Mohon tunggu...
Bass Elang
Bass Elang Mohon Tunggu... Seniman -

Dan pada akhirnya senja berubah menjadi malam yang gelap. Tak ada yang berkesan kecuali wajah manismu yang melintas.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Move On 7", Perang Paling Loyo

22 April 2018   03:36 Diperbarui: 23 April 2018   03:36 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Perangku yang paling loyo adalah memperjuangkanmu, Kekasih. Tetapi belum juga ku memilikimu."

     Semilir angin malam mendinginkan badan. Menyelami gelisah, bermenung di malam yang sunyi. Cukuplah angin yang menenangkan kegaduhan jiwa yang tengah kesepian. Kenangan menghantui. Ingatan menyerbui alam pikir. 

"Bahkan berkali-kali ku mencoba menangkap sukmamu, tetapi tetap saja pergi," renung Sinta di kala keheningan malam.

     Sinta belum juga mengerti. Apa sebabnya dia tidak bisa move on dari mantannya. Padahal, sangat jelas mantannya begitu membencinya. Ia masih mencoba memberikan perhatian. Menanyakan kabar. Bukan malah mendapat terimakasih atau respon yang baik, yang ia dapat adalah celaan dari mantannya. Namun ia menerima celaan itu. Ia tak peduli celaan itu. Ia cuma ingin tahu tentang keberadaan mantannya. 

"Meski diamku merenung. Tetap saja yang sulit ku tangkap adalah mengapa aku mencintaimu?" 

     Seorang pria yang membencimu, engkau percaya bahwa ia membencimu. Sebagaimana engkau mempercayai adanya musuhmu. Mungkin engkau lebih mudah melupakan temanmu daripada melupakan musuhmu. Tetapi ketika seorang pria mencintaimu, engkau tidak bisa langsung percaya. Engkau malah menganggapnya bohong, dusta atau bahkan nonsens.

     Mengapa energi cinta tidak cukup kuat menggebuk hatimu? Itu sebabnya reaksimu lebih besar terhadap orang yang membencimu ketimbang yang mencintaimu. Mungkin engkau pernah menganggap bahwa cinta itu murni, tapi tetap saja engkau tidak gampang percaya kepada orang yang mencintaimu. Seolah-olah engkau melupakan anggapanmu sendiri. Di dunia ini engkau lebih banyak melihat kebencian walau banyak orang yang mengatakan cinta. 

     Cinta seperti basa-basi saja. Palsu. Dan benci adalah orisinal. 

     Cinta tak perlu diucapkan. Kalau pun diucapkan ia nampak palsu. Bahkan dengan sikap pun, perilaku pun cinta belum dapat dipercaya. Berbeda dengan benci. Engkau cukup bersikap kasar, orang akan menganggapmu benci. Benci lebih ringan untuk ditunjukkan dan terlihat nyata.

"Kurang apa aku, Gih. Aku tulus mencintaimu, Gih. Aku sayang kamu, Gih." ujar Sinta. 

"Tolong jangan ganggu aku lagi. Dan nggak usah perhatian ma aku lagi. Ngerti!?" ketus Sugih sambil mendorong tubuh Sinta. 

"Bisakah engkau tidak kasar sama perempuan, Gih? Kena karma kau nanti," geram Susi. 

"Tidak! Karma tidak ada." Sugih menyangkal. 

"Lihat saja nanti!" kata Susi memperingati. 

     Saking marahnya Sugih. Ia menunjukkan sikap kasarnya kepada Sinta. Kebenciannya memuncak. Bahkan diperingati karma ia tidak percaya. Ia menganggap karma itu tidak ada. Ia justru menduga, bahwa sikapnya yang sekarang adalah akibat dari sikap Sinta yang terdahulu terhadap dirinya sewaktu masih hubungan. Itu yang terekam, itulah yang telah tercatat dalam alam bawah sadar Sugih. Daya ingatnya kuat. Sebab itu ia belum bisa menerima Sinta lagi. 

"Tau rasa tuh, orang. Kalau sudah kena karma," Susi menunjukkan kekesalannya di hadapan teman-temannya.  

"Siapa yang kamu maksud?" sahut Parmin. 

"Iya. Datang-datang sewot. Nggak jelas!" Jarwo menambahi. 

"Itu, Sugih!" seru Susi. "Sama cewek kasar banget. Aku jadi benci sama cowok." 

"Ha?" serempak teman-temannya heran. 

"Ia mendorong tubuh Sinta, sambil ngomong kasar. 'Kan aku jadi kesel," tutur Susi. 

"Masa'?" heran Parto. "Terus kamu ngomong apa?" tanya Parto kemudian. 

"Aku bilang. Nanti dia kena karma. Tapi,,, ia malah bilang, karma itu nggak ada," terang Susi. 

"Ya! Memang benar. Karma itu nggak ada," balas Sutejo mesem. 

"Kamu belain Sugih, Jo?" kata Sinta memanas. 

"Tidak! Karma memang nggak ada. Yang ada adalah keinginan kita sendiri menuju keadaan yang pernah kita perbuat kepada orang lain sebelumnya. Kita mengingini orang lain melakukan hal yang sama kepada kita, sebagaimana kita melakukan hal itu kepada orang lain," terang Sutejo.

"Berarti kalau kita nggak mengingini itu, itu nggak bakal terjadi?" timpal Jarwo. 

"Tepat!" pungkas Sutejo.

     Susi masih merasa kesal atas perbuatan Sugih terhadap sahabatnya. Ia mengajak teman cowoknya untuk mengadili perbuatan Sugih. Tetapi, sayangnya Sutejo menolak. Bagi Sutejo, keadilan bukan soal mengadili perbuatan seseorang. Itu justru seolah-olah kesannya ikut campur. Ikut campur adalah ketidakadilan. Apalagi menyangkut masalah hati. 

"Ah! Kamu ma mentehin, Jo." seru Susi.

"Tanpa kita adili pun, dia akan diadili oleh dirinya sendiri," sahut Sutejo mesem. 

"Lah! Wong dia jelas-jelas nggak eling," Susi menyangkal. 

"Hmmm. Tapi,, gini Sus. Sugih nanti juga akan menyesali perbuatannya," kata Parmin mencoba menenangkan Susi. 

"Betul!" samber Parto. "Dan, benar kata Sutejo. Nanti juga dia diadili dirinya sendiri. Yaitu, hati."

"Ya! Di dalam diri seseorang, di dalam hatinya, ada hakimnya sendiri. Jadi kita ndak perlu mengadili, Sugih." Sapar melengkapi obrolan itu. 

"Gimana kamu, Wo? " tanya Susi. 

"Aku sih ngikut aja. Terserah kalian!" jelas Jarwo. 

Hening. 

     Tidak ada lagi pembahasan di antara mereka. Susi masih agak jengkel, rupanya. Ia menghela nafas lalu menghembuskannya ke udara. Ia meremas rambutnya lalu menundukan kepalanya di meja. Ia sampai lupa menjamu tamunya.

"Eh! Diem-diem aja. Ngopi ngapa ngopi, " Parmin mengoceh. 

"Ops! Aku lupa bikinin kopi buat kalian. Maaf, ya?" ungkap Susi. 

Serentak teman-temannya menggelegak tertawa.

     Susi cuma ingat kebencian yang dipamerkan Sugih. Bahkan ketika membuat kopi ia lupa menaruh gula. Kopi berasa pahit. 

     Begitu juga benci. Ia pahit untuk dinikmati. Mungkin engkau sering diajarkan cinta, dan cinta adalah sebagai gula. Rasanya manis sekaligus pahit. Dan engkau ingin menikmati rasa manis itu berulang-ulang. Rasa pahitnya jadi berasa nyata. Dan dari rasa manis, tubuh serasa menjadi tidak lemas. Namun semakin engkau menikmati rasa manis itu, tubuhmu justru berubah menjadi lemas. 

"Nyatanya, cinta selain nyemangatin sekaligus ngelemesin, ya?" ujar Parmin ngelantur. 

"Main game juga gitu, Min. Awalnya kita ngerasa asyik. Lama-lama capek juga." Jarwo mencoba membalas. 

"Eh! Nggak juga, ding. Jomblo sebelumnya 'kan nggak ada gairah, tapi setelah punya pacar, hidupnya jadi bergairah," Sapar menyangkal. 

"Betul! Nyatanya yang enak-enak, nggak selalu diawal, kok. Orang sukses itu 'kan awalnya susah dulu," Parto menambahi. 

"Ah! Sudahlah. Kalian itu ngoceh aja dari tadi. Piye, Jal?" tangkas Susi. 

   Mungkin juga tidak sedikit orang mengatakan, bahwa cinta itu menyenangkan, mengasyikan. Seolah-olah jomblo itu menderita. Orang jomblo dianggap tidak laku, dianggap kesepian. Dan, orang menjomblo dianggap lemah bercinta. Tidak bahagia. 

#Bass #Elang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun