Mohon tunggu...
Bayu Gustomo
Bayu Gustomo Mohon Tunggu... -

Musik, Bola, dan rileks

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Tak Ada Matinya"

28 Februari 2012   14:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:47 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana kelas kembali pada fase serius. Dia, siswa baru itu langsung mengambil tempat, di bangku yang masih menyisakan satu kursi kosong. Entah siapa teman sebangku dia. Saya sudah lupa. Jelasnya bukan anggota DPRD. Sebab dia duduk di kursi kelas bukan kursi yang selalu diperebutkan setiap lima tahunan itu. Namun pada akhirnya kok ujung-ujungnya bikin band bareng saya.

Dari sekilas saya perhatikan penampilan dan gelagatnya. Dia punya potensi. Gairah di bidang seninya tinggi. Paling tepat terkaan saya waktu itu adalah, dia penggemar Iwan Fals. Karena tidak salah lagi, ketika saya dapati cerpen hasil tulisannya. Terpampang di majalah dinding (mading) sekolah. Dengan menggabung-gabungkan judul lagu Iwan Fals hingga terciptalah karya tulis yang enak untuk dibaca. Dia pasti gemar membaca, kutu buku kelas berat. Kacamatanya menguatkan prediksi saya. Tidak salah memang jika pada akhirnya dia tercatat sebagai salah satu murid kreatif.

Ketika ingin menuliskan kisah ini benar-benar saya dihadapkan pada satu kegamangan. Mau dimulai dari mana? Kiri ataukah kanan? Depan atau belakang?

Manusia pada dasarnya seperti listrik. Punya dua potensi energi yang dominan dalam dirinya. Positif dan negatif. Plus dan minus. Itulah kita manusia. Mahkluk yang menghuni sebuah planet bernama bumi ini, yang masuk dalam galaksi Bimasakti.

..............................

Hartomo berjuluk Mbah Kung oleh kami teman satu sekolahnya. SMA COKROAMINOTO MADIUN. Kebetulan selama tiga tahun sekelas dengan saya. Jadi lebih kurangnya saya ingat gimana sepak terjangnya.

Bercita-cita masuk kelas IPA namun gagal. Bukan karena nilai ilmu pasti, fisika, kimia, dan biologinya tak memenuhi syarat untuk masuk kelas tegangan tinggi tersebut. Sebuah dunia yang sebetulnya tidak dia ingini dan gemari. Ilmu yang sebenarnya ingin dia perdalam adalah bidang IPA dan matematika. Tapi apalah daya. Keputusan tertinggi ada di tangan pak Joko yang selalu ingin membuat citra kelas IPA tetap terjaga nama baiknya. Hartomo tipe pemberontak, seinrkali melakukan provokasi terhadap teman-teman guna merombak aturan sekolah yang menurut dia tidak relevan buat semuanya. Itu pun berdasarkan cara pikir dia yang masih menunjukkan sifat dominan anak muda. Memutuskan secara sepihak atas dasar pemikiran dia.

Suatu ketika pernah dia memboikot pihak sekolah dengan demo. Aksi bolos dengan mengajak teman-teman satu kelas. Sebab musabab nya dia tak puas dengan sanksi buat murid yang terlambat datang. Karena pada waktu itu hampir tiap hari senin Hartomo sering terlambat ikut upacara. Alasannya klasik sih, namun juga masuk akal. Rumahnya Ngawi, berangkat ke sekolah naik bis lalu oper angkutan umum saat di terminal. Belum dari rumahnya Ngawi sana. Dia juga harus menunggu angkot yang akan membawanya ke terminal dulu sebelum pada akhirnya meluncur ke Madiun. Sebenarnya juga dia cuma terlambat di hari senin. Untuk hari-hari yang lain dia selalu ontime.

Tinggal di sebuah kamar kost'an kecil dari sekolah kami ke arah barat. Hanya dengan berjalan kaki maka sampailah ke tempat menimba ilmu. Dia juga golongan anak yang serius menghadapi pelajaran. Tapi di balik itu semua tetap saja darah pemberontaknya tak bisa tertutupi oleh kerajinan dia. Dari sebab itulah dia menjadi leader saat demonstrasi yang tanpa ada kreasi. Bahkan terkesan basi di mata guru-guru. Tapi apalah mau dikata. Jiwa dan pikirannya sudah terkontaminasi dengan perihal pemberontakkan. Apapun yang menurut dia tak cocok harus dirombak. Walaupun akibatnya harus dia tanggung sendiri. Seperti ketidak setujuan pak Joko memasukkannya di kelas IPA.

Kasihan Bu Rahima juga, walikelas kami. Saat di kelas 1 C, sekaligus guru kimia. Akrab dipanggil bu Ima. Harus menangis dulu agar Hartomo menurut apa kata beliau. Bukan sebab dia tak pernah kerjakan tugas kimia. Melainkan soal penampilan yang selayaknya pelajar di Indoneia pada umumnya. Khususnya yang taat. Hartomo termasuk golongan manusia yang sak karepe dewe, "ya bu besok saya potong rambut saya", tapi itu cuma pemanis bibirnya. Tak ada bukti. Besoknya masih tetap sama gondrong hampir sebahu. "Awas besok gak potong!", ancam bu Ima padanya. Memang kesokan harinya dia memotong rambut. Tapi bukan malah tambah pantes saja penampilannya. Kali ini anting bergelantungan di kupingnya. Diingatkan seketika itu juga, memang akhirnya ia lepas. Namun lusa siapa bisa menerka kalau hiasan asesoris pindah ke hidung. Ahh, dasar manusia tak bisa diatur. "Jiwa seni kebablasan", sindir bu Ima singkat saja pada nya.

Sindiran itu memang terbukti lumayan ampuh untuk meredam penerapan hidup dalam konteks seni dalam pemikiran Hartomo. Ini masih dalam tahap lumayan meredam lho, bukan dalam artian mutlak membuat si pembangkang jera tak mengulangi lagi kesalahan-kesalahannya lagi. Hari pun berganti belum genap seminggu berlalu sindiran bermaksud membangun mental dan pemikiran Hartomo ke arah yang lebih baik. Dari bu Ima, tiba-tiba saja bak buaian angin yang begitu saja berhembus. Tanpa meninggalkan jejak nerupa bentuk. Kata-kata bu Ima bak sesuatu yang tak pernah ada. Kini ganti rambutnya kembali terkena efek pemikiran arti kata pengeksplorasian jiwa seni. Setelah sempat menjadi perbincangan di ruangan guru mengenai perubahan diri yang semula susah dibina menjadi lumayan baik. Ahhh kini kembali ke wujud dan tabiat aslinya. Rambut dari warna khas Indonesia menjadi warna pirang gaya Amrik. Kini habis sudah kesabaran bu Ima. Ketelatenan membimbing dan mengajarkan serta mendidik seorang anak manusia berubah jadi emosi. mending kalau ledakan emosi itu tersalurkan dengan secara tegar memaki si pelanggar, dalam hal ini Hartomo. Ini dia tumpahkan lewat isak tangis. Karena merasa gagal mendidik dan mengajarkan arti sebuah ketaatan akan peraturan pada Hartomo. Bu Ima terlalu sayang dengan semua anak didiknya. Hingga tak tau harus bagaimana lagi mewujudkannya. Hal itu dia buktikan dengan tangisan, suatu pesan moral tersirat di dalamnya. Tanpa harus memaki dan berkata kasar. Cukup dengan perasaan dan segenap hati dia menyampaikan pesan-pesan moral itu. Tangisan itu sebuah gambaran betapa pedulinya seorang guru pada muridnya agar menjadi manusia terdidik yang unggul dalam ilmu dan moral yang baik serta unggul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun