gereng yang berasal dari kelapa sawit sejak lama telah ditentang oleh Uni Eropa. Sejak tahun 2020 Uni Eropa telah melarang pemasaran produk kelapa sawit, dan produk-produk turunannya, seperti kosmetik, obat-obatan, dan olahan lain.Â
Seluruh produk kelapa sawit mereka banned secara kolektif dan tidak dijual di pasar Eropa. Tidak heran hampir tidak ditemukan diberbagai super market dan mini market di Eropa. Mereka menggunakan produk labeling, memberi label yang menjelaskan bahwa asal dari bahan pembuat produk yang dijual di pasar.Â
Setiap produk harus mencantumkan bahan pembuat produk. Misal minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit harus mencantumkan berasalh dari kelapa sawit (palm oil) demikian juga dengan produk-produk lain seperti margarin, obat-obatan, dan kosmetik, sehingga tidak mendapat tempat di masyarakat Eropa.Â
Hal itu juga berlaku untuk semua negara yang menggunakan kelapa sawit sebagai produk mereka. bukan saja Indonesia. Setiap negara yang memakai kelapa sawit untuk bahan baku produksi mereka akan mengalami masalah pemasaran yang sama, dan tidak dibeli dan tidak dijual oleh masyarakat Eropa.
Pelarangan minyak goreng dan produk-produk terkait kelapa sawit di Eropa tidal lebih dari isu peralihan fungsi lahan hutan menjadi kebun sawit (deforestiasasi). Isu yang dipakai adalah pemanasan global dan perubahan iklim, serta proses pengolahan lahan dengan cara membakar lahan yang menghasilkan kabut asap dengan jumlah besar dan tidak terkendali.Â
Bagaimanapun yang terbakar bukan saja tumbuhan dipermukaan tanah, namun juga lahan gambut yang berada jauh di dalam tanah. Sehingga menghasilkan asap tebal dalam hitungan bulanan di daerah yang terbakar. Larangan tersebut cukup efektif, sehingga setiap orang di Eropa menganggap minyak goreng dari kelapa sawit tidak baik dan tidak sehat.Â
Minyak kelapa sawit dirpormosikan sebagai penyebab penyakit jantung dan kelesterol, dan berhubungan selain penyebab pemanasan global, dan perubahan iklim. Â Sejatinya apapun jenis sumber olahan minyak goreng akan memberikan dampak yang sama baik terhadap kesehatan.Â
Demikian juga dengan pemakaian lahan perkebunan membutuhkan peralihan fungsi asal dari lahan tersebut menjadi perkebunan dengan tumbuhan seragam. Â
Tidak ada pengurangan luas daun memproduksi klorofil, Â dan oksigen dan kenaikan temperatur akibat luas lahan berubah, karena yang ditanam adalah tumbuhan, dan mempunyai temperatur yang hampir sama.Â
Satu-satunya yang berbeda adalah kelapa sawit akan menguapkan air ke udara lebih banyak dibandingkan tumbuhan lain. Sehingga menciptakan hutan hujan yang lebih besar, dan menyebabkan banjir dan kekeringan jika tidak dikelola dengan baik.Â
Dengan teknoilogi, dan manajemen sumber daya air hal tersebut bisa dibatasi sehingga kondisi demikian  dibatasi dan diselesaikan. Namun penolakan tersebut sudah menjadi prinsip dasar dalam mengambil keputusan dari tingkat paling tinggi sampai ke tingkat paling rendah  dalam memilih produk untuk dikonsumsi dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari mereka. Secara politik Uni Eropa menolak, pasar, mall-mall tidak menjual, dan masyarakat tidak memilih minyak dan bahan olahan dari kelapa sawit.Â
Sehingga setiap produk minyak nabati dicantumkan tidak berasal dari kelapa sawit (palm oil) di dalam label mereka lebih diterima ketimbang dari produk-produk dari kelapa sawit. Pilihan masyarakat untuk produk sejenis lebih memllih alternatif lain selain kelapa sawit.
Perang Rusia dan Ukraina memberikan dampak luas untuk berbagai sektor perdagangan global. Selain selain mobilitas personil militer, dan peralatan perang dengan menggunakan senjata mekanik, perang Ukraina juga merembet ke terlantarnya produksi, sektor keuangan, bank, dan perdagangan global.Â
Seluruh sistem ekonomi terganjal jika berhungan dengan Ukraina dan Rusia. Â Barang-barang dan produksi komoditi dan industri dibanned untuk di ekspor dan diimpor dari masing-masing negara tersebut.Â
Ukriana mengalami hal yang sama mereka tidak bisa menaman pertanian dan perkebunan, produk-produk mereka tidak bisa diproduksi dan tidak bisa dikirim untuk  negara-negara tujuan ekspor. Produk-produk Rusia jkuga dilarang  diperdagangkan oleh Amerika, dan tidak diimpor oleh negara-negara barat, dan pro barat.Â
Sementara di sisi berbeda Rusia melarang berbagai ekspor dari produk mereka, terutama untuk bahan makanan. Tentu saja hal ini diambil untuk untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dalam negeri mereka, dan juga dipakai untuk tujuan memenangkan perang.Â
Bagaimanapun Rusia adalah eksportir bahan pangan terbesar di dunia, terutama untuk produk-produk tertentu, seperti gandumg, minyak nabati, dan gula.Â
Tentu saja hal ini membuat kekacauan pasar global terutama untuk bahan makanan. Pada bulan-bulan mendatang ( 4 s/d 6 bulan setelah mulai perang) dapat dipastikan akan terjadi kelangkaan bahan pangan dunia. Terutama gandum, dan minyak goreng, di mana Ukraina, dan Rusia merupakan pemasok utama dan terbesar di dunia.
Minyak goreng memberikan reaksi paling awal di pasar saat ini. Bagaimanapun stok dari minyak goreng untuk daerah-daerah tujuan ekspor dan konsumsi masyarakat sangat terbatas. Sehingga produksi dan konsumsi berlangsung secara kontinu, dan tersedia dalam jumlah kecil di pasar. Kedua negara ini (Ukraina dan Rusia) adalah penghasil minyak goreng  terbesar di Eropa.Â
Mereka memproduksi minyak goreng berasal dari bunga matahari. Minyak goreng berasal dari bunga matahari mendapat tempat di kalangan masyarakat Eropa. Promosi kesehatan lebih memberikan pilihan terhadap konsumsi produk ini dari minyak goreng yang berasal dari minyak kelapa sawit.
Terdapat 58% ( 31% berasal dari Ukraina, dan 27 % dari Rusia, produksi 2021-2022) produksi minyak goreng tidak sampai di pasar. Terutama untuk Uni Eropa, Asia kecil dan Timur Tengah. Rata-rata mereka memakai dan mengimpor minyak goreng yang berasal ke dua negara tersebut (Ukraina dan Rusia).Â
Sebagai akibatnya pasokan minyak goreng di pasar Eropa semakin menipis, dan memicu kenaikan harga minyak nabati global. Dengan sendirinya minyak goreng kelapa sawit terpaksa (oleh kebutuhan) masuk ke Eropa dan menyebakan kenaikan harga minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit yang dibeli/dijual secara global.Â
Posisi ini menyulitkan perdagangan minyak goreng di Indonesia sebagai produsen minyak goreng kelapa sawit terbesar di dunia. Kebun kelapa sawit Indonesia sangat luas, produksi melimpah, namun harga minyak kelapa sawit mahal. Sangat kontradiktif antara harga dengan pasokan. Minyak goreng naik dan memberatkan masyarfakat Indonesia. Harga  naik hampir menjadi dua kali lipat dari sebelumnya.
Untuk mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri, pemerintah Republik Indonesia menggunakan prinsip dua pasar, dengan dua harga. Satu disubsidi, dan satu lain dibiarkan menggunakan harga pasar. Prinsip ini terpaksa dipakai karena pemerintah untuk menekan produsen minyak goreng kelapa sawit untuk mejual minyak goreng dengan harga murah.Â
Pilihan ini dilakukan karena pemerintah Indonesia (diduga) tidak punyak kendali terhadap produsen minyak goreng dan distribusi minyak goreng dalam negeri secara langsung dari hulu (kebun dan CPO) sampai ke hilir (minyak goreng.
Langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah mengendarlikan distribusi, dan mensubsidi minyak goreng yang dijual oleh pasar-pasar modern.Â
Setiap kios minimarket, dan mall-mall diberi subsidi dan menjual minyak goreng dengan terjangkau dimasyarakat (Rp.14.000,-). Sementara minyak goreng di jual di pasar bebas, tradisional, menggunakan harga pasar internasional sesuai dengan  pasar global yang hampir dua kali lebih mahal.Â
Terdapat variasi harga, untuk produk yang sama dikonsumsi masyarakat, minyak goreng murah dan minyak goreng mahal. Satu-satu Perbedaannya adalah tempat penjualan, sementara barang yang dijual atau dibeli adalah sama. Â Sebagai akibatnya minyak goreng yang berada dipasar tradisional, dan tingkat grosir tidak terjual dan tidak punya pembeli. Masyarakat lebih memilih minyak goreng, dan meng-antri di mall-mall atau kios minimarket untuk mendapatkan satu atau dua liter minyak goreng untuk kebutuhan satu atau dua minggu untuk setiap rumah.
Politik dua pasar terhadap minyak goreng ini menyebabkan rantai pasok terhadap minyak goreng menjadi rusak. Minyak yang diproduksi oleh produsen tidak tersalurkan secara keseluruhan. Minyak yang disalurkan oleh Mall-mall dan minimarket tentu dengan jumlah terbatas, jauh dari konsumsi total masyarakat Indonesia.Â
Sementara produksi minyak goreng dari produsen masih tetap dalam jumlah yang sama, sehingga minyak-minyak goreng bertumpuk di gudang-gudang gudang distributor, dan produsen. Kondisi ini tentu akan menimbulkan potensi kerugian  bagi distributor atau produsen minyak goreng.Â
Minyak goreng yang tersekat dirantai pasok, Â dan tidak disalurkan ke pasar. Kondisi yang menarik, pada saat yang sama pasar luar negeri saat itu membutuhkan minyak goreng akibat terhambatnya produksi minyak goreng berasal dari bunga matahari yang diproduksi Ukraina dan Rusia.Â
Harga yang tersedia sangat menjanjikan untuk memperoleh  keuntungan bagi produsen kelapa sawit. Sementara penduduk Eropa tidak punya pilihan lain dalam mengkonsumsi minyak goreng. Peluang trersebut membuat produsen minyak goreng Indonesia lebih memilih untuk mengekspor minyak goreng dalam negeri  ke luar negeri, dan mencari pasar baru yang ditinggal oleh minyak goreng yang berasal dari bunga matahari.
Pilihan mengekspor minyak goreng dalam jumlah besar menyebabkan persediaan minyak goreng dalam negeri tersedot ke luar negeri dan menyebabkan kelangkaan pasokan minyak goreng dalam negeri.. Sehingga keluhan masyarakat di dalam negeri yang menyatakan bahwa negeri yang mempunyai kebun sawit yang luas, dan produsen minyak goreng terbesar di dunia mengalami kekurangn  minyak goreng di dalam negeri. Kondisi ini tentu saja memberikan dampak tidak baik bagi pemerintah Indonesia, dan akan berakibat buruk jika berlangsung dalam waktu lama.
Industri kelapa sawit, baik dari hulu, atau produksi minyak sawit mentah, CPO, dan produk turunanya, termasuk minyak goreng tidak dikuasai oleh negara. Â
Mereka pada umumnya adalah swasta murni dan dengan investasi dari perusahaan luar negeri. Sehingga setiap keputusan yang dijalankan perusahan tersebut sangat tergantung kepada keputusan induk perusahaan yang berada di luar negeri. Sehingga kewenangan pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri tidak akan memberikan dampak sama sekali.Â
Melakukan kebijakan fiscal atau menurunkan pajak, atau memberikan subsidi terhadap produsen kelapa sawit tidak efektif. Selain membebani keuangan negara, memberikan keuntungan besar bagi perusahaan asing, juga tidak berdampak baik terhadap perkembangan ekonomi dalam negeri. Sehingga pemerintah pemerintah melakukan  banned, atau palarangan ekspor minyak goreng secara total.
 Pelarang  ini tentu saja dengan maksud untuk dan membanjiri pasar minyak goreng dalam negeri  dan memaksa produsen minyak goreng menurunkan harga minyak goreng.
Sepintah politik ini sangat baik untuk memaksa produsen menambah produksi minyak goreng dalam negeri, dan pasar akan dibanjiri oleh minyak goreng, dan harga minyak goreng turun sampai ke harga target Rp.14.000,-. Namun jika produsen minyak goreng tidak memenuhi target tersebut maka akan timbul masalah baru. Â Mereka bisa saja menghentikan produksi untuk sementara, dan memindahkan investasi ke sektor lain, dan membiarkan untuk sementara produksi dalam negeri menjadi terlantar.
Pertimbangan bagi produsen minyak goreng atau CPO adalah kapital, yang mana yang memberikan keuntungan yang lebih besar dalam waktu singkat merupakan pilihan dari keputusan mereka. Tentu saja merekalebih memilih mengekspor ke luar negeri dibandingkan mengurangi harga jual di dalam negeri, memperbesar, atau mengurangi produksi.Â
Prokyeksi kepentingan sosial atau kepentingan jangka panjang tidak akan  menjadi pilihan mereka. Jika produksi suatu produk terkendala di suatu wilayah atau engara, lebih baik mereka memilih dan  mengembangkan lahan baru di tempat atau di negara lain. Tentu saja dengan bahan baku yang lebih kompetitif sesuai dengan kebutuhan pasar ketimbang kelapa sawit yang telah dibanned oleh Uni Eropa sejak awal 2020.
Pelarangan ekspor minyak goreng oleh pemerintah Indonesia sebenarnya memberikan respek positif masyarakat internasional, khususnya dari masyarakat Eropa. Â Dengan adanya banned ini tentu saja jumlah produksi CPO dan minyak goreng akan berkurang. Sehingga ekspansi kebun kelapa sawit Indonesia menjadi terhalang, dan anggapan mereka terhadap efek dari deforestisasi bisa terpenuhi. Hutan-hutan hujan beralih fungsi ke kekebun kelapa sawit bisa berkurang.Â
Namun sebenarnya, apakah minyak nabati berasal dari kelapa sawit, bunga matahari, kacang kedele, jagung, dan sumber-sumber lain mempunyai dampak terhadap peralahinan fungsi lahan yang berbeda? Dampak terhadap pemakaian lahan untuk dikonversi untuk perkebunan tanaman industri tersebut pasti sama.. Luas lahan yang akan dipakai akan berjumlah sama, karena secara kuantitatif sinar matahari yang diterima adalah sama.Â
Satu-satunya perbedaan adalah lamanya matahari menyinari permukaan bumi pada perioda tertentu dalam satu tahun. Indonesia lebih unggul karena mendapat intensitas matahari yang sama hampir seluruh bulan dalam setahun.Â
Sehingga tidak pembagian musim dalam satu tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaranangan pengembangan industri kelapa sawit lebih disebabkan oleh kepentingan bisnis dari pada aspek lingkungan. Kebetulun saja isu pemasan global, dan perubahan iklim menjandi isu sentral pada decade terakhir ini, dan salah satunya adalah dinyatakan peralihan fungsi hutan menjadi perkebunan industri kelapa sawit.
Ketika pemerintah Indonesia menyatakan membanned ekspor minyak goreng dan seluruh produk kelapa sawit dari hulu sampai ke hilir, tidak satupun pemerintah dari negara-negara di luar negeri sampai saat ini (2 Mei 2022) memberikan protes atau reaksi. Mereka menganggap hal tersebut adalah biasa dan masalah tersebut adalah masalah dalam negeri Indonesia.Â
Walaupun mereka mengalami masalah terhadap kesediaan bahan pangan khususnya minyak goreng di pasar mereka, tidak ada gejolak sama sekali, dan usaha-usaha untuk memenuhi pasokan minyak goreng tersebut. Kecuali  beberapa surat kabar global memberitakan dan sedikit memberitakan clue, yaitu terdapat dampak ketersediaan bahan pangan global,  dan kekacauan terhadap pasokan minyak goreng ke pasar.Â
Mall-mall  di luar negeri membatasi pembelian minyak goreng dalam dalam jumlah terbatas, dan mulai tidak tersedianya minyak goreng di rak-rak penjualan mereka. Namun tidak ada protes yang terjadi dalam skala besar seperti yang terjadi di Indonesia. Mungkin mereka masih menganggap konsumsi minyak goreng adalah tidak baik bagi kesehatan, dan lebih baik tidak mengkonsumsi minyak goreng sama sekali. Sehingga tidak perlu diributkan terhadap kelangkaan minyak goreng di pasar. Mereka lebih memilih kehilangan kelezatan masukan di meja makan.
Terkait dengan minyak goreng, membuat krisis di dapur tidak sampai menjadi kemarahaan di meja makan. Tidak seorangpun bisa bantah bahwa minyak goreng memberikan kelezatan terhadap makanan yang akan dimakan. Â
Dengan adanya minyak gorengm setiap masakan akan terasa lebih enak, dan merangsang nafsu makan. Namun dengan berkurangnya konsumsi minyak goreng tentu lebih baik untuk kesehatan. Walaupun cara pengolahan, pembuatah makanan sangat mudah dibandingkan proses pengolahan lainnya. Namun disisi lain kelangkaan minyak goreng sedikit banyaknya akan mempengaruhi kehidupan siapapun juga.Â
Biaya hidup menjadi lebih besar, dan ketidak adanya bahan makanan alternatif yang memenuhi selera setiap orang. Demikian juga dengan UMKM dan dunia usaha terkait dengan industri makanan. Kelangkaan minyak goreng tidak baik disektor bisnis dan dunia usaha. Harga-harga menjadi lebih mahal, dan hanya sedikit orang yang mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.
oOo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H