Mohon tunggu...
Bayu Wira Pratama
Bayu Wira Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Saya adalah seseorang yang terus mencari identitas dan belajar untuk terus belajar. Sangat menghargai pengetahuan, apalagi ketidaktahuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup di Masa Ambyar ala Imam Hanafi (1)

7 Desember 2022   09:15 Diperbarui: 7 Desember 2022   11:02 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wikipedia.com dan Pinterest.com

Tidakkah kita merasa, kehidupan saat ini begitu absurd? Keseharian ini dipenuhi dengan berbagai kecemerlangan, juga dipenuhi berbagai kegelapan. Begitu banyak kebaikan manusia yang tersebar dalam berbagai ucapan, tindakan, atau bahkan 'gerakan' hati. Tapi, begitu banyak pula keburukan manusia dalam lingkup yang serupa. Membuang sampah pada tempatnya digalakkan, tapi membuang sampah di sungai tak terlepaskan. Menghabiskan malam dengan ibadah atau sekurang-kurangnya tidur nyenyak (Tsuneko Nakamura, seorang psikiater Jepang dengan karyanya, Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan, bahkan menyatakan tugas kita di malam hari adalah tidur nyenyak!), di sisi lain masih marak sebagian saudara kita yang malah balapan liar dan mengganggu kenyamanan warga. Dan, tak perlu disebutkan lebih banyak lagi, kurasa? Mudah saja untuk mencari permisalan serupa.

Media sosial yang terus kita buka dan update setiap waktu, juga tak luput dari kenyataan yang membingungkan sekaligus memberikan inspirasi. Tak perlu menyebutkan nama, karena setiap aplikasi tetap saja akan memiliki good side dan bad side, tak ubahnya dengan sebuah kota, sebagus apa pun, seinspiratif apa pun, sekreatif apa pun, semakmur apa pun, tetap akan ada sisinya yang kurang. Setiap kota memiliki dua wajah: Yang terlihat dan tak terlihat, tulis Eric Weiner dalam The Geography of Genius. Sama seperti diri kita. Karena kita bukanlah orang yang maksum, terbebas dari salah dan dosa.

Dalam menjalani dan menyongsong kehidupan yang semakin absurd ini, kita harus berontak. Aliran dunia ini begitu deras, dan kita sudah telanjur mendayung di dalamnya. Menurut Albert Camus, kita harus menghadapi hidup dengan berani, tak perlu takut terhadap kematian yang akan datang kapan pun tanpa ada siapa pun yang tahu. Berani ini, kurasa adalah salah satu cara mempersiapkan kematian yang baik, karena hidup berani adalah hidup yang baik. Tentu berani ini hanyalah sebuah kata netral, bergantung kepada subjek yang memakai kata berani tersebut, apakah berani yang bernilai positif ataukah negatif.

Hidup ini selain absurd, kurasa juga ambyar. Berpandu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ambyar adalah bercerai-berai, berpisah-pisah, atau tidak terkonsentrasi lagi. Ya, begitu pula kenyataan hidup saat ini. Oh, tidak, sejak dulu. Aku akan menariknya hingga ke masa hidupnya generasi emas umat Islam, yaitu tiga generasi awal (sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in), atau yang sering disebut dengan Salaf Ash-Shalih.

Kenyataan hidup pada zaman mereka, ternyata tidaklah jauh berbeda dengan masa kini. Pada masa itu, terjadi perluasan wilayah Islam yang sangat besar, mencapai Spanyol di Barat, Rusia di Utara, pedalaman Afrika di Selatan, dan India di Timur. Banyak orang berbondong-bondong masuk Islam. Pengkajian ilmu-ilmu keislama berkembang pesat. Dan lain sebagainya.

Tapi, zaman itu pula adalah zaman dimana kekuasaan Islam dipimpin oleh sebagian pemimpin yang jauh dari nilai-nilai Islam, suburnya para penjilat mereka -baik dari kalangan elite ataupun ulama-, hingga cara berpikir yang kaku dan tidak menerima perbedaan pendapat, bahkan sampai taraf hukuman kafir dan ancaman pembunuhan.

Zaman seperti itu, dilalui oleh salah seorang imam agung yang kita kenal sebagai salah satu imam mazhab, yaitu Imam Hanafi (Abu Hanifah; Nu'man bin Tsabit. Mulai sekarang, aku akan menggunakan Abu Hanifah saja). Salah satu ciri khas Abu Hanifah adalah penggunaan akal (rasio) sebaik mungkin, dalam rangka memudahkan dan menjelaskan syariat, juga membebaskan manusia dari kejumudan berpikir alias hanya sekadar "terima jadi."

Berikut ini adalah beberapa hikmah dan teladan dari Abu Hanifah dalam mengarungi kehidupan yang ambyar di masanya, dan begitu relevan dengan kehidupan ambyar kita saat ini.

1. Tak membeda-bedakan


Abu Hanifah sendiri berasal dari Persia, layaknya Salman Al-Farisi. Namanya, Nu'man, diambil dari nama seorang pemimpin Persia. Kenyataan ini ternyata menimbulkan kedengkian di hati sebagian orang dari bangsa Arab fanatik yang tidak suka melihat ada orang alim non-Arab. Orang-orang yang membela Abu Hanifah menyatakan bahwa sang imam berasal dari bangsa Arab. Tapi, Abu Hanifah sendiri merasa tidak senang dengan pembelaan mereka. Beliau benar-benar teguh mengikuti ajaran Rasulullah dan sahabat. Apakah ditemukan fakta bahwa Rasulullah bersikap pilih kasih antara Umar bin Khattab dari bangsa Arab, dengan Bilal bin Rabah dari bangsa Afrika, dan Salman Al-Farisi dari bangsa Persia? Sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an, semua bangsa berkedudukan setara di hadapan Allah. Hanya satu aspek pembeda: Kadar ketakwaan.

2. Dunia dapat, akhirat dapat


Abu Hanifah selain dikenal sebagai seorang alim, beliau juga dikenal sebagai pedagang yang jujur dan warak. Ilmu-ilmu dan adab-adab yang telah dipelajari, dipraktekkan dan diamalkan langsung, salah satu medianya adalah melalui perdagangan tersebut. Abu Hanifah tidak lupa terdapat hak-hak yang harus disalurkan kepada orang yang membutuhkan di dalam keuntungan yang diperolehnya.

3. Ikhlas beribadah dan tidak mengejar pandangan dan pujian orang lain


Ketika Abu Hanifah mendengar terdapat orang yang membutuhkan, beliau segera menyiapkan, membawa, dan meletakkan bungkusan sembako di depan rumah orang tersebut. Setelah itu, beliau mengetuk pintu rumahnya dan bersikap layaknya seorang kurir paket, lalu pergi berlalu dan tak ada seorang pun yang tahu siapa yang memberikannya. Abu Hanifah melakukan demikian tak mengharap imbalan, juga pujian orang lain. Hal serupa ternyata sudah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin, cicit Rasulullah Saw. Ketika prosesi pemandian jenazah beliau, ditemukan bekas pundak yang menghitam, ternyata beliaulah orang yang selama ini senantiasa membawa dan memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan di waktu malam hari, tanpa ada siapa pun yang mengetahui.

4. Nikmatilah hidup dan bersyukur


Suatu ketika ada orang yang berpakaian lusuh duduk di sebelah Abu Hanifah. Lantas saja beliau dengan lirih menyerahkan seribu dirham kepadanya untuk memperbaiki penampilan. Tetapi orang itu berkata bahwa dirinya sengaja agar bersikap zuhud terhadap dunia. Abu Hanifah berkata, "Apakah engkau tidak mendengar hadis bahwa Allah suka melihat jejak nikmat-Nya pada diri hamba-Nya?"

Hal serupa juga diajarkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, bahwa hakikat zuhud yang sesungguhnya itu terletak di hati, bukan di penampilan. Maka, tak masalah membeli dan mengenakan pakaian yang bagus dan sesuai selera, asalkan jangan sampai berlebihan atau membuka aurat.

Silahkan untuk menikmati rezeki yang telah Allah berikan, dan bersyukurlah atasnya! Membeli Mie Gacoan, berbelanja buku di Gramedia, jalan-jalan ke Yogyakarta, camping di tepi Ranu Kumbolo, menonton sepakbola di Qatar (bagi yang mampu), dan masih banyak lagi. Selama diniatkan sebagai sebuah bentuk syukur atas nikmat yang telah Allah berikan, dalam rangka menjelajahi dan mentadabburi alam yang telah Allah ciptakan, maka apakah ada masalah di dalamnya?

5. Jangan takut dibenci


Kenyataan hidup dulu hingga kini, seseorang dengan ide-ide besar, para pembawa kebenaran, hingga pemikir-pemikir yang radikal dan kritis, tentu tak akan lepas dari para pembenci. Dan, kita pasti memiliki seorang pembenci! Bahkan Rasulullah saja ada pembencinya, apalagi kita yang bahkan begitu bersyukur menjadi debu di jalan Al-Musthofa? Tidak luput pula Abu Hanifah dari terpaan cacian dan ancaman para pembencinya. Pembenci paling besar yang pernah dihadapi Abu Hanifah berasal dari kalangan pemimpin yang zalim dan ulama yang menjilat mereka, membenarkan segala kesewenang-wenangan mereka dengan hadis-hadis dha'if jiddan dan maudhu. Abu Hanifah dengan pemikirannya yang rasional, ditentang oleh mereka yang jumud dan kaku, tidak mendayagunakan akal sedikitpun. Padahal akal adalah anugerah terbesar manusia yang diberikan oleh Allah yang tak diberikan kepada makhluk selainnya. Hiduplah dan jangan pikirkan para pembencimu! Mereka akan semakin sengit dan semangat untuk membuat kita emosi jika kita terpancing. Hal ini juga berkaitan dengan ajaran kaum Stoik yang dikenal luas, bahwa hal-hal tersebut berada di luar kendali kita, jadi untuk apa kita mengambil pusing? Semua terserah pada kita!

6. Berdiskusi secara sehat


Masa kini, orang-orang berdiskusi dan berdebat, entah secara offline atau online, dengan lebih mengedepankan hawa nafsu dan perasaan bahwa dirinyalah pemangku kebenaran. Sehingga apabila terbukti dirinya salah, ia tak mau mengakui kesalahannya dan tetap kukuh membela pendapatnya. Tak jarang pula, hal ini menimbulkan perpecahan dan kebencian. Kata-kata kasar tak lagi dapat dibendung.

Sudah sepantasnya kita bercermin kepada adab para Salaf Ash-Shalih dalam berdebat dan berdiskusi. Mereka berdiskusi benar-benar untuk menemukan kebenaran, bukan untuk melakukan pembenaran. Mereka menyampaikan pendapat bukan dengan asal-asalan, tapi memiliki dasar dan argumentasi yang kuat. Dan apa puncak dari itu semua? Lapang dada. Ya. "Barangkali perkataanku salah semua, tidak benar semua", ujar Abu Hanifah.

Tak sedikit fragmen yang mengabadikan kisah Abu Hanifah berdiskusi dengan berbagai kalangan, mulai dari Khawarij, Mu'tazilah, Syi'ah, hingga Ateis. Melalui momen tersebut, Abu Hanifah mengeluarkan pendapat dan argumentasi yang kelak akan membuat mereka tersadar bahwa apa yang dipegang oleh mereka adalah sebuah kesalahan, dengan ketulusan hati, kefasihan lisan, dan ketinggian adab.

Referensi:
1. Al-Syarqawi, Abdurrahman. Biografi Empat Imam. Qaf: Jakarta, 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun