Setujukah akan hal tersebut? Barang kali ada yang tidak setuju, tidak masalah. Saya hanya tanya, bukan melakukan interogasi.
Tindakan apa yang kita ambil bila kita gagal masuk PTN idaman? Langkah apa yang kita tempuh ketika ditolak sekolah kedinasan? Apakah diri kita masih tegar atas kegagalan yang berkali-kali menimpa kita? Bagaimana jalan terbaik mencapai kesuksesan di tengah kegagalan yang begitu banyak menerpa?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut. Izinkan saya membagi kisah pengalaman pribadi.Â
Beberapa waktu lalu, saya lulus SMA. Saya mengikuti seleksi masuk PTN dengan model SNMPTN. Memaksimalkan pilihan, dua PTN dan tiga program studi.Â
Entah mengapa saat mengisi laman pendaftaran PTN. Pikiran dan hati tertuju pada PTN ternama di Indonesia, yang berada di Depok sebagai pilihan pertama, sedangkan pilihan kedua jatuh kepada PTN di Malang, bukan nama Kodam.
Berminggu-minggu saya tunggu hasilnya. Setelah tiba pengumuman, menang (is) lah saya. Bukan cengeng, hanya tak menduga saja.Â
Meski sebetulnya, saya bukan siswa tercerdas dengan nilai akademik yang mapan, setidaknya masih ada angka tujuh.Â
Dari tiga puluh lima siswa yang mendaftar pada SNMPTN, hanya lima siswa saja yang disambut hangat. Salah satunya teman saya, masuk di PTN tertua di Banjarmasin.
Oke...menenangkan pikiran dan hati sangat diperlukan. Sesekali meneteskan air mata di pojokan rumah dan di pojokan sekolah. Akhirnya, tiba pendaftaran jalur kedua, SBMPTN.Â
Waktu itu masih ujian reguler, tulis pakai tangan. Sekarang sudah berbasis komputer. Dulu, kalau salah mengisi di lembar jawaban, kudu menghapus hingga bersih, seputih-putihnya, risiko robek sangat tinggi. Robek, jelas tidak dinilai.Â
Saat itu, saya dibebankan biaya ujian SBMPTN sebesar 250 ribu dan ujian di luar kota. Berhubung saya tidak tinggal dekat lokasi ujian SBMPTN. Maka, saya harus menempuh perjalanan 75 km, pergi pulang 150 km. Saya menyadari pilihan PTN di jalur SNMPTN terlalu tinggi dan penuh angan.Â