Pengamen adalah orang yang menjajakan kualitas suaranya dengan bernyanyi dan diiringi alunan alat musik, berupa gendang, gitar, maupun suling.
Ngamen sering diidentikkan dengan orang pemalas, pengangguran, dan pelaku asusila. Sebab, mereka tak memiliki daya tarik dari sisi penampilan. Rambut kuncir, warna rambut kuning merah, tatoan, antingan, baju oblong, celana tiga per empat, dan berkalung tali sepatu. Kadang, kedatangan mereka tidak disambut baik.Â
Mereka mendendangkan lagu dari pintu ke pintu, bahasa kerennya door to door. Berharap lembar rupiah abu-abu guna mengganjar suara merdunya (merusak dunia). Nyatanya, sang tuan rumah hanya memberikan dua koin lima ratusan. Kasihan.
Usaha keras mereka dibayar sangat murah. Padahal mereka telah berlatih meniup suling, menabuh gendang, dan memetik senar gitar hingga putus. Perjuangan menghafal lirik, intonasi, dan akurasi irama tak dihargai mahal. Malang benar.
Lain halnya dengan para ustad gadungan atau santri stm (sekolah, turu, moleh) yang datang dengan tampilan memikat, dan suara syahdu cengkok Melayu. Cukup mengucapkan satu dua kata langsung dibayar super mahal. Lima ribuan bahkan ratusan ribu. Asyik.
Tampilan bersinar, pakaian serba putih, pakai gamis berkopyah, dan memakai wangi-wangian. Siapa yang tak tertarik? Menguasai nada irama Melayu dan membuat damai saat mendengarnya. Siapa yang tak luluh hatinya?
Cukup mengucapkan salam, "assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh" seisi rumah pun menjawab dengan lantang. Berbeda jauh dengan adanya ucapan "permisi" kucing di dapur pun menggerung sinis.
Pengamen dan pengamal (orang yang menerima amal berupa uang) memiliki perbedaan signifikan. Pengamen yang notabene bercasing asusila tak mampu mendapat perhatian semua orang. Pengamal yang menampakkan bahwa dirinya alim ulama atau kyai atau ustad pastilah menjadi primadona bersedekah.
Banyak orang mencap pengamen itu buruk. Mending, memberikan uang pada sang pengamal atau penarik amal.
Bagi saya, pengamen adalah orang pekerja keras sedangkan pengamal adalah pemalas.
Pengamal dikatakan pemalas, sebab ia memang tak bekerja keras. Hanya berdandan layaknya ustad dan ustadzah yang mahir memainkan lidah agar timbul suara salam merdu. Memanfaatkan kebodohan masyarakat yang mudah tertipu orang sok alim.Â
Sebab ada anggapan, bersedekah pada orang alim atau sok alim lebih baik karena tujuannya jelas dimanfaatkan untuk kebaikan. Padahal, tak ada seorang pun yang tau ke mana lari uang para dermawan. Masuk kantong sendiri atau hanya dijadikan pekerjaan sampingan. Lumayan buat beli susu si kecil.
Mereka para pengamen jalanan dan rumahan tak ingin hidup mengamen, tapi keadaan menuntutnya berbuat demikian. Mau melamar kerja kantoran ditolak karena tamatan SD. Mau ikut seleksi CPNS pun gagal karena pernah tersandung kasus kriminal. Kemauan yang berupa angan belaka.
Mereka para orang sok alim yang menjajakan ayat suci, bukanlah seorang ahli surga yang patut disantuni, disanjung, dan diagungkan. Mereka hanya lebih paham ketimbang para pengamen. Mereka lebih cerdas dan berpendidikan tinggi. Tapi, jalan hidup yang mereka tempuh salah kaprah.
Bukannya mencari pekerjaan yang layak, berperilaku jujur, dan bersifat amanah malah menjadi berandal agama, pengkhianat sejati, dan pembangkang ajaran Tuhan.Â
Maka dari itu, berlakulah adil terhadap pengamen dan pengamal. Tak perlu menjelek-jelekkan dan mengagung-agungkan di antara keduanya. Sebab, keduanya dan kita pun sama-sama pendosa dihadapan Tuhan. Biarkan Tuhan Yang Maha Adil menentukan kadar keimanan dan ketaqwaan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H