Belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan di antara berbagai alternatif strategik untuk mencapai tujuan individual. Kesadaran mengenai hal ini akan sangat menentukan sikap dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang belajar di perguruan tinggi. Idealnya, karena seseorang mendapat privilege belajar di perguruan tinggi, seseorang dituntut untuk berbuat atau bertindak lebih dari mereka yang tidak mendapatkan privilege tersebut.
Ada dilema nyata dalam pendidikan tinggi saat ini, di mana hasil belajar mahasiswa seringkali tidak sesuai dengan harapan. Kemampuan, kompetensi, atau keterampilan yang seharusnya dimiliki oleh seorang sarjana tampaknya belum tercermin pada mahasiswa atau lulusan. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita belum berhasil menghasilkan sumber daya manusia berkualitas yang sesuai dengan gelar yang mereka miliki. Ujian komprehensif sering kali menjadi momen di mana pengajar menyadari adanya kesenjangan antara harapan dan realitas.Â
Secara umum, mahasiswa belum mampu menunjukkan atribut atau perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seorang calon sarjana. Banyak mahasiswa dengan indeks prestasi tinggi namun tidak memiliki pengetahuan konseptual yang cukup, sehingga mereka kesulitan menjelaskan suatu masalah atau menjawab pertanyaan konseptual dengan memuaskan.Â
Mahasiswa sering kali kesulitan mengartikulasikan berbagai konsep dari berbagai mata kuliah menjadi suatu pengetahuan terpadu yang mencerminkan disiplin ilmu yang mereka pelajari. Secara umum, mereka kurang mampu menjawab pertanyaan 'mengapa' secara komprehensif dan terpadu untuk menunjukkan penguasaan pengetahuan dalam disiplin ilmu mereka.
Pengetahuan konseptual dan kemampuan penalaran masih jauh dari yang diharapkan, apalagi kemampuan berbahasa untuk ragam bahasa akademik atau ilmiah. Akibatnya, kepribadian kesarjanaan tidak terefleksi dalam sikap dan penampilan sarjana. Orang menjadi sulit untuk menebak apakah seseorang itu sarjana atau tidak.
Kuliah sekarang hanya memindah catatan dari dosen ke mahasiswa melalui proses yang sangat primitif disebut dengan (audio copy) ternyata catatan mahasiswa persis seperti catatan dosen, persis seperti buku yang tak pernah dibaca dan dimilikinya tapi catatannya rapi dan itu adalah dosen yang baik. Dan dosen skornya tinggi adalah dosen yang seperti itu (jadi secara substantif itu hanya memindah catatan).Â
Sayangnya dosen seperti itu yang menjadi favorit mahasiswa, jadi kalau memilih dosen, dosen Seperti itu yang dapat menjelaskan dengan baik tanpa belajar. "itulah perampok proses belajar" jadi hasilnya mahasiswa yang dibelakang tak pernah mendengarkan, dan menumbuhkan persepsi untuk meminjam catatan temanya, jadi tak punya nilai tambah dan sayangnya itu yang disukai mahasiswa.
Pola pembelajaran dosen aktif dengan mahasiswa pasif ini mempunyai efektivitas Metode pembelajaran "I lecture, you listen" masih mewarnai pendidikan di Perguruan Tinggi. Dosen merupakan tokoh sentral, dan lebih-kurang 80% waktunya digunakan untuk memindahkan (transfer) ilmunya secara konvensional (one-way traffic), sementara itu para mahasiswa duduk mendengarkan ceramahnya dengan aktivitas minimal tanpa mengaktifkan prior knowledge yang relevan dengan pokok bahasan.
Di dalam one-way traffic method para mahasiswa menunjukkan sikap apatis dan tidak tertarik terhadap proses pembelajaran. Lebih dari itu, kemampuan konseptualisasi sebagian besar mahasiswa bersifat terbatas karena mereka belajar dalam struktur dan pengarahan yang kaku. Mereka tidak dapat think outside the box. One-way traffic method terjadi di dalam paradigma Teacher-Centered Learning (TCL).Â
Di dalam paradigma ini para mahasiswa cenderung menjadi receiver, kurang berperan sebagai elaborator dan/atau explorer. Di samping itu, para mahasiswa masuk ke dalam situasi rote learning, bukan meaningful learning. Situasi demikian ini diperkuat oleh materi kuliah yang bersifat konseptual. Pada hakekatnya para mahasiswa adalah sekelompok manusia yang beranjak dewasa dengan berbagai macam perubahan fisik, sosial dan psikologis. Mereka bukan lagi anak-anak yang menunggu untuk disuapi oleh orang tuanya.
Student-Centered Learning (SCL)
Ide dasar dari student-centeredness adalah "student might not only choose what to study, but how and why that topic might be an interesting one to study". SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan mahasiswa sebagai subyek/peserta didik yang aktif dan mandiri, dengan kondisi psikologik sebagai adult learner, bertanggung jawab sepenuhnya atas pembelajarannya, serta mampu belajar beyond the classroom.Â
Dengan prinsip-prinsip ini maka para mahasiswa diharapkan memiliki dan menghayati jiwa life-long learner serta menguasai hard skills dan soft skills yang saling mendukung. Di sisi lain, para dosen beralih fungsi menjadi fasilitator, termasuk sebagai mitra pembelajaran, tidak lagi sebagai sumber pengetahuan utama.
Pembelajaran aktif berlangsung ketika para mahasiswa diberi kesempatan untuk lebih berinteraksi dengan teman sesama mahasiswa maupun dengan dosen perihal pokok bahasan yang sedang dihadapinya, mengembangkan pengetahuan dan bukan sekedar menerima informasi dari dosen. Di dalam suasana pembelajaran aktif maka dosen bertindak sebagai faslitator, bukan mendikte para mahasiswa.Â
Pada hakekatnya pembelajaran aktif (mentally not physically) memerlukan upaya intelektual, analisis, sintesis dan evaluasi, serta meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam hal asimilasi dan aplikasi pengetahuan. Sasaran pembelajaran aktif adalah pengembangan keterampilan berpikir, bukan pemindahan informasi.
Secara oprasional "Patrap Tri Loka" secara utuh (sebagaimana telah diketahui oleh para pendidik di Indonesia, yaitu ("ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri andayani")).
Pembelajaran mandiri (self-directed learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student-centred approach)Â di mana proses dan pengalaman belajar diatur dan dikontrol oleh mahasiswa sendiri. Para mahasiswa memutuskan sendiri tentang "bagaimana, di mana, dan kapan belajar tentang suatu hal yang mereka anggap merupakan hal yang penting" dilihat operasional pembelajaran mandiri diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam hal metode dan disiplin, logika dan analitika, kolaboratif dan interdependen, sifat ingin tahu dan terbuka, kreatif, termotivasi, persisten dan bertanggung jawab, percaya diri dan mampu untuk belajar, serta reflektif dan sadar diri.
Pendekatan "berpusat dosen" dan "berpusat mahasiswa" adalah dua pendekatan yang berbeda dalam proses pembelajaran. Berikut adalah perbedaan antara keduanya:
- Tujuan Pembelajaran: Dalam pendekatan berpusat dosen, tujuan pembelajaran ditetapkan oleh dosen. Dalam pendekatan berpusat mahasiswa, tujuan pembelajaran ditetapkan oleh mahasiswa.
- Kurikulum: Dalam pendekatan berpusat dosen, kurikulum didesain oleh dosen dengan fokus pada materi yang harus diajarkan. Dalam pendekatan berpusat mahasiswa, kurikulum didesain dengan mempertimbangkan kebutuhan dan minat mahasiswa.
- Peran Dosen: Dalam pendekatan berpusat dosen, dosen bertindak sebagai pemimpin dan penyampai informasi. Dalam pendekatan berpusat mahasiswa, dosen bertindak sebagai fasilitator dan membantu mahasiswa dalam memperoleh pengetahuan.
- Peran Mahasiswa: Dalam pendekatan berpusat dosen, mahasiswa lebih pasif dalam pembelajaran dan menerima informasi dari dosen. Dalam pendekatan berpusat mahasiswa, mahasiswa lebih aktif dalam pembelajaran dan terlibat dalam proses belajar.
- Metode Pembelajaran: Pendekatan berpusat dosen cenderung menggunakan metode pengajaran seperti ceramah dan transfer pengetahuan. Pendekatan berpusat mahasiswa cenderung menggunakan metode yang melibatkan partisipasi aktif mahasiswa seperti diskusi kelompok dan proyek.
Revolusi Industri 4.0 dan Dampaknya pada Pendidikan
Revolusi industri 4.0 telah mengubah berbagai aspek kehidupan kita, termasuk pendidikan. Digitalisasi, kekuatan komputasi, dan analitik data telah melahirkan teknologi "cyber physical" seperti "autonomous vehicle", "three printing", "advanced robotic", "internet of things", "big data", "artificial intelligence", "virtual reality", "block chain", hingga "crypto currency". Tenaga pendidik di era revolusi industri harus meningkatkan pemahaman dalam mengekspresikan diri di bidang literasi media, memahami informasi yang akan dibagikan kepada para peserta didik serta menemukan analisis untuk menyelesaikan permasalahan akademisi literasi digital. Untuk menjawab tantangan ini, perguruan tinggi harus berubah, termasuk dalam menghasilkan dosen berkualitas bagi generasi masa depan. Salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan mengembangkan pengajaran berbasis riset di perguruan tinggi.
Tantangan Tenaga Pendidik dan Mahasiswa
Tantangan bagi tenaga pendidik dan mahasiswa adalah meningkatkan pemahaman dalam mengekspresikan diri di bidang literasi media, memahami informasi serta menemukan analisis untuk menyelesaikan permasalahan akademisi literasi digital. Kedua elemen tersebut harus berkolaborasi dalam menyesuaikan pada era saat ini.
Makna Kuliah (evaluasi subjektif)Â
Mahasiswa membawa serta kebiasaan belajar pra-perguruan tinggi. Makna kuliah diperoleh mahasiswa karena pengalaman dalam mengikuti kuliah. Kuliah (temu kelas) merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Dosen merupakan dewa pengetahuan. Pengamatan: Kulian = D3C-B => Datang, Duduk, Dengar, Catat - Berpikir. itulah Kuliah sekarang Jadi hanya terjadi Copy audio Sebetulnya itu adalah adalah proses pembebalan yang Sangat luar biasa, bukan proses penajaman pikiran maka terjadi krisis penalaran.
Mahasiswa dan Pembelajaran Mandiri
- Mahasiswa harus mampu tau dengan cara membaca. Mahasiswa harus diberi pengalaman bahwa belajar mandiri dan menjadi mengerti itu merupakan suatu yang nikmat atau menyenangkan; bahwa menguasai mata kuliah secara mendalam dan luas hanya dengan membaca itu adalah menyenangkan sehingga dan membuat kecanduan.
- Berilah Pengalaman.
- Berorientasilah pada proses bukan pada nilai semata.
Kemandirian belajar harus ditanamkan sejak awal kepada perserta didik atau mahasiswa, ini merupakan suatu proses dan pengalaman belajar, mahasiswa harus mempunyai kesan yang benar bahwa mereka belajar di perguruan tinggi akan sangat berbeda dengan belajar di sekolah menengah atau lembaga kurus.
"Indikator kelas berhasil adalah mahasiswa tidak sabar menunggu kelas berikutnya."
Jikalau ada pertanyaan: loh nanti apa gunanya saya bayar? Tujuan saya supaya dosen menjelaskan kepada saya. Kalau punya pikiran seperti itu harus di delete dari otaknya itu.
Hal tersebut bisa diibaratkan seperti seorang yang membeli tiket konser musik, tetapi hanya ingin mendengar lagu-lagu yang sudah dikenalnya saja. Mereka tidak ingin mendengar lagu baru atau improvisasi dari musisi, padahal hal tersebut bisa memberikan pengalaman yang berbeda dan memperkaya pengetahuan musik mereka. Dalam konteks pendidikan, mahasiswa seharusnya tidak hanya mengharapkan dosen untuk menjelaskan apa yang sudah mereka ketahui, tetapi juga untuk membuka wawasan baru dan memperkaya pengetahuan mereka. Jika mahasiswa hanya berfokus pada apa yang mereka ingin dengar saja, hal tersebut sama seperti membatasi diri mereka sendiri untuk belajar dan berkembang. Oleh karena itu, pemikiran seperti itu sebaiknya dihapus dari pikiran mereka.
Mereka yang belajar di perguruan tinggi dituntut tidak hanya mempunyai keterampilan teknis tetapi juga mempunyai daya dan kerangka pikir nalar serta sikap mental, kepribadian, dan kearifan tertentu penulis sebut sebagai kepribadian kesarjanaan atau kecendekiaan sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan berbeda dengan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi dalam menghadapi masalah-masalah dalam dunia nyata masyarakat. Kepribadian tersebut akhirnya membedakan mereka yang memang benar-benar telah belajar di perguruan tinggi dan tidak. Kepribadian tersebut akan terefleksi dari sikap, tindakan, dan penampilan bukan karena kesombongan tetapi karena memang itulah yang harus melekat pada seorang sarjana dan masyarakat akan memakluminya.
Beberapa atribut yang membentuk kepribadian kesarjanaan adalah:
- Penguasaan pengetahuan yang mendalam dalam disiplin ilmu
- Kemampuan penalaran dan artikulasi
- Penguasaan bahasa kesarjanaan
- Kesantunan dalam pergaulan ilmiah, profesional, dan sosial.
- Kearifan berkaitan dengan disiplin ilmu.
Kearifan timbul dan terbangun dalam diri seorang sarjana karena proses belajar dan refleksi terhadap pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan disiplin ilmunya. Memberi ciri-ciri manusia arif yaitu mempunyai yang luas to be learned, Kecerdikan smartness Akal sehat common sense, Tilikan insight, yaitu mengenal inti hal-hal yang diketahui Sikap hati-hati prudence, discrete. Pemahaman terhadap norma-norma kebenaran Kemampuan mencerna to digest pengalaman hidup.
Kemampuan Penalaran dan Artikulasi
Kemampuan penalaran dan artikulasi merupakan bagian penting dari kearifan. Kemampuan penalaran sampai pada tingkat yang tinggi dapat dicapai kalau pembelajar mampu untuk tahu sesuatu hanya dengan membaca. Membaca buku atau sumber pengetahuan yang baik merupakan sarana dalam pengembangan penalaran. Hal ini menuntut bahwa seorang sarjana menguasai bahasa, ciri bahasa keilmuan adalah kemampuan bahasa tersebut untuk mengungkapkan pikiran dan gagasan yang komperhensif dan koheren. Perlu diketahui juga bahwa tanpa penguasaan tata bahasa dan kosa kata yang baik akan sukar seorang ilmuan untuk mengungkapkan ide dan gagasannya kepada publik, oleh sebab itu dalam hal ini setidaknya mahasiswa bisa berbahasa Indonesia dan asing Inggris lebih dari sekadar untuk pergaulan umum tetapi juga mencakupi kemampuan bahasa untuk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Silabus Sebagai Kesepakatan
Silabus sebagai kesepakatan antara dosen dan mahasiswa dalam bentuk rencana belajar merupakan keharusan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kesepakatan tersebut sebenarnya tersirat bahwa dosen dan mahasiswa harus memegang buku materi dan acuan yang sama paling tidak ada buku dan acuan lain yang selalu harus dibawa dan digunakan bersama di kelas dan juga diharapkan silabus ini dapat menjadi semacam mind map, maka dari itu Dosen akan memandu mahasiswa menjelajah medan pengetahuan yang digambarkan.
Berbagi Pengetahuan dan Pengalaman
Dengan demikian, kuliah atau temu kelas akan diartikan sebagai ajang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman to share the knowledge and experiences antara dosen dan mahasiswa.
Temu Kelas Sebagai Ajang Konfirmasi Pemahaman
Temu kelas harus merupakan ajang konfirmasi pemahaman mahasiswa terhadap materi pengajaran yang sudah jelas sumbernya dengan pemahaman dan pengalaman dosen terhadap materi yang sama. Dalam hal inilah lembaga pendidikan perguruan tinggi harus dipandang berbeda dengan lembaga kursus atau pendidikan keterampilan lainnya. Dalam hal ini pulalah education harus dibedakan dengan training. Di samping menuntut aspek keterampilan teknis, education lebih menitikberatkan pada aspek pengembangan kepribadian, visi, penalaran, dan daya pikir.
Â
Referensi:
Â
Allen, I. E., & Seaman. J. (2004). Entering the Mainstream The Quality and Extent of Online Education in the United Sates, 2003 and 2004. Wellesley, MA Sloan Consortium. - References - Scientific Research Publishing. (2014). Retrieved September 25, 2023, from Scirp.org website: https://www.scirp.org/(S(vtj3fa45qm1ean45wffcz5%205))/reference/referencespapers.aspx?referenceid=1189354
Allen, Mary J. 2004. "Student Success in a Learner-Centered Environment." Occasional paper for LAVC Strategic Team for the Advancement and Retention of Students, FIPSE Grant Faculty Retreat, Ventura Callifornia (www.calstate.edu/itl/)
O'Neill, G., & Mcmahon, T. (2005). Student-centred learning: What does it mean for students and lecturers? ResearchGate; unknown. https://www.researchgate.net/publication/241465214_Student-centred_learning_What_does_it_mean_for_students_and_lecturers
Suwardjono. (2023). | Pembelajaran Inovatif dan Partisipatif. Ugm.ac.id. https://suwardjono.staff.ugm.ac.id/rupa-rupa/227-pembelajaran-inovatif.html
Wardani, N., Studi, P., Dokter, P., & Kedokteran, F. (2016). KONSEP PEMBELAJARAN STUDENT CENTERED LEARNING DI PERGURUAN TINGGI. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/09e48d77d10d4d5fadd60dce65cef048.pdf
Zuni Mitasari, & Nugroho Aji Prasetiyo. (2016). Penerapan Metode Diskusi-Presentasi Dipadu Analisis Kritis Artikel melalui Lesson Study untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep, Kemampuan Berpikir Kritis, dan Komunikasi. Jurnal Bioedukatika, 4(1), 11--11. https://doi.org/10.26555/bioedukatika.v4i1.4736
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H