Meskipun keadaan gua tidak kondusif, namun tidak menyurutkan semangat kami untuk be-foto genit di dalam sana. Untung saja kamera digital yang dibawa Mbak Amel memiliki blitz yang sangat membantu pencahayaan di dalam gelap.
Aku mengambil pose menerangi muka dengan menggunakan sinar senter. Kata Kadir, yang biasa dipanggil "Prof", hasilnya malah seperti penampakan. Bagiku tidak menjadi masalah, yang penting bisa tetap narsis dan foto genit.
Pemandu seringkali menyorotkan senternya ke dinding gua untuk memberitahukan kepada kami mengenai bentuk relief batu yang ada di sana. Terdapat banyak sekali relief batu dengan bentuk yang unik-unik.
Bentuk relief tersebut memang sangat mirip dengan aslinya. Ada yang berbentuk wajah bayi, sepasang pengantin, ibu yang menggendong anaknya, mulut buaya, Candi Borobudur dan masih banyak lagi.
Mungkin bentuk-bentuk yang kami temui ini menjadi penyebab gua ini disebut sebagai Gua Mimpi. Memang seperti mimpi rasanya memasuki gua ini. Sayangnya kami lupa untuk mengabadikan relief-relief batu tersebut karena terlalu asyik memikirkan pose foto genit yang berikutnya apa lagi ya.
Aku mengira perjalanan telah selesai ketika kami berhasil mencapai ujung gua dan kembali menemukan sinar matahari. Ternyata dugaanku salah. Kami masih harus berjalan menuruni bukit. Kakiku sudah gemetaran sehingga aku menuruni bukit dengan posisi jongkok.
Di saat sedang turun, aku melihat muka Mas Agung pucat pasi. Setelah kutanyakan kepada beliau, ternyata beliau mempunyai sindrom takut gelap. Waduh! Ternyata orang yang mengajak kami ke tempat gelap adalah orang yang takut gelap.
"Mas, nanti kalau mau tidur di rumah, lampunya jangan dimatiin ya," kataku memberikan nasihat.
"Memangnya kenapa?" tanya Mas Agung kebingungan.
"Biar mimpinya nggakgelap seperti di gua tadi," jawabku sekenanya saja.