Mohon tunggu...
Bayu Bondan
Bayu Bondan Mohon Tunggu... Lainnya - ASN yang belajar jadi penulis

Burung merpati burung kenari | Rehat sejenak di dahan meranti | Biarkan saja pena menari | Dan lihat saja hasilnya nanti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Maafkan Aku, Pak

15 November 2017   08:41 Diperbarui: 15 November 2017   09:17 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak, minta uang untuk membeli buku paket," pintaku di tahun ajaran baru.

"Pak, minta uang untuk jajan," rengekku sebelum berangkat ke sekolah.

"Pak, minta uang untuk bayar SPP bulan ini," ujarku setelah ditegur pegawai sekolah bagian Tata Usaha (TU).

"Pak, minta uang untuk mengerjakan tugas kelompok," kataku di saat mau membeli bahan-bahan untuk tugas mata pelajaran Kesenian itu.

Kegiatan sehari-hari yang kulalui memang banyak membutuhkan uang. Sehingga aku begitu sering meminta uang kepada Bapak. Namun, Bapak tidak pernah langsung memberi uang kepadaku.

Selang satu atau dua hari biasanya uang baru diberikan karena Bapak harus mencari pinjaman terlebih dahulu. Saat itu aku tidak mau ambil pusing memikirkan hal tersebut. Yang aku tahu adalah Bapak memberiku uang dan aku bisa memakainya untuk memenuhi semua kebutuhanku. 

 Bapak bukan seorang pengusaha. Bapak juga bukan pejabat yang banyak uangnya. Bapak hanya seorang buruh pabrik di kawasan industri Jababeka. Ijazahnya yang hanya sampai SMP menyebabkan karir kerjanya mentok sampai di situ saja.

Bapak harus membanting tulang mencari nafkah siang dan malam. Tak kenal panas tak peduli hujan. Semua dilakukannya demi menghidupi 8 orang nyawa yang menjadi amanahnya. Dirinya sendiri, ibuku, aku, dan kelima orang adikku. Bisa dibayangkan betapa berat tanggung jawab sebagai kepala keluarga.

Bapak membeli sebuah rumah yang harus dicicil selama tiga puluh tahun. Rumah tipe 21 yang sangat sederhana, namun dibeli dengan penuh perjuangan. Bapak sampai menjual barang-barangnya untuk membayar uang muka rumah.

Aku bersyukur setidaknya sudah ada tempat berlindung bagi keluargaku. Selain itu, Bapak juga membeli sebuah sepeda motor yang tentunya dicicil juga. Kata Bapak supaya berangkat kerja bisa lebih mudah, cepat, dan hemat. Jadi, uang lebihnya bisa disimpan dan digunakan untuk kepentingan keluarga lainnya.

Bapak kadang-kadang marah sama anaknya karena saling berantem satu sama lain. Berebutan mainan, berebutan pakaian, berebutan sepeda, pokoknya apa saja yang ada di rumah bisa menjadi bahan rebutan. Maklum namanya juga enam bersaudara. Kalau sudah berkelahi, masing-masing orang sudah ada tandemnya. Tak ubahnya Perang Dunia Ketiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun