Mohon tunggu...
Najibul Mahbub
Najibul Mahbub Mohon Tunggu... Guru - S2 PBSI Universitas PGRI Semarang

Suka Nulis puisi, teater dan menulis yang bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebangkitan Sintren dalam Lingkar Modernitas Melalui Pendidikan

26 Mei 2023   22:35 Diperbarui: 26 Mei 2023   22:39 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kebangkitan Sintren dalam Lingkar Modernitas Melalui Pendidikan

Oleh : Najibul Mahbub, S.Pd.

*) Mahasiswa Magister PBSI Universitas PGRI Semarang

**) Guru Bahasa Indonesia MAN 1 Kota Pekalongan

Kesenian Sintren memiliki kekunoan namun memiliki nilai budaya yang sangat berharga. Sebagai salah satu dari sekian banyak sumber daya kesenian Indonesia, Sintren harus diapresiasi dengan baik. Namun, kesenian ini lambat laun tergerus oleh perkembangan kehidupan modern yang semakin maju. Sayangnya, berdasarkan survei sederhana yang dilakukan di kelas X MAN 1 Kota Pekalongan, siswa-siswa tidak mengenal kesenian Sintren. Bahkan, siswa-siswa yang tinggal di Pekalongan dan sekitarnya belum pernah menyaksikan pertunjukan Sintren. Hal ini sangat memprihatinkan. Lebih lagi, jika pihak terkait, terutama pemerintah, tidak segera mengambil tindakan yang relevan terkait hal ini, Sintren akan hilang dan tidak akan ada lagi generasi penerusnya. Undangan untuk tampil di hadapan masyarakat semakin jarang bahkan tidak ada sama sekali. Hanya ada sekali dalam setahun, pada tradisi nyadran atau undangan dalam pentas budaya. Masyarakat lebih memilih tontonan dangdut atau orkes melayu daripada pertunjukan Sintren.

Dalam era globalisasi ini, seni budaya dan tradisi daerah secara perlahan akan hilang. Jika kita mengkaji penyebab hilangnya Sintren, hal tersebut dapat dikaitkan dengan latar belakang Pekalongan sebagai kota yang kental dengan kegiatan agama. Banyak pondok pesantren dan sekolah yang berfokus pada bidang agama, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun, orang-orang yang memiliki latar belakang keagamaan cenderung tidak menyukai atau tidak mempercayai hal-hal yang berbau mistis. Kondisi ini membuat Sintren sulit berkembang di Pekalongan, karena selama ini Sintren masih dianggap sebagai tradisi kesenian yang terkait dengan hal mistis atau magis. Padahal, kesenian tradisional tersebut dapat dijalankan tanpa melibatkan unsur-unsur tersebut.

Oleh karena itu, tugas pemerintah adalah untuk mensosialisasikan dan mengenalkan Sintren kepada masyarakat dengan menyampaikan bahwa pertunjukan Sintren dapat dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur magis atau mistis. Melalui upaya ini, diharapkan persepsi masyarakat terhadap Sintren dapat berubah, bahwa Sintren tidak selalu terkait dengan hal-hal mistis. Dengan begitu, ketika persepsi tersebut telah berubah dalam masyarakat, Sintren dapat diterima kembali sebagai tradisi kesenian yang berasal dari Pekalongan dan menjadi kebanggaan masyarakat dalam bidang seni budaya.

Mengenal Sekilas Kisah Sintren 

Tari Sintren merupakan sebuah kesenian tradisional yang berasal dari masyarakat Pekalongan dan sekitarnya, khususnya masyarakat pesisir pantai utara. Tarian ini memiliki adegan yang bernuansa mistis. Cerita dalam Tari Sintren berasal dari kisah cinta antara Sulasih dan Sulandono. Dalam cerita tersebut, Sulandono adalah putra Ki Baurekso yang lahir dari perkawinan dengan Dewi Rantamsari. Sulandono jatuh cinta kepada Sulasih, seorang putri dari desa Kalisalak. Namun, hubungan asmara mereka tidak mendapatkan restu dari Ki Baurekso. Akhirnya, Sulandono memutuskan untuk pergi bertapa sementara Sulasih memilih menjadi seorang penari. Meskipun begitu, pertemuan antara keduanya terus terjadi melalui alam gaib.

Pertemuan antara Sulasih dan Sulandono diatur oleh Dewi Rantamsari, yang jasadnya menghilang secara gaib saat ia meninggal. Pengaturan ini dilakukan dengan cara memasukkan roh bidadari ke dalam tubuh Sulasih setiap kali ia tampil sebagai penari. Pada saat yang sama, roh ibu Sulandono memanggilnya saat ia sedang bertapa untuk bertemu dengan Sulasih. Inilah saat pertemuan antara Sulasih dan Sulandono terjadi. Dalam setiap pertunjukan Tari Sintren, sang penari pasti dimasuki oleh roh bidadari yang diatur oleh pawang. Menariknya, salah satu syarat menjadi penari Sintren adalah harus berada dalam keadaan suci, yaitu sebagai seorang perawan.

Ciri Sintren

Unsur penari dalam pertunjukan tari Sintren terdiri dari seorang Sintren atau Ronggeng yang didampingi oleh empat orang Cantrik atau penari pengiring. Namun, tidak semua orang dapat memainkan Tari Sintren atau Ronggeng, karena ada syarat dan ketentuan khusus yang harus dipenuhi untuk menjadi calon penari. Salah satu syarat utamanya adalah penari harus menjadi seorang perawan yang dalam keadaan suci, karena roh tidak akan dapat memasuki tubuh penari jika syarat ini tidak terpenuhi. Sebelum pertunjukan Sintren, penari terpilih akan menjalani ritual puasa selama tiga hari. Puasa ini bertujuan agar penari dalam keadaan suci, baik secara fisik maupun batin, karena puasa juga berfungsi menjaga seseorang dari perbuatan dosa dan zina. Dengan tubuh dan batin yang suci, penari menjadi lebih mudah untuk dimasuki oleh roh leluhur. Selain penari, dalam pertunjukan Tari Sintren juga terdapat seorang dalang atau pawang Sintren yang bertugas memanggil roh leluhur.

Dalam adegan Tari Sintren, terdapat beberapa peran yang dibutuhkan. Peran Sang Penari dimainkan oleh seorang gadis yang masih suci. Penari akan dibantu oleh pawang yang bertugas mengendalikan Sang Penari. Selain itu, tarian tersebut juga diiringi oleh enam orang penabuh gending. Seiring perkembangannya, Tari Sintren menjadi sarana hiburan bagi masyarakat, sehingga muncul pemain tambahan seperti penari pendamping dan bador (lawak).

Pada awal kemunculannya, alat musik yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan Sintren adalah alat musik ketukan atau pukul yang berfungsi sebagai ritme dan melodi, menggunakan bumbung besar (bambu dipotong) sebagai gong dan kendang. Namun, setelah Gamelan menjadi populer di kalangan masyarakat, kesenian Sintren beralih menggunakan instrumen gamelan dengan laras slendro.

Terdapat beberapa jenis tembang yang biasanya digunakan sebagai pengiring dalam pertunjukan Sintren, antara lain:

a) Tembang Sulasih Sulandono dengan laras slendro pathet manyuro.

b) Tembang Turun-Turun Sintren dengan laras slendro pathet manyuro.

c) Tembang Pitik Walik dengan laras slendro pathet manyuro.

d) Tembang Kembang Laos dengan laras slendro pathet manyuro.


Pertunjukan Tari Sintren

Sebelum pertunjukan dimulai, Sintren biasanya dimulai dengan tabuhan gamelan sebagai tanda bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian penonton dan mengumpulkan mereka di sekitar area pertunjukan. Penonton disambut dengan koor lagu-lagu dolanan anak-anak Jawa seperti "Lir-ilir," "Cublek-cublek suweng," "Padang Rembulan," dan sebagainya.

Sebelum memulai pertunjukan, dilakukan pembakaran "dupa" yang merupakan acara doa bersama sambil membakar kemenyan. Tujuannya adalah untuk memohon perlindungan kepada Tuhan agar selama pertunjukan Sintren terhindar dari segala bahaya. Sebelumnya, penari Sintren juga menjalani ritual selama 40 hari untuk mencapai kesempurnaan penampilan mereka.

Selanjutnya, Pawang akan melaksanakan tahapan untuk mengubah seseorang menjadi Sintren. Pawang akan membawa calon penari Sintren bersama empat pemain lainnya. Salah satunya adalah Dayang, yang melambangkan bidadari atau Widodari Patang Puluh yang akan menjadi cantrik Sintren. Calon penari Sintren akan didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakaian biasa dan didampingi oleh para Dayang atau cantrik. Pawang kemudian secara bertahap akan mengubah calon penari tersebut menjadi Sintren melalui tiga tahapan yang ditentukan.

Proses pertunjukan Sintren melibatkan beberapa tahap menarik. Tahap pertama dimulai dengan Pawang yang memegang kedua tangan calon penari Sintren. Sambil mengucapkan mantra, tangan-tangan tersebut diletakkan di atas asap kemenyan. Selanjutnya, calon penari Sintren diikat dengan tali yang melilit seluruh tubuhnya.

Tahap kedua melibatkan penempatan calon penari Sintren ke dalam kurungan ayam, lengkap dengan busana Sintren dan peralatan merias wajah. Setelah beberapa saat, kurungan tersebut akan dibuka, dan Sintren akan tampil dengan penampilan yang sudah berdandan namun masih terikat tali. Kemudian, kurungan akan ditutup kembali.

Pada tahap ketiga, tanda bahwa Sintren sudah siap ditandai dengan getaran atau goyangan kurungan. Kurungan tersebut kemudian akan dibuka, dan Sintren sudah bebas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari, beberapa Sintren juga melakukan aksi akrobatik, seperti berdiri di atas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan Sintren berlangsung, pembakaran kemenyan terus dilakukan.

Seni pertunjukan Sintren memiliki keunikan dalam interaksi komunikatif antara seniman dan penonton, di mana keduanya menyatu dalam satu arena pertunjukan. Meskipun demikian, ada pandangan yang mengaitkan asal-usul Sintren dengan upacara pemanggilan roh. Hal ini terlihat dari sifat magis religius dalam lagu-lagu Sintren dan adegan kesurupan yang dialami oleh seorang pemain Sintren. Dalam pertunjukan ini, seorang Pawang berperan sebagai shaman atau dukun yang memimpin pertunjukan.

Salah satu keunikan pertunjukan Sintren adalah kemampuan penari untuk bertransformasi di dalam kurungan ayam. Pada awalnya, penari mengenakan pakaian biasa dan tangan terikat. Namun setelah beberapa waktu, sekitar 20 hingga 60 menit, penari keluar dari kurungan dengan penampilan yang berbeda. Di dalam kurungan, terdapat berbagai alat rias seperti cermin, bedak, lipstik, dan pakaian tari. Penari dapat berubah menjadi gadis cantik yang mengenakan pakaian indah dan hiasan wajah yang sempurna. Kaca mata hitam juga digunakan untuk menutupi posisi biji mata saat terjadi trance atau kesurupan, sehingga menjaga privasi penari.

Sintren dalam Lingkar Modernitas 

Sintren, sebagai bagian dari warisan budaya dan folklore, tidak terlepas dari pengaruh modernisasi yang membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Pendekatan fenomenologi dapat digunakan untuk memahami pengaruh modernisasi terhadap Sintren dengan menggunakan teori modernisasi dan fungsionalisme.

Teori modernisasi mengacu pada proses transformasi budaya, sosial, mental, dan ekonomi yang terjadi di negara-negara Barat pada abad ke-16 hingga puncaknya pada abad ke-19 dan 20. Teori ini dikembangkan oleh Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Dalam perspektif modernisasi klasik, negara-negara di Dunia Ketiga dianggap tertinggal dengan masyarakat yang masih sangat terikat pada tradisi. Di sisi lain, negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dianggap sebagai negara-negara modern, sehingga standar modernitas diukur berdasarkan pemikiran Barat.

Pengaruh dominasi budaya Barat juga terlihat dalam gelombang westernisasi di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Pengaruh ini mempengaruhi masyarakat dalam mengadopsi gaya hidup dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Barat sebagai simbol modernitas. Gramsci mengungkapkan pandangannya bahwa negara-negara di Dunia Ketiga mengalami dominasi kekuatan budaya dari dunia Barat.

Dalam konteks ini, Sintren sebagai bagian dari folklore juga terpengaruh oleh modernisasi global dan hegemoni budaya Barat. Sebagai akibatnya, Sintren sebagai warisan folklore lisan mengalami penurunan popularitas, terutama di kalangan generasi muda yang kurang mengenal dan mengapresiasi pertunjukan tersebut secara langsung.

Namun, penting untuk melihat Sintren secara menyeluruh dan mengakui nilai-nilai yang terkandung dalam pertunjukan tersebut. Meskipun pengaruh modernisasi membawa perubahan dalam cara masyarakat mengalami dan mengapresiasi Sintren, masih terdapat nilai-nilai tradisional yang dapat dipertahankan dan dilestarikan. Dalam konteks modernisasi, pendekatan fungsionalisme dapat memberikan pemahaman tentang peran dan fungsi Sintren dalam masyarakat, serta bagaimana pertunjukan tersebut dapat disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan zaman untuk tetap relevan bagi generasi muda.

Pentingnya memahami perubahan sosial dan pengaruh modernisasi terhadap warisan budaya seperti Sintren merupakan langkah penting untuk mempertahankan dan melestarikan kekayaan budaya kita. Dalam melakukannya, penyesuaian dan inovasi perlu dilakukan agar Sintren tetap relevan dan dapat diapresiasi oleh generasi muda dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Melalui langkah-langkah tersebut, Sintren dapat mengalami modernisasi yang berkelanjutan, tetapi tetap mempertahankan esensi dan nilai-nilai budayanya. Dengan melibatkan generasi muda, kolaborasi dengan seniman dan komunitas budaya, serta penggunaan elemen kontemporer, Sintren dapat tetap relevan dan terus hidup dalam masyarakat modern. Dalam melanjutkan upaya modernisasi Sintren, perlu adanya langkah-langkah konkret yang mengintegrasikan pendekatan fenomenologi, teori modernisasi, dan fungsionalisme. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Pendidikan dan Sosialisasi: Pemerintah dan lembaga pendidikan dapat memainkan peran penting dalam mengenalkan dan mendidik generasi muda tentang Sintren. Melalui kurikulum sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan program pengenalan budaya lokal, siswa dapat diperkenalkan dengan Sintren dan nilai-nilai budayanya. Selain itu, sosialisasi melalui media massa dan acara budaya juga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keberadaan dan pentingnya Sintren.

2. Kolaborasi dengan Seniman dan Komunitas Budaya: Pemerintah dan lembaga terkait dapat bekerja sama dengan seniman Sintren dan komunitas budaya setempat untuk mengadakan pertunjukan, lokakarya, dan pelatihan. Hal ini akan memberikan dukungan dan ruang bagi seniman Sintren untuk terus berkarya dan mengembangkan pertunjukan Sintren yang menarik bagi generasi muda.

3. Modernisasi Pertunjukan: Dalam menjaga relevansi dengan zaman modern, pertunjukan Sintren dapat mengadopsi elemen-elemen kontemporer yang menarik bagi generasi muda. Misalnya, penggunaan teknologi dalam visual dan efek suara, penggabungan genre musik yang populer, atau penyampaian pesan-pesan sosial yang relevan dengan isu-isu saat ini. Modernisasi pertunjukan tersebut dapat menjaga daya tarik dan meningkatkan minat penonton, terutama di kalangan generasi muda.

4. Kolaborasi dengan Industri Kreatif: Menggandeng industri kreatif, seperti desainer busana, fotografer, sutradara film, atau perusahaan produksi video, dapat membantu memperluas jangkauan dan memperkenalkan Sintren ke audiens yang lebih luas. Kolaborasi semacam ini dapat menciptakan produk-produk kreatif yang menggunakan elemen-elemen Sintren, seperti busana, fotografi, atau video, yang dapat dinikmati dan diapresiasi oleh generasi muda.

5. Pemberdayaan Komunitas Lokal: Memperkuat peran dan partisipasi komunitas lokal dalam menjaga dan mengembangkan Sintren adalah langkah penting. Pemerintah dapat memberikan dukungan dalam bentuk pelatihan, bantuan teknis, atau pendanaan bagi komunitas Sintren. Selain itu, melibatkan komunitas dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan dan pengembangan Sintren akan memberikan rasa memiliki dan meningkatkan keberlanjutan Sintren sebagai warisan budaya.

Melalui langkah-langkah tersebut, Sintren dapat mengalami modernisasi yang berkelanjutan, tetapi tetap mempertahankan esensi dan nilai-nilai budayanya. Dengan melibatkan generasi muda, kolaborasi dengan seniman dan komunitas budaya, serta penggunaan elemen kontemporer, Sintren dapat tetap relevan dan terus hidup dalam masyarakat modern.

Kebangkitan Sintren Melalui Pendidikan 

Sintren di kalangan generasi muda sudah tidak dikenal lagi. Hanya segelintir siswa yang tahu namanya saja walaupun ketika ditanya lebih anjut tidak dapat menjelaskan secara detil. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan Sintren sebagai Tradisi Kesenian Asli Pekalongan. Pendidikan merupakan faktor penting dalam menyemai pengetahuan, pendidikan merupakan kunci masuk dalam menyebarkan ideologi.

Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kejayaan Sintren di Kota Pekalongan salah satu diantaranya dengan mengenalkannya melalui pendidikan. Melalui hal itu, siswa akan dikenalkan tentang Sintren, asal usul, dan pola lantai tari Sintren hingga perlengkapan yang digunakan. Hal tersebut sangat efektif sebagai media pembinaan dan pengenalan pada generasi muda khususnya pada siswa.   Pengetahuan tentang Sintren melalui pendidikan dapat dilakukan melalui materi-materi yang disampaikan pada mata pelajaran. Misalnya mata pelajaran Seni dan Budaya, Bahasa Indonesia, Sejarah Indonesia, atau Muatan Lokal. Mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang cocok untuk disisipkan materi tentang Sintren.

Seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah tentang membudayakan dan mengenalkan Bahasa Jawa kepada masyarakat yang berada di wilayah nya. Melalui Surat Keputusan yang dibuat oleh Gubernur Jawa Tengah, sekolah yang berada di wilayah kerjanya wajib untuk melaksanakan surat keputusan tersebut yaitu menggunakan bahasa jawa sebagai bahasa komunikasi pada hari tertentu sesuai dengan keputusan. Selain bahasa Jawa, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga berhasil dalam upaya melestarikan Batik sebagai aset  warisan leluhur yang sudah diteken UNESCO. Untuk membudayakan dan menggelorakan ekonomi masyarakat, maka melalui surat Keputusan, Gubernur Jawa Tengah mewajibkan semua instansi untuk memakai pakaian Batik setiap hari Kamis. Tak hanya tingkat Provinsi, Kota Pekalongan pun tak kalah peran dalam membudayakan Sarung  Batik Pekalongan. Saat ini Walikota sudah membuat aturan untuk pegawai yang ada di Pemerintah Kota untuk menggunakan sarung Batik setiap hari Jumat. Tentunya gebrakan yang berani harus dilakukan oleh pemegang kebijakan dalam membangkitkan Sintren dari keterpurukan melalui pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun