"Kita berdua terhubung oleh ikatan batin yang agak sinting."
"Kenapa begitu? Bukankah hubungan bantin laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang wajar?"
"Hubungan semacam itu membosankan, sama seperti ceritamu saat ini. Ha ha." Tawamu membahana, lesung pipitmu membuat dasar yang semakin dalam.
Tawamu yang berat bagaikan rokok yang kita hisap menyeretku. Aku ikut menertawaimu yang sarkas. Kita tertawa bersama-sama, berisik. Kuperhatikan sekitar, orang-orang memandangi kita dengan tatapan awas. Seorang pramusaji mendatangi meja kita, bertanya:
"Mas, sampean daritadi bicara sendiri dan tertawa sendiri dan muter-muter di kursi sendiri dan ribut sendiri. Sampean mengganggu sekali."
Aku menunduk, ingin menangis. Kamu tiba-tiba saja menghilang dari khayalanku.
"Aku hanya merindukan bulan Januari," belaku. Air mataku tumpah, kopi dan rokokmu tertinggal di meja. Aku akan menghabiskannya, sendirian saja. Harapku, semoga kamu benar-benar merindukan Januari. Hujan kembali turun, deras sekali. Aku terhempas di bulan Februari, benar-benar sendiri. Kamu tepat, aku memang cengeng dan aku butuh tisu yang sempat kutelan tadi.
*Kotang: kopi hitam dengan ampas yang sampai setengah volume gelas.
Bazilie
Yogyakarta
Maret 2018