Mohon tunggu...
Najibul Mahbub
Najibul Mahbub Mohon Tunggu... Guru - S2 PBSI Universitas PGRI Semarang

Suka Nulis puisi, teater dan menulis yang bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebangkitan Sintren dalam Lingkar Modernitas Melalui Pendidikan

26 Mei 2023   22:35 Diperbarui: 26 Mei 2023   22:39 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum memulai pertunjukan, dilakukan pembakaran "dupa" yang merupakan acara doa bersama sambil membakar kemenyan. Tujuannya adalah untuk memohon perlindungan kepada Tuhan agar selama pertunjukan Sintren terhindar dari segala bahaya. Sebelumnya, penari Sintren juga menjalani ritual selama 40 hari untuk mencapai kesempurnaan penampilan mereka.

Selanjutnya, Pawang akan melaksanakan tahapan untuk mengubah seseorang menjadi Sintren. Pawang akan membawa calon penari Sintren bersama empat pemain lainnya. Salah satunya adalah Dayang, yang melambangkan bidadari atau Widodari Patang Puluh yang akan menjadi cantrik Sintren. Calon penari Sintren akan didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakaian biasa dan didampingi oleh para Dayang atau cantrik. Pawang kemudian secara bertahap akan mengubah calon penari tersebut menjadi Sintren melalui tiga tahapan yang ditentukan.

Proses pertunjukan Sintren melibatkan beberapa tahap menarik. Tahap pertama dimulai dengan Pawang yang memegang kedua tangan calon penari Sintren. Sambil mengucapkan mantra, tangan-tangan tersebut diletakkan di atas asap kemenyan. Selanjutnya, calon penari Sintren diikat dengan tali yang melilit seluruh tubuhnya.

Tahap kedua melibatkan penempatan calon penari Sintren ke dalam kurungan ayam, lengkap dengan busana Sintren dan peralatan merias wajah. Setelah beberapa saat, kurungan tersebut akan dibuka, dan Sintren akan tampil dengan penampilan yang sudah berdandan namun masih terikat tali. Kemudian, kurungan akan ditutup kembali.

Pada tahap ketiga, tanda bahwa Sintren sudah siap ditandai dengan getaran atau goyangan kurungan. Kurungan tersebut kemudian akan dibuka, dan Sintren sudah bebas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari, beberapa Sintren juga melakukan aksi akrobatik, seperti berdiri di atas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan Sintren berlangsung, pembakaran kemenyan terus dilakukan.

Seni pertunjukan Sintren memiliki keunikan dalam interaksi komunikatif antara seniman dan penonton, di mana keduanya menyatu dalam satu arena pertunjukan. Meskipun demikian, ada pandangan yang mengaitkan asal-usul Sintren dengan upacara pemanggilan roh. Hal ini terlihat dari sifat magis religius dalam lagu-lagu Sintren dan adegan kesurupan yang dialami oleh seorang pemain Sintren. Dalam pertunjukan ini, seorang Pawang berperan sebagai shaman atau dukun yang memimpin pertunjukan.

Salah satu keunikan pertunjukan Sintren adalah kemampuan penari untuk bertransformasi di dalam kurungan ayam. Pada awalnya, penari mengenakan pakaian biasa dan tangan terikat. Namun setelah beberapa waktu, sekitar 20 hingga 60 menit, penari keluar dari kurungan dengan penampilan yang berbeda. Di dalam kurungan, terdapat berbagai alat rias seperti cermin, bedak, lipstik, dan pakaian tari. Penari dapat berubah menjadi gadis cantik yang mengenakan pakaian indah dan hiasan wajah yang sempurna. Kaca mata hitam juga digunakan untuk menutupi posisi biji mata saat terjadi trance atau kesurupan, sehingga menjaga privasi penari.

Sintren dalam Lingkar Modernitas 

Sintren, sebagai bagian dari warisan budaya dan folklore, tidak terlepas dari pengaruh modernisasi yang membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Pendekatan fenomenologi dapat digunakan untuk memahami pengaruh modernisasi terhadap Sintren dengan menggunakan teori modernisasi dan fungsionalisme.

Teori modernisasi mengacu pada proses transformasi budaya, sosial, mental, dan ekonomi yang terjadi di negara-negara Barat pada abad ke-16 hingga puncaknya pada abad ke-19 dan 20. Teori ini dikembangkan oleh Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Dalam perspektif modernisasi klasik, negara-negara di Dunia Ketiga dianggap tertinggal dengan masyarakat yang masih sangat terikat pada tradisi. Di sisi lain, negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dianggap sebagai negara-negara modern, sehingga standar modernitas diukur berdasarkan pemikiran Barat.

Pengaruh dominasi budaya Barat juga terlihat dalam gelombang westernisasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pengaruh ini mempengaruhi masyarakat dalam mengadopsi gaya hidup dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Barat sebagai simbol modernitas. Gramsci mengungkapkan pandangannya bahwa negara-negara di Dunia Ketiga mengalami dominasi kekuatan budaya dari dunia Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun