Mohon tunggu...
Bayu Maitra
Bayu Maitra Mohon Tunggu... -

Bayu Maitra adalah jurnalis berdomisili Jakarta. Saat ini sibuk bekerja sebagai redaktur areamagz.com dan sesekali menyempatkan diri mengisi blog-nya, bayumaitra.net. Ia menghargai hidup dan mengutuk pembunuhan terhadap binatang. "Natural" dan "karma" adalah dua kata favoritnya. Ia pilih spiritual ketimbang religius. Lebih suka buku dibandingkan televisi. Musik adalah temannya di kala menyunting. Mengapa ia ada di Kompasiana? Anggap saja ia suka dengan ide "jurnalisme warga".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Konversi ke Digital? Jangan Sekarang!

14 Oktober 2010   15:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:25 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_289937" align="aligncenter" width="199" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock.com)"][/caption]

Awal Oktober lalu, saya diminta ikut rapat secara mendadak. Agendanya adalah bertemu orang periklanan, yang salah satu kliennya adalah perusahaan telepon selular, Sony Ericsson. Mereka hendak bertanya seputar rencana bisnis media kami di 2011. Ini memang rutin menjadi agenda akhir tahun perusahaan periklanan.

Saya tiba dikantor mereka sekitar jam 15.00. Setelah menunggu beberapa saat, kami dipersilakan masuk ke ruang rapat. Ruangan itu berukuran sedang, dengan meja persegi panjang khas ruang rapat. Ada layar proyektor dan LCD TV ukuran 40 inci. AC-nya dingin sekali. Kami disuguhi air putih dan rupa-rupa camilan. Setelah perkenalan, sebuah pertanyaan dilontarkan mereka. “Masihkah kami (Sony Ericsson) perlu mengiklan di majalah cetak?“

---

Saya punya perhatian lebih terhadap Sony. Langkah-langkah mereka sangat menarik dicermati. Mereka tahu bahwa nama mereka besar, dan nama besar berarti pengaruh besar. Pengaruh besar akan mendatangkan uang dalam jumlah besar.

Sony Ericsson adalah perusahaan multinasional. Sejak dulu, mereka suka berinovasi. Salah satu yang paling sukses adalah seri walkman phone. Kesuksesan ini sudah saya prediksi sejak awal, dengan menarik benang merah sejarahnya. Sony adalah merek dagang besar dan terpercaya besar di segmen elektronik audio. Ericsson adalah pemain lama di telepon seluler. Gabungan keduanya tentu bisa menghasilkan ponsel dengan kualitas audio yang mengagumkan.

Contoh menarik lainnya ada di segmen kamera. Ketimbang repot-repot mengembangkan teknologi kamera dari nol, mereka pilih membeli Minolta. Minolta sendiri pernah bergabung dengan Konica. Dan, di dunia fotografi, Minolta disegani.

Kalau Canon atau Nikon adalah produk massal, Minolta lebih untuk para fanatik. Lensa Minolta lebih bagus dari Canon dan Nikon. Hebatnya Sony adalah: mereka tidak mengadaptasi teknologi lalu membiarkan Minolta mati begitu saja. Mereka tahu kelebihan Minolta. Hasilnya, semua bodi kamera DSLR Sony yang canggih tetap kompatibel dengan lensa-lensa Minolta zaman dulu. Sony juga tak berhenti di situ, mereka juga menggandeng Carls Zeiss untuk membuat lensa-lensa terbaik mereka sendiri. Saya pikir, inovasi strategi secara berkala adalah tradisi yang kuat di tubuh Sony.

---

Dan, di meja rapat itu, mediator Sony Ericsson menanyakan apa mereka masih harus menyisihkan budget-nya di majalah cetak. Saya merasakan ada dorongan kuat untuk meninggalkan media konvensional. Kebetulan, mereka berkecimpung di dunia elektronik. Kecepatan akses yang tinggi, jangkauan pasar yang lebih luas, viral marketing, plus benang merah dengan inti bisnis mereka. Bukankah ini godaan besar?

Seorang web programmer pernah bilang pada saya, bahwa yang terbaik dari dunia digital adalah kita bisa mengukurnya. Semua serba tercatat, tersaji dalam bentuk metriks yang bisa dibedah lalu dianalisa. Dan, jika kita bisa mengukurnya, maka kita bisa mengembangkannya.

Di sisi seberang, di mata pemilik modal, hasil pengukuran yang presisi berarti menghindari uang yang keluar tak tentu arah, serta kejelasan akan berhasil atau tidaknya kampanye mereka. Ini menggiurkan mereka.

Jika seseorang mengiklan di majalah cetak, satu yang pasti ditanyakan ialah: berapa oplah majalah itu? ia ingin memperkirakan seberapa banyak orang yang melihat iklan tersebut. Lalu, mereka akan mengkaji apa dampaknya pada penjualan mereka? Signifikankah? Jika tidak, coret! Uang berhenti mengalir.

Mengiklan di situs digital punya prinsip dasar yang sama. Yang ditanyakan pertama adalah: berapa pengunjung situs Anda? Bedanya adalah, ia tak memperkirakan seberapa banyak orang yang melihat iklan tersebut. Ia akan tahu pasti jumlahnya. Ada perbedaan mendasar antara “memperkirakan” dengan “mengetahui dengan pasti”, terutama bagi orang yang hendak mengeluarkan uang. Mereka anggap itu memperkecil resiko.

Bagaimana caranya untuk mengetahui secara pasti? Teknologi. Setiap iklan di situs akan dipasangi tracking code. Efeknya, setiap orang yang mengklik iklan tersebut akan tercatat. Setiap orang yang berbelanja lewat jalur iklan tersebut akan terdata. Ini biasa disebut conversion rate. Hasilnya? data yang lebih akurat, yang kemudian menjadi asumsi tentang efektifitas iklan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Satu asumsi sudah dibuat. Langkah selanjutnya adalah melihat tren yang terjadi di dunia. Semua orang yang pernah riset soal media tahu, bahwa oplah media cetak dalam beberapa tahun terakhir jatuh secara signifikan –ini termasuk Conde Nast. Banyak perusahaan terpaksa merumahkan karyawannya, ada yang ‘berjudi’ dengan konversi total ke majalah online, dan adapula yang mengambil jalan tengah, menurunkan oplah dan menguatkan situs online-nya plus menyediakan majalah versi digital. Mereka merampingkan jumlah karyawannya dan memperbanyak jaringan kontributornya. Sebuah artikel juga menyebutkan bahwa penjualan e-book di Amazon.com tahun ini 200% lebih banyak ketimbang 2009. Ini artinya perubahan tren. Satu lagi asumsi bisa dibuat. Tapi kenyataannya adalah: hingga detik ini, majalah cetak masih ada. Saya bahkan baru saja mendapat tawaran untuk membuat majalah film. Saya bertanya dalam hati, apa mereka tidak melakukan riset? Atau uang mereka tidak terbatas?

---

Situs digital bukannya tidak punya kelemahan. Setidaknya, ada tiga hal yang masih saya sebut sebagai kelemahan. Pertama, soal akses. Anda tidak bisa membaca situs digital di hutan, kan? Tapi Anda selalu bisa membawa buku dan lilin.

Kedua, soal rasa. Situs digital hanya melibatkan dua indera, mata dan telinga (jika kontennya audiovisual). Sementara, yang cetak melibatkan banyak indera. Mata sudah pasti. Lalu, telinga dilibatkan secara tidak langsung dalam narasi. Hidung? Saya selalu suka dengan aroma buku atau majalah baru. Lalu ada pula sensasi membolak-balik kertas. Plus, ada rasa kepemilikan setelah membeli buku atau majalah tersebut. Itu terkesan sentimentil, tapi jangan pernah mendebatkan soal ini pada pecinta buku!

Ketiga adalah soal kebiasaan. Orang bisa melahap buku setebal ratusan halaman dalam satu-dua hari. Tapi, jangan harap ia bisa melakukan itu dari layar laptop. Terlalu melelahkan dan memiliki potensi lebih besar untuk merusak mata.

Dalam iklan pun demikian. Kreatifitas sebuah iklan bisa jauh lebih ‘gila’ dalam media konvensional. Mereka punya opsi luas dalam desain dan estetika, yang meliputi besar-kecil ukuran, pilihan bahan, serta eksekusinya. Di situs online, paling canggih hanya berupa banner flash interaktif. Kurang mengena dibanding iklan majalah cetak.

Bagaimanapun, saya melihat adanya korelasi dari ketiga kelemahan itu. Ini soal kultur. Dan, karena saya percaya teori evolusi, saya pikir kultur ini akan berubah. Sebagaimana evolusi metode pengiriman pesan yang tadinya menggunakan kurir berkuda, lalu dengan burung merpati, lalu telegram, dan sekarang? E-mail. Satu yang bisa mendorong perubahan kultur ini adalah kalkulasi untung-rugi, alias efisiensi.

Dalam kultur membaca, saya yakin kelak orang akan terbiasa untuk membaca di depan layar komputer, atau bahkan di layar ponsel. Apalagi, kini ada alat yang bisa menggabungkan estetika desain majalah cetak dengan efisiensi materi digital. Sebut saja iPad atau Kindle. Saya rasa, alat semacam ini bakal berperan besar dalam transisi kultural membaca di masa mendatang. Kata kuncinya adalah: kelak.

Lalu apakah buku atau majalah cetak akan punah? Saya kira tidak. Ia hanya akan menjadi collectible item. Ini relevan dengan harga kertas yang semakin mahal, juga isu lingkungan hidup yang lambat-laun jadi kian serius. Ingat slogan “save the trees”? Buku dan majalah cetak akan tetap punya peminat, tapi pasarnya akan menyempit. Ini seperti Idjut Boys, seorang disc jockey (DJ) yang keukeuh menggunakan plat, ketimbang beralih ke CD. Ada kepuasaan tersendiri di situ.

---

AC ruangan rapat itu kian terasa dingin. Saya ingin mempercepat rapat ini. Pertanyaannya tetap sama, apakah mereka masih harus menyisihkan budget untuk mengiklan di majalah cetak.

Saya bilang masih. Evolusi butuh waktu. Dan, saat ini Indonesia belum siap untuk konversi ke digital secara total. Solusi yang saya tawarkan adalah: bagi dua budget itu, satu untuk majalah cetak, satu untuk situs digital. Silakan ukur efektifitasnya untuk menentukan langkah selanjutnya. Lagipula, versi cetak dan digital seharusnya saling melengkapi, bukan saling bunuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun