Mohon tunggu...
Bayu Pratama
Bayu Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - Bekerja di BPS sejak tahun 2009

ASN di Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, Banten

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Beras yang Menuai Polemik

23 November 2018   13:55 Diperbarui: 23 November 2018   15:18 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beras kembali menjadi polemik. Masih hangat isu diperbincangkan isu terkait beras, bahkan upaya pemerintah untuk membuka keran impor.

Isu terkait beras masih ramai diperdebatkan, khususnya terkait importasi. Masing-masing pihak mempertahankan argumenya. Perlu impor agar ketersediaan pasokan tetap terjaga. Di satu sisi, tidak perlu impor karena pasokan masih aman.

Ya, semua pada pendirian masing-masing dengan tujuan yang sama, untuk menjaga rakyat. Kecukupan pangan masyarakat terjaga dan petani tidak merugi. Di sini kita melihat pentingnya beras bagi kehidupan masyarakat Indonesia.

Namun, sebagai Negara dengan populasi penduduk yang tinggi dan menempati urutan keempat populasi terbesar di dunia, masalah ini menjadi urgen bagi Indonesia. Hal ini berkorelasi positif dengan tingginya kebutuhan pangan nasional.

Urgensi Beras
Beras merupakan makanan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia. Karena itu, ketersediaannya menjadi penting. Kita patut berbangga Indonesia adalah Negara terbesar ketiga yang memproduksi beras terbanyak di dunia.

Bahkan pada era pertengahan 1980-an dan 2008, Indonesia pernah mencapai swasembada beras. Niat untuk menjadi eksportir kiranya masih sekadar harapan. Realitasnya hamper setiap tahun kita masih mengimpor beras, sebagai strategi menjaga tingkat cadangan beras.

Strategi dan kebijakan pangan yang tepat melalui pemenuhan produksi pangan berkelanjutan menjadi suatu keharusan. Kita sadari bersama, kebijakan pangan merupakan sisi strategis karena sangat berkaitan dengan kedaulatan bangsa.

Kedaulatan pangan berarti kita mampu memenuhi kebutuhan pangan bangsa kita dari hasil produksi sendiri. Selama kurun 1995 hingga 2015, produksi padi (bahan baku beras) di Indonesia secara umum menunjukkan tren meningkat.

Data BPS menunjukkan, produksi padi di Indonesia pada tahun 1995 mencapai 49,70 juta ton gabah kering giling (GKG) dan meningkat lebih dari 1,5 kali lipat pada tahun 2015 menjadi 75,40 juta ton. Luas lahan baku sawah tahun 2018 tercatat 7,1 juta ha, dan luas panen padi selama tahun 2018 tercatat 10,9 juta ha. Itu artinya sekitar 50 persen sawah ditanami dua kali di tahun ini. 

Dengan luas panen tersebut didapatkan angka produksi padi pada tahun 2018 mencapai 56,54 juta ton GKG atau jika dikonversi ke beras menjadi 32,42 juta ton beras. Sementara itu data konsumsi beras yang didapat dari Susenas 2017 sebesar 29,57 juta ton. Asumsinya, konsumsi tahun ini tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Itu artinya jika produksi dikurangi konsumsi didapatlah sisa produksi beras sebesar 2,85 juta ton.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, konsumsi beras masyarakat dalam sebulan saja mencapai 2,5 juta ton. "Surplus ini bagus, harus kita apresiasi. Akan tetapi, melihat kebutuhan bulanan 2,5 juta ton, cukup tidak kalau surplusnya segitu?" ungkapnya saat konferensi pers, oktober lalu (24/10).

Mengapa masih impor?

Surplus 2,85 juta ton ini nantinya akan tersebar, antara lain untuk menutupi kebutuhan rumah tangga konsumen, rumah tangga produsen, pedagang, penggilingan, industri hotel, restoran, kafe, serta Perum bulog.

Dengan demikian, pemerintah masih perlu mengantisipasi defisit beras, terutama pada bulan-bulan tertentu saat belum memasuki musim panen. "Jangan sampai berpendapat surplus 2,85 juta ton itu aman," pesan dia.

Luas Panen dan Produksi Padi di Banten

Berdasarkan hasil survei Kerangka Sampel Area (KSA), luas panen padi di Banten periode Januari-September 2018 sebesar 296,88 ribu hektar. Luas panen tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 58,04 ribu hektar, sementara luas panen terendah terjadi pada bulan Januari dengan luas panen sebesar 14,30 ribu hektar.

Selain menghitung luas panen pada saat pengamatan, survei KSA juga dapat menghitung potensi luas panen hingga tiga bulan ke depan. Berdasarkan hasil survei KSA pengamatan September, potensi luas panen pada bulan Oktober -- Desember masing-masing sebesar 15,02 ribu hektar, 8,50 ribu hektar, dan 11,05 ribu hektar. Dengan demikian total luas panen tahun 2018 sebesar 331,44 ribu hektar.

Produksi padi di Banten periode Januari-September 2018 sebesar 1,44 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Sementara itu potensi produksi padi bulan Oktober -- Desember masing-masing sebesar 69,07 ribu ton, 39,29 ribu ton, dan 50,76 ribu ton dan perkiraan total produksi padi 2018 sebesar 1,60 juta ton dengan rincian tiga Kabupaten dengan produksi padi (GKG) tertinggi di Kabupaten Serang 427,70 ribu ton, Kabupaten Pandeglang 427,40 ribu ton, dan Kabupaten Lebak 370,20 ribu ton. Jika dikonversikan menjadi beras dengan angka konversi GKG ke beras, produksi padi 1,60 juta ton GKG pada tahun 2018 sebesar 908,56 ribu ton beras.

Segala hal yang terkait dengan kebutuhan pangan memang tidak bisa ditunda. Sudah sejak lama kita tahu bahwa pangan adalah kebutuhan primer selain sandang, dan papan. Sejatinya pemerintah terus berupaya untuk mengakomodir urusan kebutuhan pangan rakyatnya.

Di sisi lain, memang Indonesia adalah negara agararis tetapi tidak semua tanah di Indonesia cocok ditanami padi, belum lagi jika variabel cuaca diperhitungkan. Tiga provinsi dengan produksi padi (GKG) tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah dengan produksi masing-masing sebesar 10,54 juta ton ; 9,54 juta ton ; dan 9,51 juta ton masih menjadi lumbung padi nasional.

Berkenaan dengan hal tersebut, hal terkait beras di Indonesia akan selalu menjadi isu hangat ketika ada masalah. Terutama ketika terjadi kelangkaan dan lonjakan harga yang tidak wajar bagi masyarakat.

Kelangkaan gabah yang berdampak pada kelangkaan beras di pasar sering kali menjadi penyebab utama masalah ini. Gabah langka, produksi beras turun. Di sisi lain, permintaan cenderung bertambah seiring bertambahnya penduduk, maka bukan hal yang aneh jika harga naik.

Banyaknya kerusakan Daerah Aliran Sungai sebagai sumber pengairan utama pertanian, tingginya konversi lahan pertanian, serta produktivitas yang masih rendah menjadi penyebab sulitnya produksi padi melaju dengan cepat.

Di samping permasalahan alami lainnya yang memang sulit dihindari, naiknya harga beras ternyata tidak serta merta membuat petani kita diuntungkan.

Sering kali petani tidak menikmati kenaikan harga tersebut. Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar ketersediaan pangan bagi masyarakat terjaga. Kebijakan impor yang telah diputuskan semoga tidak menambah beban petani.

Lebih bijak kiranya jika importasi dilakukan berdasarkan zonasi. Daerah yang memang mengalami deficit beras yang dipasok, adapun daerah yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri tidak perlu.

Sehingga arah kebijakan umum ketahanan pangan dalam RPJMN 2015-2019 terlaksana dengan baik, diantaranya pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan, serta peningkatan kesejahteraan pelaku usaha pangan, terutama petani dan nelayan.

Harmonisasi kebijakan impor bahan pangan, khususnya beras terkait stabilisasi pasokan dan harga pangan, kiranya perlu ditingkatkan sehingga polemik tidak berkepanjangan. Perlu kerjasama dan partisipasi berbagai stakeholder, khususnya dalam memetakan ketersediaan dan kebutuhan pangan.

Penulis adalah Statistisi pada BPS Kabupaten Pandeglang, Banten

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun