Teknologi hadir guna meringankan beban kerja manusia. Memanfaatkan teknologi pun jangan setengah-setengah. Pendataan survei SDGs desa ini setengah pakai metode jadul, separuh lagi pakai teknologi. Tanggung bukan?
Kenapa penyerahan hasil pendataan harus melewati dua tingkat untuk dapat tiba ditangan pusat? Dengan pemanfaatan teknologi secara optimal, sebenarnya mampu memangkas rantai penyaluran atau penyerahan data. Misal, dari kader pendata langsung unggah data ke laman daring survei SDGs desa.
Apa gunanya ada teknologi jika masih dipersulit, diperpanjang, dan diolor-olor? Ini masalah prosedur. Apakah tidak berimbas pada sisi keuangan? Jelas berdampak.
Mungkin kita bisa berhemat 30-50% anggaran guna pelaksanaan survei SDGs desa ini, bila semuanya dilakukan secara daring. Langsung dari kader pendata ke laman daring.
Coba lihat, pendataan keluarga 2021. BKKBN tahu betul, bahwa pemanfaatan teknologi dapat mempercepat penyerahan data dan jelas menghemat biaya anggaran.
Oke, mungkin pemerintah beranggapan bahwa kualitas sdm masyarakat pedesaan atau kader pendata gaptek. Makanya masih mempertahankan model lama, survei secara tertulis. Pakai pulpen, pensil, penghapus, dan kertas.Â
Padahal bila kita melihat secara lebih terbuka, kualitas sdm para kader pendata bukanlah lulusan SD, malah sudah bergelar sarjana. Saya salah satunya. Jadi tidak perlu diragukan, terlebih saya dan sebagian kader pendata sudah mahir teknologi.
Mungkin ada pengecualian bagi wilayah yang akses internet tidak stabil bahkan tidak ada. Barulah penerapan metode kuno tersebut, dapat dilakukan, tepat situasi dan kondisi.
Survei SDGs Desa 2021, tidak mencerminkan slogan hemat kertas. Benarkah?