Aku duduk selonjoran, tepat di lintasan pejalan kaki yang beralaskan tikar, di pinggir Jalan-Raya Karangampel. Aku melihat setiap kendaraan yang lewat.  Mataku silau oleh lampu mobil-motor. Lebih lagi, pengendara mobil menyalakan lampu panjangnya—menyorot sampai mengenai mukaku. Merah, putih dan kuning warna lampu kendaraan membuat mataku kekunangan.Â
   Debu-debu jalan berhamburan. Menyesakan dadaku. Mataku kelilipan: kuucek dengan kain bajuku.Â
   Bunyi mesin kendaraan begitu nyaring, ditambah bunyi knalpot motor anak muda: pretetet, et, et, et, et, cukup bising terdengar di telinga kananku. Temanku memandang wajahku sembari mesam-mesem, aku pun memandangnya.Â
   "Apa Bass?" tanyanya sedikit belagu.Â
   "Tak apa," seruku kembali melihat kendaraan.Â
   Temanku, Agus, yang disuruh tak lekas mengisi ulang gelas yang kosong. Ia malah menanyakan waktu pulang. "Bukannya kita mau cabut?" ujarnya menengok ke arahku.Â
   "Tenang saja. Gelas Bass masih ada isinya. Itu . . ." kata temanku yang mengenakan kaos putih, Tole. "Kalau buru-buru, cukup segelas yang diisi ulang."
   Agus cengengesan. Penuh ragu. Mungkin ia kira Tole cuma bergurau, lalu mengajak pulang setelah gelasnya sudah diisi ulang. "Iya, kah?" tanyanya ke Tole untuk meyakinkan.Â
   "Iya."Â
   Agus beranjak dari tempat duduknya, ia jalan ke pedagang angkringan—meminta mengisi ulang gelasnya ke pedagang. "Mang, tambahin Wedang Bandreknya."