"Betul!" samber Parto. "Dan, benar kata Sutejo. Nanti juga dia diadili dirinya sendiri. Yaitu, hati."
"Ya! Di dalam diri seseorang, di dalam hatinya, ada hakimnya sendiri. Jadi kita ndak perlu mengadili, Sugih." Sapar melengkapi obrolan itu.Â
"Gimana kamu, Wo? " tanya Susi.Â
"Aku sih ngikut aja. Terserah kalian!" jelas Jarwo.Â
Hening.Â
   Tidak ada lagi pembahasan di antara mereka. Susi masih agak jengkel, rupanya. Ia menghela nafas lalu menghembuskannya ke udara. Ia meremas rambutnya lalu menundukan kepalanya di meja. Ia sampai lupa menjamu tamunya.
"Eh! Diem-diem aja. Ngopi ngapa ngopi, " Parmin mengoceh.Â
"Ops! Aku lupa bikinin kopi buat kalian. Maaf, ya?" ungkap Susi.Â
Serentak teman-temannya menggelegak tertawa.
   Susi cuma ingat kebencian yang dipamerkan Sugih. Bahkan ketika membuat kopi ia lupa menaruh gula. Kopi berasa pahit.Â
   Begitu juga benci. Ia pahit untuk dinikmati. Mungkin engkau sering diajarkan cinta, dan cinta adalah sebagai gula. Rasanya manis sekaligus pahit. Dan engkau ingin menikmati rasa manis itu berulang-ulang. Rasa pahitnya jadi berasa nyata. Dan dari rasa manis, tubuh serasa menjadi tidak lemas. Namun semakin engkau menikmati rasa manis itu, tubuhmu justru berubah menjadi lemas.Â