Rokok pun Tidak Terbeli
Saya itu paling sedih, kalau melihat perokok yang mbengong karena tidak punya rokok. Peluang penyebabnya hanya ada dua, bisa jadi karena tidak punya uang, bisa juga karena menyuruh istri membelikan rokok, tetapi malah disewoti karena uang belanjanya saja sudah habis.Â
"Kalau malam, main gaplenya masih jalan terus atau setop ya P Yadi?" tanyaku agak kepo. "Ya terus lah, Cuma uang receh taruhannya paling hanya dua ribuan. Itu pun hutang dulu sama yang menang. Sekali lagi, merawat persahabatan mas. Masa gara-gara Corona, harus merana. Main gaple saja tidak boleh, main catur tidak boleh."
Baru asyik-asyiknya ngobrol dengan Pak Yadi, e...istrinya memanggil. "Pak...itu anaknya minta dibelikan, jarum, benang, lem, sandal jepit, kain perca, untuk kerajinan tangan, tugas dari gurunya." Sambil menepuk pantatnya karena kotor dari tempat duduknya, dia bangun dan menjawab, "Ya bune, uangnya mana ya. Aku udah gak ada lagi." Sambil menggerutu, ibunya berbicara sendiri "Piye to Pak-e, mbok mecah celengan aja, siapa tahu recehnya banyak. Sekaliyan untuk beli beras, mi, dan kecap." Â Â
Tidak ada Gula-teh-kopi
Melihat saya di depan rumahnya pakai masker, ibu Yadi menyapa, "E, ada Pak Dosen, silahkan Pak. Maaf ya, dari tadi saya ngobrol sama tetangga, jadi pangling sama Pak Dosen yang pakai masker kaya dokter rumah sakit saja." Karena disapa, saya pun menjawab, "iya bu, ibu kok tidak memakai masker? Kan tidak boleh berdekat-dekatan dengan tetangga, harus saling berjauhan. Dan kalau bisa tetap di dalam rumah bu."
Sambil memberikan segelas air putih, ibu Yadi mengatakan, "Maaf ya pak Dosen, hanya ada air putih, he he..gula kopinya kemakan Corona. Silahkan diminum Pak Dosen!" pintanya. "Iya bu, terima kasih. O iya bu, mengapa orang-orang di dalam gang sini tidak ada yang melakukan social distancing atau menjaga jarak, dan jarang yang tinggal di dalam rumah ya bu?" sambil meniup tempat yang akan didudukinya, ibu itu berfikir untuk bekal menjawab pertanyaannku.
"Begini pak Dosen, saya itu kontrak per bulan delapan ratus ribu ukuran dua setengah kali dua setengah meter. Ini sudah dua bulan nunggak. Gaji Bapaknya anak-anak cuma dua juta, untuk nyicil motor delapan ratus ribu. Listrik dua puluh ribu per minggu, habis. Uang seseran dari ngojek online, buat jajan anak sudah gak ada laih. Upah cuci gosok di rumah tetangga untuk beli beras, jadi pasti gali lubang tutup lubang." Dari pada panjang banget ceritanya, aku potong saja dengan ucapan singkat, "Masa si bu, kan ibu pagi-pagi juga jual nasi uduk?" tanyaku, seolah-olah tidak percaya, agar ibu itu merasa tersanjung sedikit, tanpa tahu kalau aku hanya pura-pura tidak percaya.
"Nich, dasterku sudah tidak karuan, sobek-sobek tidak bisa beli lagi. Udah berapa kali aku jahit keteknya yang sobek, dah gak itungan, sampai seperti keset warnanya. Paket data sudah habis sejak kemarin juga tidak kebeli. Tidak tahu nich kalau bapaknya tidak bekerja berlama-lama. Mau pulang kampung juga tidak bisa mencangkul, sawah tidak punya, rumah pokok sudah dijual. Tinggal ada keponakan-keponakan."
Mendengar ceramah singkat ibu Yadi, dalam hatiku sedih, tetapi juga bersyukur, meskipun aku sudah empat minggu WFH, tetapi tetap yakin pas tanggal satu, SMS banking tetap berbunyi pertanda ada dana payroll masuk.
Gambaran ibu Yadi, merupakan salah satu contoh dari sekian ibu-ibu pengghuni rumah kontrakan di gang-gang sempit seantero Jakarta yang jumlahnya sangat banyak. Sebagai gambaran di samping perumahanku di Jakarta pusat, gang-gang sempit yang sangat susah untuk bersimpangan sepeda motor, mayoritas dihuni oleh pendatang yang belum punya rumah di kota penyangga Jakarta. Mereka harus bekerja di Jakarta Pusat, sehingga rumah kontrakan S3 (sangat sempit dan sumpek) itu menjadi pilihan.