Mohon tunggu...
Bayu Arif Ramadhan
Bayu Arif Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - 22 thn, Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menulis sebagai hobi dan pengisi luang waktu

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"La Guerra de Futbol", Mengenang Sepak Bola sebagai Pemicu Perang

18 Juli 2019   01:18 Diperbarui: 18 Juli 2019   01:49 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"We can send messages of unity through football" -- Gianni Infantino (Presiden FIFA)

Sepakbola selama ini lekat dengan istilah sebagai perekat dan pemersatu entitas apapun. Pernyataan yang digagas Infantino dalam suatu kesempatan pada 2018 tersebut seolah menegaskan kembali fungsi sepakbola sebagai lem perekat antar komunitas sampai dengan antitesis suatu konflik. 

Fungsi sepakbola sebagai "peace supporters" yang berkontribusi untuk memupuk dan menyebarkan kultur perdamaian ke dalam lingkup antar negara melalui olahraga seyognyanya adalah fakta yang begitu dominan, sehingga barangkali banyak orang yang mungkin tidak tahu atau bahkan percaya bila sepakbola ternyata bisa memancing kedua negara berbeda terjun dan mengambil risiko tertinggi, berperang satu sama lain.

Barangkali pertanyaan yang secara jamak akan muncul adalah "Perang? Bagaimana mungkin sepakbola yang seasyik itu dimainkan bisa menjerumuskan kita ke dalam perang?" 

Yang tentu saja akan saya jawab dengan simpel. "Jangan tanyakan kepada saya, tanyakan kepada La Guerra de Futbol yang begitu tersohor di Amerika Latin atau  Football War dalam diksi sepakbola dunia."

Alkisah di Benua Amerika tepatnya Amerika bagian Tengah, terdapat dua negara bersebelahan yang berisikan penduduk dengan sifat relatif sama, maniak dan fanatik akan sepakbola. Kedua negara ini adalah El Salvador dan Honduras. 

Dua negara ini benar-benar memiliki border (batas) negara yang berbatasan langsung satu sama lain, dengan kondisi geografis wilayah Honduras yang lebih besar dengan penduduk lebih sedikit. Sebaliknya El Salvador adalah negara dengan wilayah lebih kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar dengan kepadatan tinggi.

Oleh karena berbatasan langsung, maka aktivitas lintas batas antar penduduk kedua negara tersebut semestinya sudah menjadi hal yang lazim seperti aktivitas lintas batas penduduk Indonesia di Borneo menuju Malaysia atau sebaliknya. 

Nah, pada medio 1960-an secara kebetulan banyak sekali penduduk El Salvador yang menjadi migran ke Honduras dipicu oleh terbatasnya lahan pertanian di El Salvador plus padatnya jumlah penduduk dengan profesi mayoritas sebagai petani. Maka secara efek domino penduduk El Salvador dalam waktu singkat berbondong-bondong melakukan migrasi menuju Honduras guna menyambung hidup serta mencari lahan pertanian untuk bekerja. Tapi... iya, tentunya aktivitas tersebut banyak yang dilakukan secara ilegal.

Nah, membeludaknya migran El Salvador yang menyerbu Honduras ternyata mendapatkan banyak respons negatif dari penduduk lokal Honduras, simpelnya penduduk Honduras mengalami cemburu sosial akibat lapangan pekerjaan di sektor pertanian yang kini lebih banyak diduduki oleh pekerja migran El Salvador. Lalu, mulai bertumbuhlah sentimen negatif di benak banyak masyarakat Honduras saat itu.

Dalam kajian ilmu keamanan yaitu pembahasan mengenai Stage of Conflict Escalation (Tahap-Tahap Menuju Eskalasi Konflik) sebagaimana yang dituliskan oleh Eric Brahm (2003) dapat dikatakan bahwa dalam konteks ini persepsi serta pikiran masyarakat lokal Honduras yang terbangun atas masyarakat migran El Salvador.

Ini dapat dikategorikan ke dalam tahap yang dinamakan Latent Conflict yaitu tahapan munculnya sentimen pendorong eskalasi konflik yang disebabkan oleh adanya gap (ketimpangan / kesenjangan) antara pihak yang nantinya akan berkonflik dalam aspek seperti power (kekuasaan), interest (kepentingan), resources (sumber daya), dan value (nilai).

Situasi ini secara kebetulan berkelindan dengan naiknya tokoh dari junta militer Honduras yakni Oswaldo Lopez Arellano melalui kudeta militer sebagai pemimpin Honduras pada 1963. 

Oswaldo naik sebagai pemimpin Honduras untuk membendung (containing) persebaran ideologi komunisme di Amerika Tengah. Membicarakan perihal politik pembendungan ideologi komunis di Amerika Tengah mestinya tidak terlampau sulit memprediksi siapa pihak yang berada di belakang Oswaldo.

Ya, "the one and only whom obviously dedicated all of themselves in restraining movement of communism ideology", terutama bersamaan dengan sedang hangat-hangatnya situasi dunia yang sedang diselimuti Perang Dingin, Amerika Serikat (AS) tentu menjadi pihak yang memiliki sejumlah alasan kuat untuk disorot. Meskipun pihak AS dalam konteks ini tentu saja tidak menunjukkan keterlibatan serta kepentingan mereka dalam aktivitas tersebut secara terang-terangan.

Oswaldo yg baru saja naik sebagai pemimpin berhaluan anti-komunis segera bergerak cepat untuk membatasi dan meringkus gerak kelompok sayap kiri dan kelompok petani-buruh di Honduras. 

Lucunya, Oswaldo sebenarnya sempat khawatir atas keabsahan kepemimpinannya sendiri yang diperoleh melalui kudeta sehingga dia berinisatif mengadakan pemilu tahun 1965-yang hasilnya sebagaimana dugaan banyak pihak, tentu saja Oswaldo keluar menjadi pemenang.

Kemenangan Oswaldo ini bisa ditebak, langsung disambut oleh  banjir cibiran dari kelompok oposisi yang deras menuding apabila pemilu kemarin hari telah dilaksanakan secara curang dan korup, serta Oswaldo sendiri ternyata disuap oleh sebuah perusahaan importir pisang Honduras asal AS. 

Walhasil perusahaan importir pisang asal AS ini bebas memetik pisang Honduras secara tax-free atau bebas dari aturan pajak barang impor, kebebasan yang berujung eksploitasi perusahaan negara asing tersebut atas salah satu kekayaan alam serta komoditas penting Honduras.

Paham kedudukannya terus digoyang oleh oposisi domestik, sebagaimana lazimnya cara banyak pemimpin dunia terutama yang hendak melanggengkan kepemimpinan menghadapi protes domestik, cara paling efektif adalah BLAME THE OTHERS. Iya, guna mengalihkan fokus domestik dari cara berkuasanya Oswaldo yg sebetulnya tidak absah serta penuh kontroversi, Oswaldo mengalihkan perhatian publik menuju isu pekerja migran El Salvador sebagai kambing hitam. Melalui narasi bahwa pekerja migran El Salvador telah merampas hak rakyat Honduras. 

Padahal penyebab goyahnya ekonomi Honduras salah satunya tentu saja diakibatkan oleh eksploitasi perusahaan importir pisang AS yang telah berkongkalikong dengan sang diktator.

Akhirnya dapat ditebak pekerja migran El Salvador mulai mendapatkan persekusi dari rakyat Honduras yang kadung terhasut oleh tudingan licik Oswaldo. 

Perlakuan semena-mena yang didapatkan pekerja migran El Salvador dari rakyat Honduras yg terbakar kemarahan, membuat mereka mulai tidak betah sehingga sebagian besar dari mereka mulai meninggalkan tanah rantau Honduras beramai-ramai. Hal ini selanjutnya mendapatkan kritik dari para elit pemerintah El Salvador sebagai pelanggaran moral, disamping pemerintah El Salvador sejatinya juga menyembunyikan rasa pusingnya oleh sebab negaranya sendiri telah terlalu penuh oleh ledakan jumlah penduduk.

Tahun 1969, kebetulan dalam suatu skenario yg sama sekali tidak terduga El Salvador dan Honduras sama-sama menjadi pemuncak grup masing-masing dalam perhelatan Kualifikasi Piala Dunia (Pildun) 1970 yang akan berlangsung di Meksiko. Sama-sama menyandang status sebagai juara grup, untuk menentukan siapa yg nanti akan lolos ke Pildun 1970, maka kedua tim mau tak mau harus saling sikut untuk mendapatkan tiket lolos menuju turnamen sepakbola terakbar dan paling wahid sedunia.

Diliputi tensi yg sudah lama terbentuk, plus gengsi serta fanatisme penduduk kedua negara tersebut dalam cabang olahraga sepak bola, pertandingan ini disambut dengan antusiasme dan kegaharan oleh pendukung mereka yang fanatik layaknya duel tinju tersohor dunia di masa itu antara Mohammad Ali versus Joe Frazier. Pertandingan pertama sesuai undian dilaksanakan di Honduras sedangkan pertandingan kedua bergantian dilaksanakan di El Salvador.

Menjelang pertandingan pertama di Honduras, sepanjang malam hotel pemain El Salvador diteror oleh publik Honduras yg telah sengaja berkumpul di depan hotel. 

Mendapatkan teror dengan bermacam-macam cara yg cukup berisik sampai dengan ekstrim seperti lemparan telur busuk, otomatis membuat pemain El Salvador tidak cukup istirahat dan kelelahan melakoni pertandingan pada esok harinya. 

El Salvador kalah 1-0 setelah kebobolan di akhir-akhir pertandingan. Kekalahan El Salvador tersebut yang terlihat murni diakibatkan adanya faktor non-teknis, tak dinyana cukup berdampak besar bagi para pendukungnya yang kebanyakan menonton via siaran televisi.

Seorang fans perempuan El Salvador berusia muda, Amelia Bolanos, tewas menembak dirinya sendiri usai laga krn tidak sanggup melihat negaranya kalah. 

Ayah Amelia menyebut Amelia beberapa saat usai laga dan menyadari El Salvador kalah dalam pertandingan tersebut terlihat murung dan sedih. Namun tak lama kemudian gadis ini segera beranjak dari depan televisi dan merogoh laci berisi pistol di sebelahnya. Tanpa berpikir panjang Amelia lalu menembak kepalanya sendiri.

Kabar kematian Amelia tersebut dengan cepat tersebar, serta disambut oleh pemerintah El Salvador yang menganggap Amelia sebagai pahlawan nasional meskipun aksi ini semata tidak lain adalah tindakan propaganda guna mengumpulkan kebencian publik domestik untuk ditumpahkan terhadap Honduras. 

Foto-foto Amelia Bolanos dibawa dan dipampang di stadion oleh publik El Salvador yg bersiap menjamu Honduras di pertandingan kedua dengan membawa misi membalas dendam atas kekalahan dalam pertandingan pertama. Suasana di El Salvador begitu mencekam, emosional, dan memanas.

Ketika tim Honduras bergantian menginap di El Salvador jelang laga esok hari, bergantian Honduras yang kini mendapatkan teror sepanjang malam. Publik El Salvador berkeliaran di sepanjang jalan yang dilewati tim Honduras untuk menginap atau menuju ke stadion dengan menenteng senjata api. 

Keesokan harinya menjelang dilangsungkannya pertandingan alih-alih memasang bendera Honduras di stadion sebagai penghormatan, publik El Salvador justru memasang kain kotor menggantikan bendera Honduras, sebagai ekspresi kemarahan atau teror.

Foto yang menggambarkan antusiasme masyarakat El Salvador di tengah meletupnya eskalasi konflik kontra Honduras termasuk melalui media sepak bola. Didalam foto tersebut tampak sebuah spanduk raksasa bertuliskan
Foto yang menggambarkan antusiasme masyarakat El Salvador di tengah meletupnya eskalasi konflik kontra Honduras termasuk melalui media sepak bola. Didalam foto tersebut tampak sebuah spanduk raksasa bertuliskan "Glorioso Ejercito Salvadoreno" atau kira-kira artinya adalah "Tentara El Salvador yang Agung". Photo Credit : Laman Resmi Association of Diplomatic Studies and Training (adst.org)

Tim Honduras yang menderita kelelahan ganti digebuk 3-0. Usai laga, tim Honduras terpaksa dipulangkan menggunakan bus anti peluru dengan sambutan lemparan batu tanpa henti dari rakyat El Salvador yang telah menanti dengan berjubel di sebelah kanan kiri jalan. Beberapa menurut kesaksian malah sudah menanti dengan menenteng senjata api. 

Suasana mencekam, akan tetapi tim Honduras akhirnya selamat. Konon pelatih Honduras saat itu Bruno Griffin malah bersyukur karena pada hari itu timnya kalah, karena sebaliknya jika menang bisa jadi mereka telah dibunuh dan kembali ke Honduras hanya meninggalkan nama.

Kekalahan Honduras dan perlakuan buruk rakyat El Salvador ke tim Honduras membuat rakyat Honduras mengamuk. Di Honduras, mereka semakin liar memperlakukan pekerja migran El Salvador yang masih tinggal. 

Mulai dari menjarah toko, hingga membakar rumah. Melihat kondisi dan tensi kedua negara yang tidak kondusif, atas intervensi CONCACAF pertandingan ketiga diputuskan dilaksanakan di tempat netral yakni Mexico City, Meksiko pada 26 Juni 1969 sebagai pertandingan final penentu siapa tim yang nanti akan lolos ke Piala Dunia.

Eh ternyata dalam pertandingan tersebut Honduras kalah 3-2 dan gagal lolos ke Piala Dunia, sebaliknya El Salvador lolos. Usai pertandingan, kedua pendukung di tribun terlibat bentrok dan saling baku hantam. 

Di Honduras, pekerja migran El Salvador yang sebelumnya masih tinggal dan mendapatkan perlakuan yang lebih buruk memulai perjalanannya kembali ke tanah asal, kebanyakan berada dalam kondisi babak belur entah akibat disiksa atau karena harus berjalan kaki berpuluh atau beratus kilometer dari Honduras ke Salvador.

Foto yang menggambarkan ekspresi kegembiraan pemain El Salvador usai memenangkan laga melawan Honduras di venue netral Mexico City sekaligus memastikan tiket lolos menuju Piala Dunia 1970 di Meksiko. Ironisnya perang justru meletus hanya beberapa saat paska pertandingan ini dilangsungkan. Photo Credit : Laman Resmi Association for Diplomatic Studies and Training (adst.org)
Foto yang menggambarkan ekspresi kegembiraan pemain El Salvador usai memenangkan laga melawan Honduras di venue netral Mexico City sekaligus memastikan tiket lolos menuju Piala Dunia 1970 di Meksiko. Ironisnya perang justru meletus hanya beberapa saat paska pertandingan ini dilangsungkan. Photo Credit : Laman Resmi Association for Diplomatic Studies and Training (adst.org)

Bagi El Salvador, perlakuan Honduras dirasa sudah cukup. Dibakar oleh kemarahan terhadap  Honduras yang berakumulasi dengan kekhawatiran membeludaknya penduduk di dalam negeri, El Salvador memutuskan semua hubungan diplomatik dgn Honduras dan menyatakan PERANG pada hari yg sama. 

Tanggal 14 Juli 1969 El Salvador memulai invasinya atas Honduras, menyerang lapangan udara di ibukota Honduras, Tegucigalpa untuk mencegah terbangnya pesawat-pesawat tempur Honduras dengan harapan mempercepat kemenangan El Salvador, sembari melakukan invasi darat menggunakan jip-jip anti peluru menuju perbatasan Honduras.

Militer El Salvador bergerak cepat dengan target melumpuhkan Tegucigalpa. Terdapat kejadian lucu saat dimulainya invasi darat. Tentara El Salvador yg hendak merangsek masuk ke perbatasan Honduras ternyata kehabisan bahan bakar, sehingga terpaksa meninggalkan jip dan berjalan beberapa kilometer menuju perbatasan.

Tentara Honduras sendiri sudah menunggu dengan peralatan seadanya seperti machete (sejenis pisau / parang besar khas negara Amerika Latin) dan senapan tua yang sebenarnya fungsi aslinya adalah untuk berburu. 

Apabila diperbandingkan, kecanggihan kapasitas militer Honduras sedikit lebih tertinggal daripada El Salvador. Akan tetapi, mereka sudah siap mental menyambut pasukan Salvador yang sebaliknya tidak tanggung-tanggung diuntungkan dengan senjata otomatis produksi Belgia yang dibawanya.

Saat militer El Salvador menjumpai perbatasan Honduras, mereka terburu emosi dan antusiasme berlebihan, membuat mereka menembaki apapun yang ada di depannya tanpa memedulikan kapasitas amunisi yang dibawa. Tidaklah mengherankan apabila hanya butuh 15 menit saja bagi pasukan El Salvador untuk menghabiskan pelurunya sendiri. Skema yang tidak efektif dan kini mereka kehabisan peluru. 

Dalam kondisi demikian akhirnya yang terjadi adalah masing2 pasukan dari kedua kubu bertarung secara manual menggunakan machete masing-masing atau tangan kosong.

Pertempuran telah berlangsung selama 3 hari, lambat laun pasukan Honduras mulai mendapat kesempatan untuk menyerang balik. Pesawat tempur Honduras yang lolos dari serangan pesawat El Salvador pada hari pertama bergantian terbang ke El Salvador dan menembaki ladang-ladang minyak si negara agresor. 

Sama-sama mendapati wilayah domestiknya diserang, dua negara ini memasuki tahap stalemate. Atau artinya kedua pihak mulai lelah dan sama-sama mulai kehabisan sumber daya bilamana ingin melanjutkan pertempuran.

Memasuki hari ke-4 akhirnya OAS (Organization of American States) organisasi regional yang membawahi sebagian besar negara-negara Amerika baik Tengah, Utara, maupun Selatan menyerukan gencatan senjata kepada kedua pihak. Seruan tersebut dipatuhi, tetapi perang singkat yang terjadi sudah terlanjur menyebabkan 6000 korban tewas, 12.000 luka, serta lebih dari 50.000 orang kehilangan tempat tinggal. 

Perang ini tercatat sebagai salah satu perang tercepat di dunia, dan, barangkali sebagai salah satu perang  dengan trigger (pemicu) terkonyol sepanjang sejarah. Pasukan Salvador sendiri baru benar-benar meninggalkan wilayah Honduras pada  2 Agustus 1969.

Demikianlah ulasan sederhana mengenai "La Guerra de Futbol" sebagaimana istilah populer yang beredar di Amerika Latin atau di mana dunia lebih mengenalnya sebagai "Football War", salah satu perang tersingkat sekaligus mungkin salah satu juga dengan penyebab paling konyol sebagai pemicu langsung perang. Bukan karena nuklir, bukan karena aneksasi, tetapi hanya gara-gara pertandingan sepakbola.

Bilamana Infantino menyebut "we can send unity of football" terminologi sepakbola sebagai jalan persatuan dan perekat, hal tersebut jelas benar adanya. Tetapi terminologi lain yang berkata "we cant restraint rivalry through football", sepertinya tidak juga dapat disangkal dan diperdebatkan. "Lho kok bisa?" 

Kalo tidak percaya silahkan jua melihat serta meresapi atmosfer pertandingan bola yang akan didapatkan dalam pertandingan yang mempertemukan misalnya Inggris vs Argentina, Jepang vs China, Albania vs Serbia hehehe. Sebuah keniscayaan apabila anda akan kompak berhenti dalam suatu kesimpulan sederhana bahwa sejumlah pertandingan tersebut : "BRUTAL JUGA WEH!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun