2. Dunia dapat, akhirat dapat
Abu Hanifah selain dikenal sebagai seorang alim, beliau juga dikenal sebagai pedagang yang jujur dan warak. Ilmu-ilmu dan adab-adab yang telah dipelajari, dipraktekkan dan diamalkan langsung, salah satu medianya adalah melalui perdagangan tersebut. Abu Hanifah tidak lupa terdapat hak-hak yang harus disalurkan kepada orang yang membutuhkan di dalam keuntungan yang diperolehnya.
3. Ikhlas beribadah dan tidak mengejar pandangan dan pujian orang lain
Ketika Abu Hanifah mendengar terdapat orang yang membutuhkan, beliau segera menyiapkan, membawa, dan meletakkan bungkusan sembako di depan rumah orang tersebut. Setelah itu, beliau mengetuk pintu rumahnya dan bersikap layaknya seorang kurir paket, lalu pergi berlalu dan tak ada seorang pun yang tahu siapa yang memberikannya. Abu Hanifah melakukan demikian tak mengharap imbalan, juga pujian orang lain. Hal serupa ternyata sudah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin, cicit Rasulullah Saw. Ketika prosesi pemandian jenazah beliau, ditemukan bekas pundak yang menghitam, ternyata beliaulah orang yang selama ini senantiasa membawa dan memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan di waktu malam hari, tanpa ada siapa pun yang mengetahui.
4. Nikmatilah hidup dan bersyukur
Suatu ketika ada orang yang berpakaian lusuh duduk di sebelah Abu Hanifah. Lantas saja beliau dengan lirih menyerahkan seribu dirham kepadanya untuk memperbaiki penampilan. Tetapi orang itu berkata bahwa dirinya sengaja agar bersikap zuhud terhadap dunia. Abu Hanifah berkata, "Apakah engkau tidak mendengar hadis bahwa Allah suka melihat jejak nikmat-Nya pada diri hamba-Nya?"
Hal serupa juga diajarkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, bahwa hakikat zuhud yang sesungguhnya itu terletak di hati, bukan di penampilan. Maka, tak masalah membeli dan mengenakan pakaian yang bagus dan sesuai selera, asalkan jangan sampai berlebihan atau membuka aurat.
Silahkan untuk menikmati rezeki yang telah Allah berikan, dan bersyukurlah atasnya! Membeli Mie Gacoan, berbelanja buku di Gramedia, jalan-jalan ke Yogyakarta, camping di tepi Ranu Kumbolo, menonton sepakbola di Qatar (bagi yang mampu), dan masih banyak lagi. Selama diniatkan sebagai sebuah bentuk syukur atas nikmat yang telah Allah berikan, dalam rangka menjelajahi dan mentadabburi alam yang telah Allah ciptakan, maka apakah ada masalah di dalamnya?
5. Jangan takut dibenci
Kenyataan hidup dulu hingga kini, seseorang dengan ide-ide besar, para pembawa kebenaran, hingga pemikir-pemikir yang radikal dan kritis, tentu tak akan lepas dari para pembenci. Dan, kita pasti memiliki seorang pembenci! Bahkan Rasulullah saja ada pembencinya, apalagi kita yang bahkan begitu bersyukur menjadi debu di jalan Al-Musthofa? Tidak luput pula Abu Hanifah dari terpaan cacian dan ancaman para pembencinya. Pembenci paling besar yang pernah dihadapi Abu Hanifah berasal dari kalangan pemimpin yang zalim dan ulama yang menjilat mereka, membenarkan segala kesewenang-wenangan mereka dengan hadis-hadis dha'if jiddan dan maudhu. Abu Hanifah dengan pemikirannya yang rasional, ditentang oleh mereka yang jumud dan kaku, tidak mendayagunakan akal sedikitpun. Padahal akal adalah anugerah terbesar manusia yang diberikan oleh Allah yang tak diberikan kepada makhluk selainnya. Hiduplah dan jangan pikirkan para pembencimu! Mereka akan semakin sengit dan semangat untuk membuat kita emosi jika kita terpancing. Hal ini juga berkaitan dengan ajaran kaum Stoik yang dikenal luas, bahwa hal-hal tersebut berada di luar kendali kita, jadi untuk apa kita mengambil pusing? Semua terserah pada kita!
6. Berdiskusi secara sehat