Mohon tunggu...
Jazir Hamid
Jazir Hamid Mohon Tunggu... Tutor - PLAT AB I Pelaku Wisata

➡ Mengeluh adalah tanda kelemahan jiwa. [Soekarno]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kreativitas Sulistyorini Meyikapi "Sampah" Kantong Plastik

10 Juli 2020   23:41 Diperbarui: 11 Juli 2020   08:46 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu yang lalu telah saya bahas soal dampak limbah indsutri terhadap lingkungan. Termasuk di dalamnya limbah plasik yang berdampak terhadap lingkungan, hal ini merupakan akibat negatif yang harus ditanggung alam karena keberadaan sampah plastik. 

Di mana dampak ini ternyata sangat signifikan. Plastik jika dibakar akan menimbulkan asap yang begitu menyengat dan bisa menyebabkan ganguan pernafasan. 

Sementara jika ditimbun bisa menstimulir terbentuknya gas beracun, seperti Asam Sulfida (H2S) dan Amoniak (NH3 ), menimbulkan penurunan kualitas udara dalam sampah yang ditumpuk. Di samping itu juga dapat menurunkan kualitas air dan kerusakan permukaan tanah.

Plastik mulai digunakan sekitar 50 tahun yang silam, dan sampai saat ini telah menjadi barang yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita. Penggunaan plastik secara berlebihan mengakibatkan jumlah sampah plastik semakin banyak. 

Karena bukan berasal dari senyawa biologis, plastik memiliki sifat sulit terdegradasi (non-biodegradable) yang membutuhkan waktu cukup lama dapat terdekomposisi (terurai) secara sempurna.

Oleh sebab itu menurut saya cukup wajar soal larangan plastik ini diterapkan bukan saja di kota kota besar, tetapi diseluruh pelosok negeri ini. Terutama di wilayah agraris agar sampah kantong plastik yang disinyalir dapat mencemari tanah, air, laut, bahkan udara bisa ditekan seminim mungkin..

Terlebih kantong plastik yang terbuat dari penyulingan gas dan minyak yang disebut ethylene, yang sumua itu merupakan sumber daya alam yang tak dapat diperbarui. Semakin banyak penggunaan palstik berarti semakin cepat menghabiskan sumber daya alam tersebut. Ironis memang.

Seperti dilansir Dinas Lingkungan dan Kebersihan Kabupaten Badung  "Kita memang tidak mungkin bisa menghapuskan penggunaan kantong plastik 100%, tetapi yang paling memungkinkan adalah dengan memakai ulang plastik (reuse), mengurangi pemakaian plastik (reduce), dan mendaur ulang (recycle). Terakhir, mungkin perlu regulasi dari pemerintah untuk meredam semakin meningkatnya penggunaan plastik".

https://badungkab.go.id/instansi/dislhk/baca-artikel/250/Dampak-Plastik-Terhadap-Lingkungan.html

secara pribadi saat saya dan keluarga belanja di salah satu mall di Yogyakarta jauh sebelum isu aturan - pelarangan dimaksud sudah diberlakukan aturan tidak menggunakan tas plastik dan disediakan tas khusus oleh pihak kasir di mall jika membutuhkan. 

Namun juga tidak dipaksa harus membeli. Yang penting tidak menggunakan tas-kantong plastik. 

Jadi menurut saya apa yang dilakukan pemerintah DKI dan beberapa kota lainya merupakan langkah positif untuk meminimalisir keberadaan sampah plastik demi kebaikan ekosistem di Jakarta dan kota kota lain.

Oleh karena hal tersebut, barangkali kemudian pemerintah DKI megambil langkah pelarangan tentang kantong plastik tersebut. 

Seperti yang dilansir oleh economy.okezone beberapa hari yang lalu, Bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan pelarangan penggunaan kantong berbahan plastik mulai 1 Juli 2020. 

Hal ini sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.

Kalau kita perhatikan dan kita cermati secara serius memang sampah yang ada hampir 90 % yang terlihat adalah sampah plastik. Baik di bak bak penampungan maupun di tempat pembuangan akhir sampah (TPA), meskipun dari hasil beberapa penelitian  hanya ditemukan sekitar 78 persen yang merupakan sampah plastik.

Namun kenyataannya lebih dari jumlah tersebut. Hal ini terjadi karena sampah sampah lain bisa langsung menjadi kompos. sementara sampah plasik masih tetap teronggok tanpa mengalami perubahan fisik. Sehingga nampak menonjol dan tetap kelihatan sebagai sampah plastik yang sangat mengerikan.

Tanggapan masyarakat soal larangan penggunaan kantong plastik inipun bermacam acam, ada yang pro dan tak sedikit pula yang kontra. 

Artinya, banyak masyarakat yang setuju dan banyak pula yang tidak setuju. Itu wajar. Namun, jika memang benar benar mau diterapkan saya yakin lama lama akan terbiasa juga menggunanakan tas belanja non plastik.

Jalan Keluar

Kantong plastik semakin hari akan semakin bertambah jika tidak ada usaha mencari solusi pengganti tas dalam belanja. Jika saja ketika saat hendak belanja mau membawa tas dari rumah pastilah sedikit bisa mengurangi penambahan sampah yang ditimbulkan dari kantong plastikk tersebut.

Kemudian, menyikapi kantong plastik yang sudah menumpuk di rumah jika belum dibuang bisa didaur ulang-digunakan sebagai bahan untuk membuat kerajinan. Dari sini bisa didapat dua nilai positif. 

Yang pertama: mengurangi-meminimalisir sampah plastik, meskipun pada akhirnya nanti juga akan menjadi sampah. Dan yang kedua meningkatakan pendapatan ekonomi masyarakat dari sektor sampah plastik.

Bunga Plastik: Dokpri
Bunga Plastik: Dokpri
Seperti yang dilakukan Sulistiyorini. Warga Bantul Yogyakarta. Ia rajin mengumpulkan sampah plastik kemudian dijadikan berbagai bentuk kerajinan. 

Ada yang dibikin bunga, sepatu, tas, dompet,sendal, dan masih banyak lagi bentuk kerajinan lainnya. Hal ini bisa memperlambat penyebaran sampah plastik yang ada.

Ibu Sulistyorini bekerjasama dengan BLH, Yogyakarta dan bank sampah Bantul guna memberi pelatihan terhadap UKM untuk membuat kerajinan dari limbah sampah plastik-kantong kresek. 

Bukan itu saja, beberapa kali sempat diundang ke luar daerah untuk mendampingi para UKM dengan fasilitasi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan.   

Soal pelarangan ini menurut saya bukan saja diberlakukan hanya kepada pemakainnya saja, akan tetapi yang lebih penting  pelarangan terhadap pembuatannya. 

Atau diterapkan dari hulu ke hilir harus sama sama dilarang. Artinya, sama juga bohong jika dilarang dalam penggunaannya tetapi tetap dibiarkan untuk diproduksi. Itulah barangkali jalan keluar yang harus diterapkan.  

Jazir Hamid. 10 Juli 2020 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun