Mohon tunggu...
Dr.Dr.Basrowi.SE.ME.MPd.PhD
Dr.Dr.Basrowi.SE.ME.MPd.PhD Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat adm bisnis Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, S3 Asia e University

Man Jadda Wa Jadda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meningkatkan Consciousness Masyarakat

17 April 2020   16:16 Diperbarui: 17 April 2020   16:19 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Basrowi

"Mau makan apa to mas, kalau di dalam rumah terus, sumpek lah. Lha kalau aku tidak kerja, istri dan anakku mau makan apa?" Pak Yadi dengan nada agak emosi, menjawab pertanyaanku, mengapa tidak masuk saja di dalam rumah, tidak usah kongko-kongko di luar, karena bahaya virus Corona yang semakin hari semakin banyak jumlah korbannya, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Sementara istrinya sedang ngobrol bertiga dalam satu bangku kayu di depan kamar kosnya di gang sempit, permukiman padat huni bilangan Jakarta Pusat.

"Ya jangan nesu to mas, aku kan Cuma meneruskan himbauan Bapak Jokowi. Kalau Sampeyan tidak setuju ya gak apa-apa, yang penting selalu cuci tangan pakai sabun, pakai masker setiap di luar rumah, dan jangan berdempet-dempetan begitu." E...Pak Yadi menjawabnya malah tidak karuan. "Ya tidak mungkin lah mas, kalau tidak kumpul sama temen-temen, lha wong setiap hari selalu ngobrol ngalor-ngidul sama temen, masa gara-gara corona, terus babar blas, tidak mau ngobrol, tidak mau keluar rumah, ngumpet aja di dalam rumah. Nanti kalau sakit malah tidak ada yang nolong." 

Meskipun aku hanya senyum-senyum sendiri, Pak Yadi semakin bersemangat bercerita. "Orang-orang di sini itu sudah sadar dan sudah paham, tetapi mau beli masker saja tidak mampu, apalagi harga masker selangit. Mau memakai masker terus juga sumpek, karena kamar kontrakannya hanya ada jendela sempit dan hanya memakai kipas angin. Kalau bangun tidur, seperti habis badminton, gemrobyos, basah kuyup kaos yang kupakai. Lha kalau tidur juga harus pakai masker, ya bisa bablas nyawaku mas."   

Dari pada semakin ngeyel, lebih baik aku belokkan pembicaraan ke pedagang kaki lima. "Mas, sekarang ini kasihan ya pedagang kaki lima sepi pembeli, tukang bakso dan mie ayam keliling juga sepi, penjual cilok sepi, warung tegal sepi, penjual jajanan lainnya juga sepi. Tukang ojek juga sepi order, kebanyakan hanya orang pesan makanan. Njerit semua sekarang." Pak Yadi, yang tadinya agak ngeyel, sedikit mendunduk berfikir sambil mengambil nafas, "Iya-ya, kalau keadaan seperti ini terus, bisa jadi tambah runyam.

Orang miskin seperti saya yang hidupnya berjubel di gang-gang sempit, mau makan apa ya? Orderan tukang batu seperti saya juga sudah tidak ada. Bahkan semua tukang kayu, tukang las, tukang plafon, tukang cat, tukang keramik, semua sepi order, karena yang punya rumah, rata-rata tidak mau ada orang kerja, takut membawa virus Corona."  

"Wah agak nyambung sekarang Pak Yadi," gumam dalam hatiku. Dia sekarang malah yang lebih banyak ngomong. Aku jadi pendengar yang baik sekarang. Dia sudah dua minggu tidak bekerja. Istri yang setiap pagi jualan nasi uduk dan miehun goreng kecap, juga sudah agak sepi, karena anak-anakk sekolah yang tadinya membeli sarapan, sekarang lebih banyak yang menghemat dengan membuat sarapan sendiri di rumah.

"Anak-anak sekolah sudah pada belajar dari rumah, mereka sudah tidak diberi uang jajan sebanyak kalau sekolah. Pasti saja para penjual keliling tidak ada yang laku. Orang yang kerjanya serabutan sudah empat minggu tidak bekerja. Utang sama tukang sayur sudah numpuk, utang rokok sama warung sebelah sudah banyak, bahkan sudah di black list, tidak boleh utang lagi."

Rencana Mudik Jadi ambyar

"Kalau rencana pulang kampung bagaimana mas, apakah tetap jadi?" tanyaku untuk selingan. "Ambyar mas, mudik gratis sudah tidak ada lagi. Orang Jakarta kalau pulang kampung pasti dijauhi orang-orang kampung, karena dianggap membawa virus. Lagi pula, rejeki seretnya seperti ini, ke kampung tidak bisa membawa oleh-oleh juga malu, tidak bisa ngasih sangu sama keponakan-keponakan juga malu lah. Apalagi tidak membawa baju untuk simbah, ya pasti diprenguti."

Kini Pak Yadi, sudah mulai sedih kalau diingatkan akan hari raya Idul Fitri. "Hari raya besuk, merupakan hari raya paling sedih mas, karena kondisi kalut seperti ini. Belum kalau ada keluarga yang sakit dan di rawat di rumah sakit." Menurut pengakuannya, sudah tiga hari ini tidak bisa beli rokok, karena uang tabungan sudah menipis, rencananya, Pak Yadi mau menggadaikan HP miliknya. "Siapa tahu nanti mendapat uang gadai lima ratus ribu, bisa buat masak sama beli rokok, dan gula-kopi. Masa ada temen main, mbengong tidak ngopi, kere bener si."

Rokok pun Tidak Terbeli

Saya itu paling sedih, kalau melihat perokok yang mbengong karena tidak punya rokok. Peluang penyebabnya hanya ada dua, bisa jadi karena tidak punya uang, bisa juga karena menyuruh istri membelikan rokok, tetapi malah disewoti karena uang belanjanya saja sudah habis. 

"Kalau malam, main gaplenya masih jalan terus atau setop ya P Yadi?" tanyaku agak kepo. "Ya terus lah, Cuma uang receh taruhannya paling hanya dua ribuan. Itu pun hutang dulu sama yang menang. Sekali lagi, merawat persahabatan mas. Masa gara-gara Corona, harus merana. Main gaple saja tidak boleh, main catur tidak boleh."

Baru asyik-asyiknya ngobrol dengan Pak Yadi, e...istrinya memanggil. "Pak...itu anaknya minta dibelikan, jarum, benang, lem, sandal jepit, kain perca, untuk kerajinan tangan, tugas dari gurunya." Sambil menepuk pantatnya karena kotor dari tempat duduknya, dia bangun dan menjawab, "Ya bune, uangnya mana ya. Aku udah gak ada lagi." Sambil menggerutu, ibunya berbicara sendiri "Piye to Pak-e, mbok mecah celengan aja, siapa tahu recehnya banyak. Sekaliyan untuk beli beras, mi, dan kecap."    

Tidak ada Gula-teh-kopi

Melihat saya di depan rumahnya pakai masker, ibu Yadi menyapa, "E, ada Pak Dosen, silahkan Pak. Maaf ya, dari tadi saya ngobrol sama tetangga, jadi pangling sama Pak Dosen yang pakai masker kaya dokter rumah sakit saja." Karena disapa, saya pun menjawab, "iya bu, ibu kok tidak memakai masker? Kan tidak boleh berdekat-dekatan dengan tetangga, harus saling berjauhan. Dan kalau bisa tetap di dalam rumah bu."

Sambil memberikan segelas air putih, ibu Yadi mengatakan, "Maaf ya pak Dosen, hanya ada air putih, he he..gula kopinya kemakan Corona. Silahkan diminum Pak Dosen!" pintanya. "Iya bu, terima kasih. O iya bu, mengapa orang-orang di dalam gang sini tidak ada yang melakukan social distancing atau menjaga jarak, dan jarang yang tinggal di dalam rumah ya bu?" sambil meniup tempat yang akan didudukinya, ibu itu berfikir untuk bekal menjawab pertanyaannku.

"Begini pak Dosen, saya itu kontrak per bulan delapan ratus ribu ukuran dua setengah kali dua setengah meter. Ini sudah dua bulan nunggak. Gaji Bapaknya anak-anak cuma dua juta, untuk nyicil motor delapan ratus ribu. Listrik dua puluh ribu per minggu, habis. Uang seseran dari ngojek online, buat jajan anak sudah gak ada laih. Upah cuci gosok di rumah tetangga untuk beli beras, jadi pasti gali lubang tutup lubang." Dari pada panjang banget ceritanya, aku potong saja dengan ucapan singkat, "Masa si bu, kan ibu pagi-pagi juga jual nasi uduk?" tanyaku, seolah-olah tidak percaya, agar ibu itu merasa tersanjung sedikit, tanpa tahu kalau aku hanya pura-pura tidak percaya.

"Nich, dasterku sudah tidak karuan, sobek-sobek tidak bisa beli lagi. Udah berapa kali aku jahit keteknya yang sobek, dah gak itungan, sampai seperti keset warnanya. Paket data sudah habis sejak kemarin juga tidak kebeli. Tidak tahu nich kalau bapaknya tidak bekerja berlama-lama. Mau pulang kampung juga tidak bisa mencangkul, sawah tidak punya, rumah pokok sudah dijual. Tinggal ada keponakan-keponakan."

Mendengar ceramah singkat ibu Yadi, dalam hatiku sedih, tetapi juga bersyukur, meskipun aku sudah empat minggu WFH, tetapi tetap yakin pas tanggal satu, SMS banking tetap berbunyi pertanda ada dana payroll masuk.

Gambaran ibu Yadi, merupakan salah satu contoh dari sekian ibu-ibu pengghuni rumah kontrakan di gang-gang sempit seantero Jakarta yang jumlahnya sangat banyak. Sebagai gambaran di samping perumahanku di Jakarta pusat, gang-gang sempit yang sangat susah untuk bersimpangan sepeda motor, mayoritas dihuni oleh pendatang yang belum punya rumah di kota penyangga Jakarta. Mereka harus bekerja di Jakarta Pusat, sehingga rumah kontrakan S3 (sangat sempit dan sumpek) itu menjadi pilihan.

Bu Imah, tetangga bu Yadi yang sedang menyuapi anaknya dengan jalan-jalan ditemeni kucing tanpa memaki masker juga ikut menyapa saya, "E..ada pak Haji, libur ya Pak Haji, kok lama tidak ke masjid dan mampir ke sini. Ngumpet ya di rumah, takut Corona. Santai aja pak Haji, hidup-mati urusan Tuhan," Dengan penuh bosa-basi ku jawab, "Gak boleh keluar sama istri dan anak-anak bu. Lagi pula, di sini tidak pada pakai masker, jadi ngeri-ngeri sedap bu."

Sambal terus menyuapi anaknya, sesekali nasinya dijatuhkan sedikit untuk kucing yang sejak tadi mengikuti, ibu Imah mengatakan. "Kalau Pak Haji, meski gak kerja masih gajian, kalau bapaknya anak, tidak kerja ya gigit jari. Mana tagihan sudah numpuk lagi. Susu anak habis. Mau ke Indomaret beli tepung bubur anak juga tidak ada duit. Motor sudah ditagih terus, malah diancam mau ditarik lagi. Boro-boro beli masker yang harganya sudah mahal banget."

Untuk memberi motivasi ke ibu Imah, aku menjawab. "Ibu kan tabungannya banyak. Di kampung sapinya banyak. Sawahnya lebar. Kebon luas. Santai aja bu!" Sambil agak menendang kucing, yang dari tadi menggelibat di kaki, ibu itu menjawab sambil tertawa kecil. "Alhamdulillah, doa Pak Haji dikabulkan. Boro-boro pak Haji, sawah secuil udah dijual waktu anakku yang pertama sunatan di kampung. Sekarang bagaimana mencari sendiri aja pak Haji. Doakan ya pak Haji, rejeki bapaknya lancar dan melimpah."

Sambil mengucap aamiin, aku pura-pura menerima telepon dari istriku, aku pamitan. Dari pada semakin banyak ketemu orang di kampong padat huni, hatiku semakin sedih, bukan hanya karena Corona, tetapi juga karena melihat rendahnya kesadaran masyarakat gang kumuh untuk melakukan social distancing. Mereka meski sudah sadar tetapi untuk berada di dalam rumah sangat sulit. Apalagi memakai penutup mulut ketika bertemu dengan orang lain, masih jauh panggang dari api. Masya Allah...!

Dr. Basrowi, Pengamat Kebijakan Publik, Alumni S3 Unair, dan S3 UPI YAI            

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun