Aku duduk selonjoran, tepat di lintasan pejalan kaki yang beralaskan tikar, di pinggir Jalan-Raya Karangampel. Aku melihat setiap kendaraan yang lewat.  Mataku silau oleh lampu mobil-motor. Lebih lagi, pengendara mobil menyalakan lampu panjangnya—menyorot sampai mengenai mukaku. Merah, putih dan kuning warna lampu kendaraan membuat mataku kekunangan.Â
   Debu-debu jalan berhamburan. Menyesakan dadaku. Mataku kelilipan: kuucek dengan kain bajuku.Â
   Bunyi mesin kendaraan begitu nyaring, ditambah bunyi knalpot motor anak muda: pretetet, et, et, et, et, cukup bising terdengar di telinga kananku. Temanku memandang wajahku sembari mesam-mesem, aku pun memandangnya.Â
   "Apa Bass?" tanyanya sedikit belagu.Â
   "Tak apa," seruku kembali melihat kendaraan.Â
   Temanku, Agus, yang disuruh tak lekas mengisi ulang gelas yang kosong. Ia malah menanyakan waktu pulang. "Bukannya kita mau cabut?" ujarnya menengok ke arahku.Â
   "Tenang saja. Gelas Bass masih ada isinya. Itu . . ." kata temanku yang mengenakan kaos putih, Tole. "Kalau buru-buru, cukup segelas yang diisi ulang."
   Agus cengengesan. Penuh ragu. Mungkin ia kira Tole cuma bergurau, lalu mengajak pulang setelah gelasnya sudah diisi ulang. "Iya, kah?" tanyanya ke Tole untuk meyakinkan.Â
   "Iya."Â
   Agus beranjak dari tempat duduknya, ia jalan ke pedagang angkringan—meminta mengisi ulang gelasnya ke pedagang. "Mang, tambahin Wedang Bandreknya."
   Pedagang mengangguk-angguk.Â
   "Itu, lagi mengamati kendaraan bermotor, dan menikmati angin malam ini."
   "He-He-He."
   Kembalinya Agus ke arah kami sempoyongan. Tole menertawainya. Agus terkesan lucu—cuma membawa segelas Wedang Bandrek saja hampir jatuh. Lalu Agus dan Tole kembali ngobrolin sesuatu. Entah, aku tak mendengarkan obrolan mereka.Â
   Selang beberapa menit, mereka menyeru: izin untuk buang air kecil ke samping toko. Aku masih duduk; semula.
   Mereka kembali. Dan, memancing canda padaku. Aku tak meladeni. Aku memilih menikmati pemandangan jalan di malam hari. Lalu mereka ngobrolin musik. Tangan Tole sungkan diam kalau sudah ngobrolin musik. Tangannya memukuli kakinya, layaknya sedang bermain Drum.Â
   Pintu gerbang toko yang berwarna coklat, Tole sandarkan badan belakangnya pada pintu toko itu. Ia menyanyikan lagu dangdut. Aku tengak-tengok ke mukanya.Â
    "Bass Elang, menyebalkan." ungkap Tole, senyum. "Registrasi kartu, malah suruh datang ke kecamatan. Suruh buat KK baru. Aneh," celotehnya dengan mata yang sayup.Â
   Tole kekenyangan. Ia meluruskan tubuhnya; berbaring. "Ngantuk kalau sudah begini," ujarnya. Ia merogoh-rogoh kantong celana belakangnya. Ia mengambil dompet, lalu menyuruh Agus membayar makanan dan Wedang Bandrek yang sudah dimakan dan diminum olehnya.Â
   Sesudah Agus membayar, Tole mengajaku ke Dadap, untuk menyaksikan performance musik temannya: genre Qasidah. Pergilah kami meninggalkan tongkrongan lesehan itu. Tanpa meninggalkan hutang sama pedagang angkringan, Wedang Bandrek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H