Dalam kultur membaca, saya yakin kelak orang akan terbiasa untuk membaca di depan layar komputer, atau bahkan di layar ponsel. Apalagi, kini ada alat yang bisa menggabungkan estetika desain majalah cetak dengan efisiensi materi digital. Sebut saja iPad atau Kindle. Saya rasa, alat semacam ini bakal berperan besar dalam transisi kultural membaca di masa mendatang. Kata kuncinya adalah: kelak.
Lalu apakah buku atau majalah cetak akan punah? Saya kira tidak. Ia hanya akan menjadi collectible item. Ini relevan dengan harga kertas yang semakin mahal, juga isu lingkungan hidup yang lambat-laun jadi kian serius. Ingat slogan “save the trees”? Buku dan majalah cetak akan tetap punya peminat, tapi pasarnya akan menyempit. Ini seperti Idjut Boys, seorang disc jockey (DJ) yang keukeuh menggunakan plat, ketimbang beralih ke CD. Ada kepuasaan tersendiri di situ.
---
AC ruangan rapat itu kian terasa dingin. Saya ingin mempercepat rapat ini. Pertanyaannya tetap sama, apakah mereka masih harus menyisihkan budget untuk mengiklan di majalah cetak.
Saya bilang masih. Evolusi butuh waktu. Dan, saat ini Indonesia belum siap untuk konversi ke digital secara total. Solusi yang saya tawarkan adalah: bagi dua budget itu, satu untuk majalah cetak, satu untuk situs digital. Silakan ukur efektifitasnya untuk menentukan langkah selanjutnya. Lagipula, versi cetak dan digital seharusnya saling melengkapi, bukan saling bunuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H