Mohon tunggu...
Basuki W Kuncoro
Basuki W Kuncoro Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Karyawan Swasta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 1 Prof.Dr. Apollo - Aspek Perpajakan Pasive Income dan Capital

9 April 2021   20:14 Diperbarui: 9 April 2021   20:39 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penghasilan Pasif (Pasive Income)  merupakan penghasilan yang diperoleh seseorang dalam keaadaan pasif tanpa harus melakukan kegiatan atau aktivitas secara terus menerus. Penghasilan didapat oleh penerima penghasilan dengan tidak terlibat secara aktif dari suatu kegiatan ekonomi, andaikata terlibatpun hanya pada saat awal permulaan saja. 

Penerima penghasilan  pasif hanya sedikit melakukan usaha atau kegiatan dengan mengoptimalkan aset atau harta yang dimiliki, maka akan mendapatkan tambahan penghasilan secara rutin dan terus menerus. Selain pemanfaatan aset, penghasilan pasif dapat diperoleh dari hasil karya cipta sebelumnya.

Penghasilan pasif dari mengoptimalkan aset antara lain dapat berupa dividen, bunga, keuntungan modal (capital gain). Sedangkan penghasilan royalti diperoleh dari hasil karya cipta sebelumnya.

Dividen  adalah laba dari suatu perusahaan yang dibagikan kepada pemegang saham secara tunai, laba tersebut dihasilkan pada periode sebelumnya atau dalam periode berjalan. (Scott Besley dan Eugene F. Brigham, 2008).

Bunga merupakan pengembangan uang sebagai jasa yang ditanamkan dalam modal oleh pihak lain. Bunga dapat diperoleh dari penampatan dana di rekening bank atau penempatan investasi berupa obligasi. 

Menurut Boediono (2014) bunga merupakan harga dari penggunaan dana investasi, tingkat suku bunga merupakan salah satu indikator dalam menentukan apakah seseorang akan melakukan investasi atau menabung.

Royalti merupakan penghasilan yang diterima antara lain dari hasil karya cipta yang sudah mendapatkan hak paten, hak cipta. Misalnya pencipta lagu, penemu hasil ilmiah akan mendapatkan penghasilan apabila karyanya dikomersialkan.

Capital gain (keuntungan modal) merupakan keuntungan dari modal yang diinvestasikan pada saat investor melakukan penjualan, selisih harga beli dan harga jual ini diperhitungkan sebagai penghasilan, modal yang diinvestasikan dapat berupa saham, obligasi, property.

Tambahan penghasilan yang bersumber dari penghasilan pasif berupa dividen, bunga, royalti, capital gain merupakan pendapatan yang menjadi obyek pajak. 

Obyek pajak penghasilan dalam UU PPh No.36 tahun 2008 pasal 4 ayat (1) disebutkan semua tambahan kemampuan ekonomis, yang berasal dari Indonesia atau luar Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, yang dipergunakan konsumsi atau menambah harta yang bersangkutan, dengan nama atau bentuk apa pun.

Penghasilan pasif dapat menjadi obyek pajak penghasilan pasal 23 ataupun pajak penghasilan pasal 26 maupun dapat menjadi obyek PPh Final. Penghasilan tersebut menjadi obyek PPh pasal 23 untuk subyek pajak dalam negeri, sedangkan akan menjadi obyek PPh pasal 26  apabila dikenakan pada subjek atau wajib pajak luar negeri/warga negara asing (WNA) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT).

PPh Pasal 23 diperhitungkan dan dipotong pada saat terjadinya transaksi  antar  pihak, pihak penjual sebagai penerima penghasilan ataupun pihak pemberi jasa dikenakan PPh  Pasal 23. Selanjutnya pihak pembeli atau pihak penerima jasa yang akan melakukan pemotongan, menyetor dan melaporkan ke kantor pajak, sistem pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan ini disebut sebagai withholding tax (Syarifuddin Alsah, 2002).

Pihak pemotong PPh Pasal 23 antara lain : Badan pemerintah, Subjek pajak badan dalam negeri, . Penyelenggaraan kegiatan, Bentuk Usaha Tetap (BUT), Perwakilan perusahaan luar negeri, WP Pribadi tertentu yang ditunjuk DJP.

Tarif Objek Pajak Penghasilan

Tarif dari pajak penghasilan (PPh Pasal 23) dikenakan dari penghasilan jumlah bruto atau dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Terdapat dua jenis tarif yang diberlakukan untuk PPh Pasal 23,  yaitu 15% dan 2% tergantung dari objek pajaknya. Tarif dan objek pajak yang terkena PPh Pasal 23 yang berlaku di Indonesia sebagai berikut :

  • Tarif 15% dari Dasar Pengenaan Pajak (jumlah bruto) atas penghasilan dividen untuk wajib pajak badan, bunga, dan royalty.
  • Tarif 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (jumlah bruto) untuk penghasilan sewa selain sewa tanah dan/atau bangunan.

Tarif obyek Pajak PPh Final

Untuk obyek pajak dari penghasilan pasif dalam negeri berupa dividen yang diterima orang pribadi dikenakan pajak final dengan tarif 10%, demikian juga penghasilan dari bunga tabungan, bunga deposito di bank dikenakan pajak final dengan tarif 20%, sedangkan bunga obligasi dikenakan pajak final dengan tarif 15%.

Capital gain yang diperoleh atas penjualan saham di bursa efek (BEI) dikenakan pajak final dengan sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi. Sedangkan Capital gain yang diperoleh atas penjualan saham diluar bursa efek dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan pasal 17 UU PPh, yaitu untuk WP Pribadi  terkena tarif progresif 5%, 15%, 25% dan 30% dengan cara menghitung semua pendapatan dalam satu tahun dalam SPT Tahunan, untuk WP Badan terkena tarif sebesar 25% untuk tahun pajak 2019 kebawah, dan 22% untuk tahun pajak 2020-2021.

Tarif obyek Pajak PPh Pasal 26

Obyek pajak PPh pasal 26  berasal dari penghasilan pasif yang dikenakan pada subjek atau wajib pajak luar negeri/warga negara asing (WNA) selain Bentuk Usaha Tetap (BUT). PPh Pasal 26 mengatur kebijakan tarif sebesar 20% (Final) atas penghasilan bruto yang diperoleh dari: dividen,bunga, royalti, sewa yang terkait dengan penggunaan aset.

Tax Treaty atau Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang dilakukan oleh Indonesia dengan negara mitra tarif pajaknya dapat berbeda antara yang satu dengan lainya. Besarnya tariff lebih kecil dari tarif biasa yang sebesar 20%, besarnya tariff pajak bervariasi antara  0% - 15%.

Untuk P3B atas pembayaran bunga antara Indonesia dan negara-negara lain tarifnya bervariasi antara lain untuk bunga bank dan lembaga keuangan tarif sebesar 10% dengan negara Belanda, Belgia, Perancis. Dengan tarif 0 % untuk bunga  yang dibayarkan kepada pemerintah dengan negara Inggris, Jerman, Filipina, Tailand, Jepang.  

Subyek pajak luar negeri orang pribadi (WNA) yang memiliki Surat Keterangan Domisili (SKD) dari negara mitra P3B maka dikenakan tarif sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), hal ini mengatur tentang hak pemajakan suatu negara.

Hak Pemajakan Dalam P3B

Dalam upaya menghindari pengenaan pajak lebih dari satu kali (berganda) atas objek yang sama, maka perlu diatur dan ditentukan hak suatu negara dalam memajaki objek tersebut. Aturan dalam pasal-pasal P3B dikenal dengan istilah distributive rules, yaitu :

Active Income, adalah penghasilan yang didapat karena kegiatan usaha maupun pekerjaan. Termasuk dalam kategoridalam penghasilan ini adalah  kegiatan bisnis, transportasi udara, laut, dan sungai, gaji pegawai, jasa profesi,  artis, olahragawan, dan lain sebagainya.

Passive Income, merupakan penghasilan yang diperoleh dari kegiatan investasi dalam bentuk intangible maupun tangible properties. termasuk kategori ini antara lain penghasilan dari harta tidak bergerak, penghasilan dari dividen, bunga, royalti, capital gain, serta pensiun.

Other income, adalah penghasilan selain penggolangan pendapatan aktif dan pendapatan pasif.

Atas pendapatan tersebut di atas, atas hak pemajakannya dapat dibagi menjadi :

  • Menjadi sepenuhnya dmilik salah satu negara, umumnya kepada negara dimana Subjek Pajak tersebut terdaftar sebagai SPDN (Residence state).
  • Dibagi bersama antara residence state (negara domisili) dengan source state (negara sumber penghasilan).

Saat terutangnya pajak penghasilan PPh Pasal 23, PPh Final dan PPh Pasal 26 yaitu pada bulan dilakukan pembayaran atau pada saat jatuh tempo pembayaran, tergantung peristiwanya yang terjadi lebih dahulu. Pajak penghasilan tersebut disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah timbul pajak terutang. Kemudian dilaporkan dalam SPT Masa disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.

Pihak pemotong pajak akan membuat bukti potong PPh Pasal 23, PPh Final dan PPh Pasal 26 untuk disampaikan kepada pihak penjual atau pemberi jasa. Bukti potong PPh Pasal 23 yang tidak bersifat final akan dipergunakan oleh pihak penjual atau pemberi jasa sebagai kredit pajak pengurang kewajiban perpajakan pajaka penghasilan badan. Sedangkan pajak penghasilan final hanya dilaporkan sebagai pendapatan final yang tidak diperhitungkan pajak yang kurang bayar.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat peraturan yang mengatur penyampaian laporan SPT Masa (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 secara elektronik melalui KEP-368/PJ/2020, seluruh wajib pajak yang telah memenuhi syarat menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 elektronik ditetapkan sebagai pemotong PPh Pasal 23/26 yang wajib membuat bukti potong dan menyampaikan SPT Masa sesuai dengan PER-04/PJ/2017, wajib pajak diharuskan menggunakan e-Bupot.

Persyaratan pemotong pajak yang harus menggunakan SPT masa PPh Pasal 23/26 dalam bentuk elektronik, menurut pasal 6 PER-04/PJ/2017antara lain :

  • Dalam satu masa pajak menerbitkan lebih dari 20 bukti pemotongan PPh Pasal 23/26.
  • Jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp100 juta dalam satu bukti pemotongan.
  • Sudah pernah menyampaikan SPT masa elektronik.
  • Terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak

Situasi akhir-akhir ini mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang diharapkan dapat menahan arus modal keluar di Tanah Air. Pada bulan Maret 2021, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.18/PMK.03/2021 sebagai pelaksanaan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster perpajakan. PMK 18/2021 ini mengatur pendapatan dividen tidak dikenakan pajak penghasilan sepanjang di investasikan kembali di Indonesia. Sebelumnya, dividen dalam negeri yang diterima oleh orang pribadi terkena PPh Final 10%.

Salah satu syarat untuk dividen luar negeri tidak dikenakan pajak adalah nilai investasinya 30% dari laba setelah pajak. Jangka waktu investasinya paling singkat 3 (tiga) tahun dan dilakukan akhir bulan ke-3 untuk wajib pajak orang pribadi dan ke-4 untuk wajib pajak badan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka dividen/penghasilan itu dikenakan tarif objek PPh. 

Hal ini akan memberi efek positif bagi pasar modal. Faktor pengurang pajak ini akan menarik investor untuk tetap menaruh keuntungan hasil dividen di Indonesia untuk  diinvestasikan kembali. Dengan demikian dana di pasar modal tetap bertahan dan mencegah pelarian modal keluar Indonesia.

Produktivitas modal di dalam negeri akan meningkat dengan kebijakan ini, karena laba tidak ditumpuk begitu saja untuk menghindari pajak dividen. Dengan demikian akan menggerakkan ekonomi, mendorong distribusi dividen yang dapat direinvestasikan.

DAFTAR PUSTAKA

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun