Setelah hujan di Yogyakarta hari ini, mungkin kamu akan sedikit merindukan Januari: perubahan di kota hujan, malam basah di kota kembang, keterasingan di kota kelahiranmu, serta kegugupan yang mengiringi busmu saat kembali ke Yogyakarta. Semua itu memang harus disimpan jauh dalam kepala, tapi setelah hujan sore ini, mungkin kamu akan merindukan Januari yang tak sanggup membuatmu mengelak dari batas kesempatan yang dihadiahkan Tuhan.
Sambil menunggu reda, kamu memesan secangkir kotang* yang ampas hitamnya banyak sekali. Dengan 5000 rupiah, kamu memiliki alasan untuk meneduhkan dirimu dari hujan Februari. Kita berdua terpaksa menabahi ini dalam citraan yang sering kita jumpai pada puisi. Keadaan ini nampaknya sudah klise sekali.
"Meja dan kursi yang terbuat dari kayu ini merangsangku untuk merokok." Asap pun berhembus, terbang mengikuti angin menuju arah yang tak kamu perhatikan. Tak ada yang menegurmu karena telah membuang asap yang kata sebagian orang mengganggu itu. Kepalamu menengadah pada palfon yang tinggi.
"Tanggal di kalender menunjukan Februari memasuki hari ke-3. Awal bulan. Apakah kamu menyenangi awal Februari?" Aku membuka topik pembicaraan. Kamu menghisap rokokmu. "Kurasa kamu tidak pernah merindukan awal, tengah, apalagi akhir bulan karena kamu sudah bukan mahasiswi ---kamu sangat cantik ketika kuliah dulu, mirip Chelsea Islan. Kamu yang pernah menjadi seorang istri, sekarang hanya melihat tanggal sebatas penunjuk pergantian bulan, cukup, tidak lebih dan kurang kan? Tapi Januari tahun ini sedikit berbeda bukan? Setelah hujan sore ini, kamu mungkin merindukan Januari." Kujawab sendiri pertanyaanku. Kamu tetap menatap tinggi.
Ada jengah yang lambat-laun menyergapku. Kuputuskan mengambil rokokmu tanpa bicara, kita berdua merokok dalam diam, membiarkan keramaian yang terjadi di sekeliling mengendus-ngendus udara lalu menabrak gendang telinga kita.
Aku ingin berdiskusi mengapa Tuhan menciptakan suara. Suara yang berisik, suara yang berbisik. Apakah karena Tuhan terlanjur menciptakan telinga? Atau agar manusia bisa mengganggu manusia lainnya? Dalam keyakinanku, aku hanya yakin bahwa Tuhan menciptakan suara, apa pun itu, agar manusia dapat menghayati kesumbangan miliknya sendiri, banyak yang tak sepakat, aku tidak peduli. Tapi, teriakan-teriakan di bus tujuan Yogyakarta itu tiba-tiba membuatku rikuh sendiri. Aku riskan kamu juga tak peduli.
"Kenapa kamu menciptakan hujan dan memilih kafe untuk saat ini?" Kamu akhirnya bicara, sayangnya bukan padaku. Kamu lalu menyatakan bahwa kamu menginginkan Januari, bukan Februari. Kamu ingin setiap hari terbangun di hari-hari Januari yang kering.
"Tapi Januari adalah bulan basah," bantahku. Kamu lalu berucap kalau aku cengeng, cengeng sekali. Kemudian kamu melangkah menjauhi meja kita, menuju kasir, menunduk seraya menangis di depan vending machine di sebelahnya, lantas kamu berlarian mengelilingi caf sambil berteriak-teriak "Cinta, hujan, cafe, cinta, hujan, caf ...." Terus, terus, terus. Aku tak bisa menemanimu, kakiku masih pincang, padahal aku sangat ingin. 8 atau 7 putaran kamu kembali. Keringatmu, kamu lap dengan tisu, kamu menelan tisu-tisu itu sambil melepas jilbab kuningmu.
"Kamu lapar?"
"Aku hanya sedang ingin makan tisu saja. Ngomong-ngomong, rokok ini berat sekali, kopi ini bikin degdegan, dan saat ini juga aku ingin kembali dicium kursi, tepat di sini." Kamu menunjuk lehermu yang putih. "Tapi bukan yang dari kayu, aku ingin bangku dalam bus. Kamu mau mengambilkannya untukku?" tanyamu, aku yakin kamu bertanya padaku.
"Harusnya kamu merindukan Januari, bukan ingin mengulangi kejadian waktu itu." Kamu menggeleng sambil menyentuh dada, tepat di jantung. "Dadamu sakit? Mungkin kamu perlu bercermin."
Kamu memerhatikan tembok di sisi meja kita, tembok yang hanya diplester. Matamu memandang begitu jauh, begitu substil, begitu sublim.
"Apa yang kamu lakukan?"
Jawabmu, kamu jadi ingin bercermin di dingin semen beku.
"Semen itu mengeras, bukan membeku."
Katamu, kamu ingin bercermin di dingin semen beku. Kamu berbicara dengan suara yang lebih nyaring.
Kugapai rambutmu yang berantakkan, kubetulkan helai demi helai hingga rapi bagaikan deretan tanggal di kalender. Kamu kelihatan lebih cantik sekarang.
"Kamu sudah menemukan dirimu?" tanyaku. Rambut hitam sebahumu bergerak mengikuti kepalamu yang mengatakan tidak. Aku jadi ingat pernikahan kita.
"Aku tidak pernah mencintaimu, tidak akan pernah." Begitulah yang kamu katakan sehari setelah kita sah sebagai suami-istri. Tentu saja aku kaget, sangat kaget. "Kamu hanya dalih agar orang tuaku tidak malu." Kejujuranmu membuat kita begitu jauh setelahnya, sangat jauh layaknya jarak yang dilalui ratusan PO bus setiap hari. Walau kita tetap bersama, akan tetapi hubungan yang terjalin hanya sebatas simbiosis parasitisme antara antioksidan dalam kopi dan oksidan dari pembakaran zat organik pada rokok. Sebelum hari ini, aku bukan perokok.
"Kamu orang baik," katamu pada suatu malam di salah satu tanggal Januari, "sesekali aku ingin baik padamu, agar kamu bahagia karenaku." Berangkatlah kita  menuju 3 kota yang sangat ingin kamu kunjungi.
Bogor. Orang tuamu gembira melihat kita bermesraan di hadapan mereka. Aku juga begitu dan yang lebih penting adalah di rumah orang tuamulah kita bersenggama pertama kali, kamu luar biasa. Sebelum kita meninggalkan Bogor, kita sempatkan diri bergandengan di pendestrian kota itu. "Kota ini sekarang terlalu penuh dengan pembangunan serta agama.
Aku tak nyaman lagi berada di sini. Tapi di sini, aku pernah tumbuh begitu lama lalu menemukan ciuman pertamaku, bersama seorang perempuan. Perempuan yang kemudian meninggalkanku begitu saja setelah ia menemukan jilbab dalam tas slempangku. Itu sudah lama sekali," tuturmu seraya mengapitkan diri padaku, erat. Wajahmu memerah waktu itu, mungkin hanya karena cuaca yang kebetulan terik.
Dari Jendela yang tak berkaca, kita mendapati hujan telah berubah jadi gerimis. "Aku jadi ingat Bandung. Banyak orang yang mencintaiku di sana." Kamu berbicara pelan, Bogor di kepalaku memudar, dengan cepat aku melanjutkan: "Ada Dilan serta Milea juga." Kamu menepuk udara, aku tahu, kamu sangat cemburu pada Dilan yang mendapatkan Milea.
"Bandung romantis, aku menghabiskan gerimis semalaman dengan hanya secangkir bajigur." Aku kagum, kamu hebat sekali. "Setetes demi setetes." Aku tak mengerti maksud kalimatmu, yang jelas di Bandung kamu meninggalkanku terlelap di hotel sendirian. Kamu pergi tanpa bilang-bilang. Paginya kamu kembali dengan mata yang sembab, aku langsung memelukmu, dan tak ingin menanyakan apa yang telah terjadi di Bandung yang kamu vonis romantis.
"Sekarang kita ada di Cianjur."
"Bukan, sekarang kita di Yogyakarta!" tegasku.
Cianjur. Kota kelahiranmu. Kita menziarahi makam kakek dan nenek dari ayahmu. "Semenjak kepergian kakek, aku jarang mengunjungi kota ini," ucapmu di rumah saudara yang katamu berangsur-rangsur menjauh.
Di kota yang bertetangga dengan Bogor itu, kamu mengenalkanku pada beberapa saudaramu. Saudaramu memujiku tampan, mereka memujimu pandai mencari pasangan. "Kenapa mereka tidak hadir pada perkawinan kita?" tanyaku di galengan sawah tempatmu mencari belut, dahulu. "Kami semua terasing satu sama lain. Ayahku membenci saudara-saudaranya yang berasal dari kota ini." Ada nada enggan dalam suaramu.
"Ha ha." Kamu tertawa terpingkal-pingkal.
"Ha ha." Aku juga. Kita bersenang-senang setelah menghalalkan cerita tentang saudara-saudaramu yang memuakan. Aku baru tahu, asap ganja ternyata dapat membuat kita dapat menertawakan apa saja.
Hujan berhenti, jalanan di luar mungkin licin. Jalinan cerita dalam kepalaku loncat bak bunga cengkeh dalam kretek, tak menentu. Tahu-tahu aku mendengarkan musik koplo dalam bus yang membawa kita pulang ke Yogyakarta. Semua penumpang menyanyi gembira, aku juga, kecuali kamu. Kamu lekat memandang ke luar sejak bus melaju menuju tujuan. "Kota-kota yang kaku, gerakan mereka semu," katamu dengan suara parau sambil meremas-remas busa jok. "Kamu gugup?" tanyaku. Kamu malah memelukku tapi Pak sopir terus ngebut walau jalan baru selesai dilanda hujan.
"Aku cukup bahagia. Pulang ke mana kita?"
Belum sempat kujawab pertanyaanmu, bus sudah oleng, Pak sopir oleng, penumpang-penumpang oleng. Nama Tuhan berkeliaran di dalam bus, dengan nada yang amat sangat sumbang. Akhirnya kamu tinggalkan sebuah nama yang tak ingin kusebut-sebut lagi. Dan berkat kejadian itu, kini aku berbicara pada dirimu yang tak berwujud.
"Kita berdua terhubung oleh ikatan batin yang agak sinting."
"Kenapa begitu? Bukankah hubungan bantin laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang wajar?"
"Hubungan semacam itu membosankan, sama seperti ceritamu saat ini. Ha ha." Tawamu membahana, lesung pipitmu membuat dasar yang semakin dalam.
Tawamu yang berat bagaikan rokok yang kita hisap menyeretku. Aku ikut menertawaimu yang sarkas. Kita tertawa bersama-sama, berisik. Kuperhatikan sekitar, orang-orang memandangi kita dengan tatapan awas. Seorang pramusaji mendatangi meja kita, bertanya:
"Mas, sampean daritadi bicara sendiri dan tertawa sendiri dan muter-muter di kursi sendiri dan ribut sendiri. Sampean mengganggu sekali."
Aku menunduk, ingin menangis. Kamu tiba-tiba saja menghilang dari khayalanku.
"Aku hanya merindukan bulan Januari," belaku. Air mataku tumpah, kopi dan rokokmu tertinggal di meja. Aku akan menghabiskannya, sendirian saja. Harapku, semoga kamu benar-benar merindukan Januari. Hujan kembali turun, deras sekali. Aku terhempas di bulan Februari, benar-benar sendiri. Kamu tepat, aku memang cengeng dan aku butuh tisu yang sempat kutelan tadi.
*Kotang: kopi hitam dengan ampas yang sampai setengah volume gelas.
Bazilie
Yogyakarta
Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H