Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada Makassar yang Paripurna

8 Juli 2018   14:54 Diperbarui: 8 Juli 2018   15:11 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesta demokrasi lima tahunan yang dikemas dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang digelar pada 171 daerah seluruh Indonesia kini telah usai dilaksanakan. Kemanan dan ketertiban selama berlangsungnya Pilkada menjadi sebuah kesyukuran kita bersama. Sebab tentu saja, momok yang cukup sulit dinafikkan dari Pilkada adalah kericuhan.

Akan tetapi, bukan berarti dengan lancarnya pelaksanaan Pilkada serentak sehingga membuat kita menjadi jumawa bahwa seluruh perangkat yang terlibat didalamnya tidak perlu ada evaluasi. Kupikir hal ini tidak boleh dibiarkan, sebab jika demikian maka tentu hal itu adalah sebuah kecelakaan. Karena masih ada banyak yang perlu diperbaiki dan dievaluasi.

Mulai dari kesiapan pihak keamanan dalam hal ini Polri maupun TNI serta pihak lain, maupun dari segi penyelenggara Pilkada dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta perangkatnya, hingga hal teknis yang lain terkait persiapan, pelaksanaan dan setelah kontestasi.

Selain itu, perlu adanya transparansi anggaran selama Pilkada yang digunakan oleh penyelenggara. Sehingga dapat menjadi sebuah pembelajaran yang akuntabel dalam hal pengelolaan keuangan. Pasalnya, selama ini tidak jarang kita mendengar dan membaca sebuah berita mengenai penyelewengan anggaran dalam Pilkada pada berbagai daerah di Indoensia.

Dari sekian daerah yang menyelenggarakan Pilkada secara nasional, tentu ada satu daerah yang paling mendapatkan sorotan publik nasional. Daerah itu adalah Kota Makassar. Kota metropolitan yang merupakan kota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) itu menjadi Pilkada yang paling menarik secara nasional karena menjalankan proses Pilkada yang membuat sejarah.

Semua orang tentu tahu, terutama masyarakat Kota Makassar bagaimana dinamika politik di Pilkada Makassar. Bahkan, saya dan beberapa teman sepakat untuk menjudge bahwa Pilkada Makassar adalah Pilkada yang paling paripurna dari seluruh Pilkada serentak yang berlangsung tahun 2018, 2017, dan 2015.

Entahlah, kupikir semua orang berhak memberi penilaian berdasarkan pemahaman dan kacamata berpikirnya. Jika saja yang menolak mengatakan demikian, kupikir itu wajar-wajar saja. Sebab keindahan yang sempurna yang diberikan Tuhan kepada mahluknya yang bernama manusia adalah perbedaan. Oleh karena tidaka ada sidik jari manusia yang sama bukan?

Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan saya paparkan alasan, pemahaman dan pemikiran saya dibalik saya dan beberapa teman mengatakan Pilkada Makassar paling paripurna. Setidaknya, ada tiga alasan dan fondasi dasar munculnya gagasan itu untuk kemudian kami menarik benang merah ketika diskusi kecil-kecilan di Cafe Foof Holic Mall Panakkukang Makassar, 7 Juli lalu.

Dinamika Politik

Makassar sebagai salah satu daerah yang sangat kental dengan politik tak heran jika dalam proses Pilkada sangatlah mengalami dinamika yang sangat luar biasa. Hal ini juga telah menjadi bahasa simbol secara tidak langsung dalam kancah perpolitikan nasional.

Baik itu dalam proses politik ditingkat pusat, organisasi-organisasi internal maupun eksternal kampus, hingga masuk dalam ranah politik internasional dalam diri Jusuf Kalla. Oleh karena itu, tidaklah salah jika Pilkada Makassar juga dikatakan sebagai marwah politik timur Indonesia. Dan ini seringkali diperdengarkan oleh politisi ternama nasional.

Dengan adanya dinamika politik yang sangat cair diawal-awal proses Pilkada Makassar dengan memunculkan sejumlah nama yang digadang-gadang maju untuk menantang calon incumbent Danny Pomanto adalah sebuah permulaan. Bahkan, jauh sebelum tahapan Pilkada Makassar, Danny Pomanto telah pecah kongsi dengan wakilnya Syamsu Rizal (Deng Ical).

Padahal, pada Pilkada Makassar 2013 lalu bagaimana pasangan Danny Pomanto-Syamsu Rizal (DIA) yang lahir dari tangan dingin seorang pemimpim Kota Makassar dua periode Ilham Arief Sirajuddin yang kemudian menumbangkan sejumlah pasangan calon yang lahir dari klan politik yang sudah mengakar di Sulsel seperti Irman Yasin Limpo yang merupakan adik kandung Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo.

Hiruk pikuk kebersamaan DIA yang diperhadapakan dengan gelombang politik yang dilewati dengan tidak mudah, ternyata tidak mampu membuat keduanya harmonis. Sehingga membuat Deng Ical melakukan manuver politik untuk melakukan perlawanan terhadap Danny. Kuat dugaan, pecah kongsinya DIA tidak bisa lepas dari pengaruh Ilham Arief Sirajuddin.

Pecah kongsi itu pun berlanjut hingga tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu pecah kongsi yang cukup melelahkan bagi kepala daerah di Sulsel. Meski pada beberapa daerah juga mengalami hal yang sama seperti Jeneponto, Sinjai, Parepare, Palopo. Akan tetapi, yang terjadi antara Deng Ical dan Danny tidaklah sama sebab ada pihak ketiga yang telah terlibat.

Konflik internal Pemerintah Kota Makassar pun tak terhindarkan hingga memasuki tahapan Pilkada Makassar yang kemudian Deng Ical membuktikan diri sebagai politisi yang siap bertarung dengan Danny. Akan tetapi, takdir berkata lain, Deng Ical gagal melaju pada putaran Pilkada Makassar disebabkan tidak mampu mencukupkan jumlah usungan partai politik yang ketika itu berpasangan dengan legislator PKS, Iqbal Djalil (Ije').

Sementara dipihak Danny, tentu sebagai calon yang berstatus incumbent memiliki segudang ketertarikan oleh sejumlah partai politik untuk mengusungnya. Partai Demokrat yang juga sebagai tempat Deng Ical menimba ilmu lebih memilih untuk mengusung Danny. Tentu ini menjadi kecemburuan tersendiri dalam internal partai berlambang mercy itu. Hingga pada akhirnya Deng Ical memutuskan untuk menyeberang ke Partai Golkar.

Selain Demokrat, sejumlah partai politik lain juga ikut melirik Danny. Mulai dari partai politik penguasa yakni PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan sejumlah partai baru maupun partai politik yang tergabung dalam oposisi seperti PKS dan Gerindra. Hal ini pun membuat Danny semakin di atas angin yang kemudian membuatnya jumawa.

Namun, pada akhirnya seluruh partai politik mulai menarik diri disebabkan dengan Danny yang kian di atas angin kemudian menjadikannya sedikit angkuh dan sombong. Apalagi, Danny ketika itu memiliki struktur politik hingga tingkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) se-Kota Makassar. Hal ini pun dijadikan senjata untuk tidak masuk dalam ranah politik praktis untuk bergabung pada salah satu partai yang siap mengusungnya.

Partai Golkar merupakan partai pertama yang melakukan perlawan terhadap Danny. Diinisiasi oleh Ketua DPD II Partai Golkar Kota Makassar, Farouk M Betta bersama seluruh politisi Golkar Makassar menaikkan lambang tanda X yang kemudian viral. Hal itu pun membuat sejumlah partai politik juga ikut terlibat seperti PPP hingga PDIP bahkan Gerindra dan PKS.

Danny kemudian melakukan persiapan untuk melakukan perlawanan melalui jalur independent dengan mengumpulkan sejumlah KTP. Akan tetapi, masih ada partai politik yang setia kepada Danny yakni Partai Demokrat dan beberapa partai politik non parlemen seperti PSI, Perindo, dan Berkarya.

Akan tetapi terlanjur menggeliatnya Gerakan X tersebut kemudian memuculkan figur alternatif di Pilkada Makassar yakni Munafri Arifuddin. Dia adalah seorang yang tidak pernah terlibat politik sebelumnya. Namun, dorongan yang kuat dari sejumlah kalangan membuatnya nekat maju di Pilkada Makassar. Termasuk dorongan dari sejumlah pebinsnis terbesar di Sulsel Aksa Mahmud dan politisi senior Partai Golkar Jusuf Kalla.

Dengan segala sumber daya yang ada, Munafri Arifuddin kemudian memutuskan berpasangan dengan Ketua DPD NasDem Kota Makassar. Partai yang sebelumnya mendekat kepada Danny akhirnya putar haluan untuk mengusung pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu). Sedangkan Danny memutuskan berpasangan dengan politisi Partai NasDem, Indira Mulyasari (DIAmi).

Dinamika Hukum

Dinamika politik terus begejolak pasca keluarnya keputusan KPU yang memutuskan pasangan DIAmi lolos sebagai calon peserta dalam Pilkada Makassar. Tim pemenangan Appi-Cicu yang diinisiasi oleh Golkar melakukan menuver politik untuk menyempitkan gerakan politik Danny yang disokong oleh infrastruktur RT/RW se-Kota Makassar.

Salah satu langkah yang dipilih yakni jalur hukum dengan melakukan gugatan tentang pembagian HP (smartphone) kepada Ketua RT/RW se-Kota Makassar, pengangkatan tenaga kontrak dan penggunaan (slogan) 2 kali tambah baik dan jangan biarkan Makassar mundur lagi berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 junto PKPU nomor 15 tahun 2017 pasal 89 tentang larangan bagi petahana untuk menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan bagi calon.

Selain itu Tim Hukum Appi-Cicu juga menjadikan pasal 71 Undang Undang UU 10 Tahun 2018 sebagai dasar langsung mengajukan gugatan ini yang membuatnya menjadikan gugatan itu sebagai sengketa pada KPU. Meski Panwaslu Kota Makassar menolak gugatan tersebut. Akan tetapi KPU melanjutkan gugatan itu kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN).

Hal itu pun membuat Danny terjepit oleh kasus yang dibuatnya sendiri. Membuatnya terperangah atas tindakan yang tak pernah disangkanya untuk kemudian menjadi kasus yang menjeratnya. Hingga menjadikannya kehilangan tempat untuk maju sebagai calon pada Pilkada Makassar karena pencalonannya sebagai calon dibatalkan oleh PT TUN Makassar.

Danny tinggal diam, dengan bekal keputusan Panwaslu Kota Makassar, Danny melalui KPU Makassar melakukan gugatan pada Mahkamah Agung (MA) untuk mengembalikan Danny bersama Indira sebagai pasangan calon di Pilkada Makassar. Tapi, pada 23 April 2018, MA memutuskan untuk menolak gugatan KPU. Hal itu pun kemudian menjadi keputusan inkra sehingga pasangan DIAmi gagal melaju kebabak final Pilkada Makassar.

Danny terus melakukan perlawanan bersama tim pemenangannya. Bahkan, keputusan MA menolak keputusan KPU Makassar menjadi sorotan nasional. Hal itu membuat Danny tampil pada beberapa stasiun TV nasional sebagai pembicara. Pasalnya, apa yang menimpa Danny di Pilkada Makassar adalah sebuah sejarah baru dalam ranah perpolitikan kontestasi Pilkada.

Disamping disibukkan dengan ranah hukum politik di Pilkada Makassar, Danny juga disibukkan dengan pidana yang setiap saat dapat menjeratnya terkait dugaan kasus korupsi yang mencuat setelah bergulirnya tahapan Pilkada Makassar yang dilakukan oleh Polda Sulsel yang katanya sekarang diambil alih oleh Polri. Entah ini berkaitan atau tidak kupikir semua orang punya kacamata nalar pikir yang berbeda.

Selain itu, Ketua Tim Skuadron DIAmi, Maqbul Halim juga kena getahnya. Getolnya Maqbul dalam melakukan pembelaan kepada DIAmi membuatnya tersangkut kasus hukum yang dilaporkan pemilik Bosowa Group, Aksa Mahmud. Hal ini terkait dengan cuitan Maqbul pada media sosial yang sifatnya kreatif dalam berkampanye politik di Pilkada.

Dalam perjalanan perlawanan yang dilakukan oleh Danny bersama timnya tidak membuat dirinya kembali dalam arena Pilkada Makassar. Dan tentu saja ini adalah kemenangan bagi pasangan Appi-Cicu. Sebab nantinya akan memudahkan pertarungan pada Pilkada Makassar karena hanya akan melawan kolom kosong di Pilkada. Kupikir hal ini yang diangan-angankan oleh Appi-Cicu dan seluruh timnya.

Kedaulatan Rakyat

Pasca Danny didiskualifikasi sebagai pasangan calon di Pilkada Makassar, hal itu kemudian membuat Danny secara otomatis cepat kembali menjabat sebagai Walikota Makassar aktif pasca non aktif ketika maju pada tahapan Pilkada Makassar. Hal ini kemudian diduga sebagai jalan Danny melakukan manuver politik untuk memperkuat dukungan kepada kolom kosong.

Dugaan ini semakin simpang siur berkat adanya penon-aktifan sejumlah belasan Camat dalam lingkup pemerintah Kota Makassar. Ada sejumlah khalayak yang menyebut bahwa penon-aktifan Camat tersebut berkaitan dengan Pilkada Makassar. Ini muncul dari pihak Appi-Cicu. Sedangkan wacana yang muncul dari pihak Danny, hal itu dikarenakan Camat tersebut tidak netral dalam Pilkada Makassar.

Polemik demi polemik terus menambah situasi politik Pilkada Makassar. Hingga membuat arus politik bawah menjadi panas. Terutama dari pendukung Appi-Cicu dan relawan kolom kosong. Sedang disisi lain, Danny yang terus dijepit oleh kasus dugaan korupsi mencari pembelaan. Salah satu cara yang dilakukan adalah masuk pada salah satu partai untuk menjadi kader sebagai tamen.

Dan menurut kabar burung yang beredar, kini Danny siap ber-NasDem. Jas Partai NasDem itu kembali diduga membuat Danny melakukan manuver politik untuk memperkuat relawan kolom kosong. Ini bisa jadi sebagai ungkapan kekecewaannya yang gagal maju di Pilkada Makassar.

Disisi yang lain, tahapan Pilkada Makassar terus berlanjut. Pasangan Appi-Cicu sebagai calon tunggal di Pilkada Makassar kian optimis memenangkan pertarungan melawan kolom kosong. Bahkan, dalam beberapa kesempatan dalam kampanye, Appi-Cicu terus menerus merehkan kekuatan relawan kolom kosong yang katanya tidak punya program untuk membangun Kota Makassar ke depan.

Hingga akhirnya, hari pencoblosan tiba pada tanggal 27 Juli lalu. Sekitar pukul 15.30 pada hari yang sama keluar quick count Celebes Research Centre (CRC) memenangkan kolom kosong atas Appi-Cicu. Akan tetapi, pihak Appi-Cicu tetap optimis memenangkan Pilkada Makassar.

Untuk meredam hasil quick count tersebut, pihak Appi-Cicu mengklaim memenangkan Pilkada Makassar berdasarkan hasil rekap dari sejumlah saksi yang ditempatkan pada tiap TPS. Itu kemudian membuat sejumlah euforia bagi kubu Appi-Cicu dengan melakukan perayaan. Bahkan, tim pemenangan Appi-Cicu sempat melakukan kegiatan di Kecamtan Manggala sebagai bentuk kemenangan.

Namun angan-angan kemenangan Appi-Cicu untuk melenggang ke Balaikota Makassar menjadi buyar. Setelah KPU Makassar melakukan rekapitulasi pada 6 Juli 2018 di Hotel Maxone, dimana KPU mengumumkan kemenangan kolom kosong dengan segala intrik politik yang menyertainya. Bahkan, kolom kosong mampu meraih suara terbanyak pada 13 kecamatan di Kota Makassar. Itu artinya, Appi-Cicu hanya mampu menang pada 2 kecamatan.

Kemenangan kolom kosong di Pilkada Makassar merupakan sejarah tersendiri. Bahkan ada media yang menyebut jika kemenangan kolom kosong merupakan kemenangan yang pertama sejak zaman kolonial Belanda. Ini sedikit menyindir akan tetapi secara fakta yang benar adanya.

Sejarah lain yang ditoerahkan kolom kosong adalah merupakan satu-satunya Pilkada yang diikuti oleh calon tunggal mampu tumbang. Sebab di Pilkada Enrekang dan Bone Kotak Kosong mampu dikalahkan. Meski secara proses politiknya sangat jauh berbeda. Sebab Pilkada Makassar pasangan incumbent didiskualifikasi sedang di Enrekang dan Bone sejak awal tidak pasangan calon yang mampung menggenapkan usungan partai politik.

Kemenangan kolom kosong di Pilkada Makassar juga menjadi pembuktian bahwa rakyat memegang tonggak penuh dalam Pilkada. Rakyat Makassar memberikan gambaran juga bahwa untuk menentukan pemimpin di daerah tidak boleh dipaksanakan oleh kekuatan apappun. Termasuk kekuatan ekonomi yang luar biasa.

Kupikir hanya ini yang ingin saya jelaskan. Penulisan artikel tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak manapun, baik itu nama yang tertulis dalam artikel ini atau pun pihak lain. Terima kasih. AkuMencintaimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun