Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Pelaksanaan Survei SDGs Desa 2021, Bertele-tele dan Kepo Tingkat Dewa

8 Juni 2021   18:44 Diperbarui: 8 Juni 2021   18:44 2343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Survei Pendataan SDGs Desa 2021 (foto dari nganjukkab.go.id)

Apakah rumahmu sudah didatangi kader pendata untuk dilakukan survei SDGs Desa 2021?

Pelaksanaan survei SDGs desa 2021 telah dilakukan sejak 1 Maret 2021 hingga 31 Mei 2021. Tujuan daripada survei ini adalah menghasilkan sebuah data kependudukan beserta tingkat kesejahteraan tiap rumah tangga atau kepala keluarga. 

Hal ini dikarenakan, ada delapan belas indikator SDGs desa guna percepatan pencapaian tujuan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sederhananya, ada 18 tujuan yang diharapkan dari hasil pendataan ini.

Tiga bulan, waktu yang sangat panjang untuk menyelesaikan pendataan SDGs desa ini. Tenyata dalam praktik lapangan, masih kurang. Nyatanya, masih ada tambahan waktu hingga beberapa hari di bulan Juni 2021. Sudah terlalu panjang bahkan kepanjangan.

Alasan utama memperpanjang waktu adalah kelebihan beban tugas bagi seorang enumenator yang mengirimkan data dari desa ke pusat melalui laman atau borang survei daring. Pernyataanya, kenapa tugas ini tidak langsung dibebankan kepada kader pendata SDGs desa?

Perlu diketahui, bahwa pelaksanaan survei ini melibatkan sejumlah orang dalam setiap kelurahan atau desa dan hanya ada satu orang (perangkat desa atau yang ditunjuk) untuk melakukan entri data dari para kader ke pusat via jaringan (online).

Kebetulan saya salah satu kader pendata SDGs desa 2021. Di desa saya ada delapan kader untuk melayani 1300-an kepala keluarga dan satu orang enumenator.

Survei SDGs Desa 2021, kepo tingkat dewa. Kok bisa?

Saya sebagai kader pendata gak habis pikir. Apakah pertanyaan yang menyangkut kehidupan pribadi, misal akun sosial media, begitu penting untuk diketahui sebuah negara sehingga perlu dicantumkan dalam borang kuisioner SDGs desa 2021?

Lembar pertama kuisioner untuk individu dalam survei SDGs Desa 2021, pertanyaan mengenai akun media sosial (dokumentasi pribadi hasil scan).
Lembar pertama kuisioner untuk individu dalam survei SDGs Desa 2021, pertanyaan mengenai akun media sosial (dokumentasi pribadi hasil scan).
Tak hanya itu, riwayat penyakit setiap individu masuk dalam pendataan. Ini tujuannya hanya sekadar menghitung berapa banyak warga negara yang sakit dan pernah sakit atau ada usaha lain yang bakal dilakukan pemerintah dalam program kesehatan nasional? Saya harap, opsi kedua adalah jalan terbaik guna mengganjar pertanyaan riwayat kesehatan.

Adanya anggapan yang sangat keliru dari pemerintahan, yang merepresentasikan masyarakat pedesaan pasti bekerja sebagai petani, kalau bukan petani ya nelayan. Hal ini terlihat jelas dalam formulir pertanyaan kepada masing-masing individu.

Tak cukup dengan jenis pekerjaan, survei ini pun menanyakan asal penggunaan kayu bakar setiap rumah tangga dari mana, hutan ataukah beli. Yang bikin saya mengerutkan jidat, berapa lama waktu dan jauh seorang anggota keluarga untuk mendapatkan akses ke fasilitas pendidikan, kesehatan, dan lokasi pekerjaan. 

Parahnya, satuan waktu tempuh (jam) dan jarak (km). Jadi harus mengkalkulasi, berapa jam seorang individu pergi ke puskesmas dan berapa biaya yang dikeluarkan serta menggunakan moda transportasi apa?

Saya sadari, kelengkapan sebuah data itu sangat penting. Maka harus memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya bahkan sedetail-detailnya.

Nyatanya, borang ini tidaklah lengkap. Ada satu pertanyaan yang luput dituliskan, yakni konsumsi nutrisi harian guna melihat seberapa sehat rakyat Indonesia. Gak ada pernyataan, apakah keluarga ini menerapkan pola makan empat sehat lima sempurna?

Secara kasar, hal ini membuktikan bahwa pemerintah mencoba menutup mata akan tingginya harga sembako. Andai harga sembako tidak meroket, maka angka kecukupan gizi dapat dipenuhi oleh tiap individu dan berdampak pada tingginya tingkat kesehatan masyarakat.

Cek saja. Harga tempe udah mulai naik kembali. Makanan sejuta umat ini, mengalami perubahan harga beberapa tahun terakhir. Dulu tempe bervolume 525 cm³ saja masih seribu rupiah, kini sudah ada yang membandrol 3000 rupiah.  

Atau kalau harga gak naik, ukuran tempe diperkecil menjadi lebih tipis, pendek, dan ciut. Tahu pun berulah, lebih mahal. Ukuran 7x5 saja udah lima ratus rupiah. Oh ya, harga tempe di lingkunganmu berapa?

Ini sekadar tempe dan tahu, salah satu lauk pauk yang masuk pola makan empat sehat lima sempurna. Bayangkan yang lain! 

Ah, jadi ngurusi pertempetahuan. Soalnya enak ya. Gurih gimana gitu, kripik tempe, tahu isi, uh menggoda.

Survei SDGs Desa 2021, lamban dan bertele-tele. Kenapa?

Lembar ketiga formulir rumah tangga atau keluarga, pertanyaan tentang jarak, waktu, dan biaya mencapai fasilitas pendidikan, kesehatan, hingga lokasi pekerjaan dalam SDGs Desa 2021 (dokumentasi pribadi hasil scan)
Lembar ketiga formulir rumah tangga atau keluarga, pertanyaan tentang jarak, waktu, dan biaya mencapai fasilitas pendidikan, kesehatan, hingga lokasi pekerjaan dalam SDGs Desa 2021 (dokumentasi pribadi hasil scan)
Bagaimana tidak bertele-tele, lah pendataanya saja dilakukan dua kali. Pertama dilakukan oleh kader pendata (mengisi borang survei ke dalam formulir cetak), kedua dilakukan oleh enumenator (mengentri data dari formulir cetak ke laman daring). Apa gak lamban ini?

Teknologi hadir guna meringankan beban kerja manusia. Memanfaatkan teknologi pun jangan setengah-setengah. Pendataan survei SDGs desa ini setengah pakai metode jadul, separuh lagi pakai teknologi. Tanggung bukan?

Kenapa penyerahan hasil pendataan harus melewati dua tingkat untuk dapat tiba ditangan pusat? Dengan pemanfaatan teknologi secara optimal, sebenarnya mampu memangkas rantai penyaluran atau penyerahan data. Misal, dari kader pendata langsung unggah data ke laman daring survei SDGs desa.

Apa gunanya ada teknologi jika masih dipersulit, diperpanjang, dan diolor-olor? Ini masalah prosedur. Apakah tidak berimbas pada sisi keuangan? Jelas berdampak.

Mungkin kita bisa berhemat 30-50% anggaran guna pelaksanaan survei SDGs desa ini, bila semuanya dilakukan secara daring. Langsung dari kader pendata ke laman daring.

Coba lihat, pendataan keluarga 2021. BKKBN tahu betul, bahwa pemanfaatan teknologi dapat mempercepat penyerahan data dan jelas menghemat biaya anggaran.

Oke, mungkin pemerintah beranggapan bahwa kualitas sdm masyarakat pedesaan atau kader pendata gaptek. Makanya masih mempertahankan model lama, survei secara tertulis. Pakai pulpen, pensil, penghapus, dan kertas. 

Padahal bila kita melihat secara lebih terbuka, kualitas sdm para kader pendata bukanlah lulusan SD, malah sudah bergelar sarjana. Saya salah satunya. Jadi tidak perlu diragukan, terlebih saya dan sebagian kader pendata sudah mahir teknologi.

Mungkin ada pengecualian bagi wilayah yang akses internet tidak stabil bahkan tidak ada. Barulah penerapan metode kuno tersebut, dapat dilakukan, tepat situasi dan kondisi.

Survei SDGs Desa 2021, tidak mencerminkan slogan hemat kertas. Benarkah?

Tumpukan formulir pendataan survei SDGs Desa 2021 (dokumentasi pribadi)
Tumpukan formulir pendataan survei SDGs Desa 2021 (dokumentasi pribadi)
Perlu diketahui bahwa proses survei SDGs desa, memerlukan tiga bendel formulir. Pertama, formulir mengenai wilayah RT (10 lembar HVS). Kedua, formulir tentang rumah tangga atau keluarga (3 lembar HVS) Ketiga, formulir yang ditujukan untuk setiap individu (2 lembar HVS).

Bila dalam satu keluarga ada empat anggota keluarga, maka jumlah kertas yang dikeluarkan adalah 8 + 3, yakni 11 lembar HVS. Bayangkan bila dalam satu RT terdapat 50 rumah tangga atau keluarga dengan jumlah anggota yang sama. Waw, ada 550 lembar. Lebih satu rim. Total, maka diperlukan 560 lembar (550 + 10 lembar formulir wilayah RT).

Bayangkan jika dalam satu desa ada 40 RT. Fantastis, ada 22400 lembar atau sekitar 45 rim. Padahal formulir yang digunakan adalah hasil fotokopi. Biaya fotokopi per lembar 125 rupiah. Sudah, kali sendiri saja ya. Kok kita bahas hitung-hitungan.

Jika kertas yang sudah terisi tersebut hanya digunakan sebagai patokan pengentrian data oleh enumenator ke laman survei SDGs desa, maka bila sudah selesai bakal dikemanakan? Apakah hanya menjadi barang tak terurus di gudang kantor desa? Atau bakal menjadi pembungkus kacang rebus di jalanan pasar?

Sungguh nasib yang malang. Tapi lebih malang bila kertas-kertas yang berisi data penting itu, beredar luas di pasaran sebagai bungkus kacang rebus atau gendero maulidan. Data pribadi kita bocor kepada orang lain dan dikonsumsi khalayak umum, padahal data pribadi sangatlah rahasia.

Itu prediksi terburuk bila formulir pendataan SDGs desa tersebut tidak disimpan dengan baik. Bila benar terjadi, siapa yang paling bertanggung jawab atas kebocoran data pribadi kita? Hal itu mungkin karena kesalahan model pendataan yang pemerintah terapkan. 

Itulah asalan mengapa pelaksanaan survei SDGs desa 2021 ini bertele-tele, lamban, kepo tingkat dewa, dan tidak mencerminkan slogan hemat kertas. Semoga pendataan SDGs desa mendatang bakal lebih baik.

Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menolak pendataan SDGs Desa 2021, melainkan sebagai bahan koreksi dalam pelaksanaan SDGs Desa di tahun mendatang (jika ada) agar lebih memanfaatkan kecanggihan teknologi. Hingga tulisan ini diterbitkan, kader pendata SDGs Desa 2021 (Lumajang) belum menerima honor.

Bayu Samudra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun