Dari Jendela yang tak berkaca, kita mendapati hujan telah berubah jadi gerimis. "Aku jadi ingat Bandung. Banyak orang yang mencintaiku di sana." Kamu berbicara pelan, Bogor di kepalaku memudar, dengan cepat aku melanjutkan: "Ada Dilan serta Milea juga." Kamu menepuk udara, aku tahu, kamu sangat cemburu pada Dilan yang mendapatkan Milea.
"Bandung romantis, aku menghabiskan gerimis semalaman dengan hanya secangkir bajigur." Aku kagum, kamu hebat sekali. "Setetes demi setetes." Aku tak mengerti maksud kalimatmu, yang jelas di Bandung kamu meninggalkanku terlelap di hotel sendirian. Kamu pergi tanpa bilang-bilang. Paginya kamu kembali dengan mata yang sembab, aku langsung memelukmu, dan tak ingin menanyakan apa yang telah terjadi di Bandung yang kamu vonis romantis.
"Sekarang kita ada di Cianjur."
"Bukan, sekarang kita di Yogyakarta!" tegasku.
Cianjur. Kota kelahiranmu. Kita menziarahi makam kakek dan nenek dari ayahmu. "Semenjak kepergian kakek, aku jarang mengunjungi kota ini," ucapmu di rumah saudara yang katamu berangsur-rangsur menjauh.
Di kota yang bertetangga dengan Bogor itu, kamu mengenalkanku pada beberapa saudaramu. Saudaramu memujiku tampan, mereka memujimu pandai mencari pasangan. "Kenapa mereka tidak hadir pada perkawinan kita?" tanyaku di galengan sawah tempatmu mencari belut, dahulu. "Kami semua terasing satu sama lain. Ayahku membenci saudara-saudaranya yang berasal dari kota ini." Ada nada enggan dalam suaramu.
"Ha ha." Kamu tertawa terpingkal-pingkal.
"Ha ha." Aku juga. Kita bersenang-senang setelah menghalalkan cerita tentang saudara-saudaramu yang memuakan. Aku baru tahu, asap ganja ternyata dapat membuat kita dapat menertawakan apa saja.
Hujan berhenti, jalanan di luar mungkin licin. Jalinan cerita dalam kepalaku loncat bak bunga cengkeh dalam kretek, tak menentu. Tahu-tahu aku mendengarkan musik koplo dalam bus yang membawa kita pulang ke Yogyakarta. Semua penumpang menyanyi gembira, aku juga, kecuali kamu. Kamu lekat memandang ke luar sejak bus melaju menuju tujuan. "Kota-kota yang kaku, gerakan mereka semu," katamu dengan suara parau sambil meremas-remas busa jok. "Kamu gugup?" tanyaku. Kamu malah memelukku tapi Pak sopir terus ngebut walau jalan baru selesai dilanda hujan.
"Aku cukup bahagia. Pulang ke mana kita?"
Belum sempat kujawab pertanyaanmu, bus sudah oleng, Pak sopir oleng, penumpang-penumpang oleng. Nama Tuhan berkeliaran di dalam bus, dengan nada yang amat sangat sumbang. Akhirnya kamu tinggalkan sebuah nama yang tak ingin kusebut-sebut lagi. Dan berkat kejadian itu, kini aku berbicara pada dirimu yang tak berwujud.