Mohon tunggu...
Bayu Imantoro
Bayu Imantoro Mohon Tunggu... Dosen - Pelajar

masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Keutamaan Zakat Infaq Sedekah dan Wakaf dalam Pandemi Covid-19 di Bulan Ramadhan

20 Mei 2020   15:24 Diperbarui: 20 Mei 2020   15:32 1713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Kita bersyukur kepada Allah bahwa di setiap musibah pasti ada hikmah yang dapat dipetik. Di balik pandemi menyebarnya virus corona/ Covid-19 yang menimpa dunia termasuk Indonesia, terjadi pergerakan simpul-simpul kebaikan umat manusia termasuk kaum muslimin. Bahkan media online memberitakan kenaikan pengumpulan zakat hingga 97% di tengah wabah yang kebetulan berbarengan juga dengan datangnya bulan Ramadhan.[1] Keutamaan kebaikan yang dilakukan pada hari-hari ini berkumpul dalam dua kondisi, di saat sulit akibat pandemi Covid-19 dan kemuliaan bulan Ramadhan. 

Zakat adalah salah satu rukun Islam. Kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat Islam. Ia adalah bukti keimanan. Allah SWT dan Rasul Nya mengingatkan orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat dengan ancaman yang mengerikan dalam firman-Nya[2]:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ 

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil (pelit) dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 180).

Nabi Muhammad SAW, sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ، لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا، إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ، فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ، فَيَرَى سَبِيلَهُ، إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa saja yang memiliki harta berupa emas dan perak, namun tidak menunaikan haknya (kewajiban zakat, pent.), maka pada hari kiamat nanti akan dibuatkan lempengan (seterika) dari api neraka, lalu dipanaskan di dalam api neraka jahannam. Dengan lempengan tersebut, perut, dahi, dan punggungnya diseterika. Setiap kali seterika tersebut dingin, akan dipanaskan lagi dan dipakai lagi untuk menyeterika setiap hari, yang setara dengan lima puluh ribu tahun (di dunia), hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu dia mengetahui jalannya, apakah ke surga atau ke neraka.” (HR. Muslim 987).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengingatkan umat agar segera menunaikan zakat, apalagi menjelang akhir bulan Ramadhan, karena zakat membantu masyarakat terdampak wabah pandemi corona. Zakat berperan menjadi stimulus ekonomi warga. “Distribusi boleh untuk kepentingan modal kerja atau berbentuk uang tunai, makanan pokok, keperluan pengobatan atau hal yang sangat dibutuhkan mustahik. Pemanfaatan harta zakat boleh bersifat produktif, seperti stimulasi ekonomi bagi fakir miskin terdampak wabah," jelas Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Ni’am.[3]

Infaq dan sedekah sebagai sesuatu yang dihukumi sunnah (tidak wajib) juga menggeliat di tengah wabah yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Mereka yang paling terdampak pandemi Covid-19 ini di antaranya para pekerja sektor informal, yang dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja, para driver ojek, taksi, penyandang disabilitas, pemulung, pelaku usaha kecil dan menengah, para ustadz dan guru, dan lain sebagainya, bahkan bukan tidak mungkin tercipta fakir dan miskin baru. Maka dibalik pandemi yang terjadi saat ini, kesempatan kebaikan dengan membantu sesama sangat luas peluangnya untuk kita lakukan.

Kebaikan yang dilakukan di bulan mulia ini memiliki keutamaan yang agung di sisi Allah SWT.

Allah berfirman:

إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs. Al Hadid: 18)

Nabi Muhammad adalah pribadi yang sangat dermawan, bahkan kedermawanannya meningkat di bulan Ramadhan.[4]

Dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadhan ketika bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an” (HR Al Bukhari).

Kedermawanan adalah salah satu sifat Allah SWT, sebagaimana hadits:

‏إن الله تعالى جواد يحب الجود ويحب معالي الأخلاق ويكره سفسافها

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Memberi, Ia mencintai kedermawanan serta akhlak yang mulia, Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. Al Baihaqi, di shahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’, 1744).[5]

Disyari’atkan banyak berderma ketika puasa seperti saat memberi makan buka puasa adalah supaya orang kaya dapat merasakan orang yang biasa menderita lapar sehingga mereka pun dapat membantu orang yang sedang kelaparan. Oleh karenanya sebagian ulama teladan di masa silam ditanya, “Kenapa kita diperintahkan untuk berpuasa?” Jawab mereka, “Supaya yang kaya dapat merasakan penderitaan orang yang lapar. Itu supaya ia tidak melupakan deritanya orang yang lapar.” As-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku sangat senang ketika melihat ada yang bertambah semangat mengulurkan tangan membantu orang lain di bulan Ramadhan karena meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga karena manusia saat puasa sangat-sangat membutuhkan bantuan di mana mereka telah tersibukkan dengan puasa dan shalat sehingga sulit untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Contoh ulama yang seperti itu adalah Al-Qadhi Abu Ya’la dan ulama Hambali lainnya.”[6]

Di tengah pandemi covid-19 ini banyak orang mengalami kesulitan, bahkan mungkin kita sendiri mengalaminya. Namun sebagai orang yang beriman, kita harus yakin dengan janji Allah SWT:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274).

Orang yang senantiasa berbagi dengan orang lain adalah orang yang sehat dan lapang hatinya. Nabi SAW bersabda:

مثل البخيل والمنفق ، كمثل رجلين ، عليهما جبتان من حديد ، من ثديهما إلى تراقيهما ، فأما المنفق : فلا ينفق إلا سبغت ، أو وفرت على جلده ، حتى تخفي بنانه ، وتعفو أثره . وأما البخيل : فلا يريد أن ينفق شيئا إلا لزقت كل حلقة مكانها ، فهو يوسعها ولا تتسع

“Perumpamaan orang yang pelit dengan orang yang bersedekah seperti dua orang yang memiliki baju besi, yang bila dipakai menutupi dada hingga selangkangannya. Orang yang bersedekah, dikarenakan sedekahnya ia merasa bajunya lapang dan longgar di kulitnya. Sampai-sampai ujung jarinya tidak terlihat dan baju besinya tidak meninggalkan bekas pada kulitnya. Sedangkan orang yang pelit, dikarenakan pelitnya ia merasakan setiap lingkar baju besinya merekat erat di kulitnya. Ia berusaha melonggarkannya namun tidak bisa.” (HR. Bukhari no. 1443).

Dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al Khots’ami, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya sedekah mana yang paling afdhol. Jawab beliau,

جَهْدُ الْمُقِلِّ

“Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR. An Nasai no. 2526. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hadits di atas ada beberapa tafsiran. Ada ulama yang mengatakan maksudnya adalah keutamaan sedekah saat susah. Ada yang mengatakan bahwa sedekah tersebut dilakukan dalam keadaan hati yang senantiasa “ghina” yaitu penuh kecukupan. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah bersedekah dalam keadaan miskin dan sabar dengan kelaparan. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 4: 227).[7]

Maka, kebaikan yang kita lakukan di saat sulit di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini memiliki keutamaan yang luar biasa di sisi Allah SWT.

Demikian pula dengan geliat wakaf di tanah air. Almarhumah Uswatun Hasanah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang turut membidani lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sudah mengakomodasi gagasan tentang keanekaragaman benda wakaf. Selain benda tidak bergerak (misalnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan hak atas satuan rumah susun), ada benda bergerak yang dijadikan sebagai benda wakaf. Misalnya, uang, logam mulia, surat berharga, kiendaraan, hak atas kekayaan intelektual, dan hak sewa. Dalam konteks pandemi seperti sekarang, salah satu benda wakaf yang sangat berguna adalah rumah sakit berbasis wakaf. Dilihat dari organisasi yang membangun, sudah ada hampir 500 unit rumah sakit dan klinik yang terbangun dari hasil wakaf.[8]

Wakaf merupakan implementasi dari keimanan kita terhadap firman Allah SWT:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan (wakaf) sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran : 92).

Nabi bersabda: 

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه  أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ  صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ   

“Ketika anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR Muslim).

Menurut para ulama, sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya) dalam konteks hadits di atas, diarahkan kepada makna wakaf, karena wakaf adalah satu-satunya bentuk sedekah yang dapat dimanfaatkan secara permanen oleh pihak penerimanya, sebab syariat memberi aturan agar benda yang diwakafkan dibekukan tasarufnya; murni untuk dimanfaatkan oleh pihak yang diberi wakaf. Semisal mewakafkan tanah menjadi masjid, pahalanya akan terus mengalir untuk pewakaf seiring dengan kelestarian pemanfaatan masjid oleh orang-orang Islam selaku pihak yang berhak memanfaatkan masjid tersebut.   Hal ini berbeda dengan sedekah atau hibah biasa, misalnya menghibahkan tanah kepada pihak tertentu, pahalanya tidak dapat dijamin bisa lestari, sebab bisa saja pihak penerima hibah menjualnya. Di sisi lain, kepemilikan tanah tersebut menjadi hak penerima hibah, berbeda dengan harta wakafan yang status kepemilikannya kembali kepada Allah.[9]

Di masa awal Islam, wakaf kebun dan tanah yang subur yang dilakukan Umar bin Khattab dan Abu Thalhah juga menjadi dasar praktek wakaf hingga saat ini. Termasuk wakaf sumur air yang dilakukan oleh Ustman bin Affan untuk kebutuhan air bersih umat Islam. Di tengah pandemi Covid-19 berbagai lembaga wakaf menyerukan dan mengumpulkan wakaf produktif untuk pondok pesantren yang terdampak, wakaf lumbung pangan, wakaf alat kesehatan seperti ventilator dan rumah sakit, wakaf ambulance, wakaf uang, termasuk wakaf tanah alternatif pemakaman korban Covid-19.

Khathib al-Syarbini menjelaskan:

 والولد الصالح هو القائم بحقوق الله تعالى وحقوق العباد ، ولعل هذا محمول على كمال القبول . وأما أصله فيكفي فيه أن يكون مسلما ، والصدقة الجارية محمولة عند العلماء على الوقف كما قاله الرافعي فإن غيره من الصدقات ليست جارية، بل يملك المتصدق عليه أعيانها ومنافعها ناجزا. وأما الوصية بالمنافع وإن شملها الحديث فهي نادرة فحمل الصدقة في الحديث على الوقف أولى.

 “Anak saleh adalah orang yang memenuhi hak-hak Allah dan hamba-hamba-Nya. Mungkin saja ini diarahkan kepada kesempurnaan diterimanya doa. Adapun inti diterimanya doa, maka cukup anak yang muslim. Sedekah jariyah diarahkan kepada wakaf menurut para ulama seperti yang dikatakan Imam al-Rafi’i, sesungguhnya selain wakaf dari beberapa sedekah tidak mengalir pahalanya, bahkan pihak yang diberi sedekah memiliki benda dan manfaatnya secara langsung. Adapun wasiat dengan beberapa manfaat meski tercakup oleh hadits, akan tetapi jarang diterapkan. Maka mengarahkan sedekah dalam hadits di atas arti wakaf lebih utama” (Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2 hal. 485).[10]

Setelah anjuran wakaf disabdakan Nabi, para sahabat sangat gemar mewakafkan hartanya. Bahkan menurut catatan sejarah, wakaf menjadi ibadah yang nge-trend dan sangat populer di kalangan mereka. Hingga sahabat Jabir menuturkan tiada sahabat yang memiliki kemampuan finansial kecuali mewakafkan hartanya. Imam al-Syafi’i menegaskan ada 80 sahabat Anshar yang bersedekah wakaf.   Disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji keterangan sebagai berikut:  

 وقد اشتهر الوقف بين الصحابة وانتشر، حتى قال جابر رضي الله عنه: ما بقى أحد من أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - له مقدرة إلا وقف. وقال الشافعي رحمه الله تعالى: بلغني أن ثمانين صحابياً من الأنصار تصدّقوا بصدقات محرمات. والشافعي رحمه الله يطلق هذا التعبير (صدقات محرمات) على الوقف.  

“Dan telah masyhur berwakaf di antara sahabat dan menyeluruh, sehingga sahabat Jabir berkata; tidaklah tersisa dari para sahabat Nabi yang memiliki kemampuan (finansial) kecuali mewakafkan hartanya. Al-Imam al-Syafi’i berkata; telah sampai kepadaku bahwa 80 sahabat dari Anshar bersedekah dengan sedekah yang diharamkan (dijual dan dihibahkan). Al-Syafi’i mengucapkan redaksi ‘sedekah yang diharamkan’ ini untuk arti wakaf” (Dr. Mushtafa al-Khin dkk., al-Fiqh al-Manhaji, juz 5, hal. 11).[11]  

Di penghujung Ramadhan ini, penulis mengingatkan kembali kepada diri sendiri dan umat Islam pada umumnya terlebih-lebih kita yang memiliki keluangan harta untuk terus semangat berbagi dengan menggunakan berbagai instrumen yang telah disyariatkan dalam agama, baik di bulan Ramadhan hingga bulan bulan ke depannya. Semoga Allah senantiasa menolong kita dengan sebab menolong hamba Nya yang kesusahan. Nabi bersabda:

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699).

----------------------------------------------------------------------------

Catatan kaki:

[1] https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01385493/di-tengah-covid-19-penerimaan-zakat-selama-ramadan-naik-97-persen.

[2] https://muslim.or.id/43880-kecerobohan-kaum-muslimin-terkait-kewajiban-zakat.html.

[3] https://kumparan.com/kumparannews/mui-zakat-bisa-jadi-stimulus-ekonomi-bagi-fakir-miskin-terdampak-corona-1tRHvFYH8BW/full.

[4] https://muslim.or.id/28225-rahasia-infaq-di-bulan-ramadhan.html.

[5] https://muslim.or.id/1282-dahsyatnya-sedekah-di-bulan-ramadhan.html.

[6] https://rumaysho.com/11195-7-alasan-banyak-sedekah-di-bulan-ramadhan.html.

[7] https://rumaysho.com/5740-sedekah-saat-susah.html.

[8] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e9fdc9561a0d/zakat-dan-wakaf-untuk-bantu-korban-covid-19--mengapa-tidak?page=2.

[9] https://islam.nu.or.id/post/read/110014/dalil-pensyariatan-dan-keutamaan-wakaf.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun