Siapa yang tidak kenal dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebelum dan sesudah era reformasi, partai ini sudah terbentuk. Sehingga tidak salah jika PDIP terus eksis hingga kini. Apalagi, partai sangat kental dengan ideologinya.
Dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2004, PDIP memperoleh suara sebanyak 21.026.629 dengan persentase 18,53% dengan jumlah kursi 109 di DPR. Hasil itu pun membuat PDIP menjadi partai kedua dengan jumlah perolehan suara terbanyak setelah Partai Golkar yang mendulang suara sebanyak 24.480.757 suara atau 21,57 persen dan total kursi di DPR sebanyak 128.
Hasil itu pun membuat PDIP bernafsu untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebab semua tentu tahu, jika Megawati Soekarnoputri merupakan Calon Presiden (Capres) incumbent pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004. Dimana ketika itu Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi.
Namun takdir berkata lain, pada putaran kedua melawan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) yang hanya diusung oleh tiga partai kecil yakni Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Demokrat mampu keluar untuk memenangkan pertarungan.
Megawati dan PDIP pun mesti gigit jari yang pada akhirnya memutuskan untuk mengambil sikap secara tegas berada diluar pemerintahan SBY-JK alias oposisi. Langkah politik yang diambil oleh PDIP dan Megawati tersebut sangat rasional.
Akan tetapi hal itu bisa jadi bagian dari bentuk kekecewaan Megawati yang tidak bisa mempertahankan kekuasaannya untuk periode kedua. Meski memang dalam periode pertamanya, Megawati tidak murni menang dalam pemilihan yang berlangsung di DPR karena hanya menggantikan almarhum Gus Dur.
Konsistensi PDIP dan Megawati terus melakukan pengawasan terhadap pemerintah tak pernah surut. Bahkan, sepanjang pemerintahan SBY-JK 2004/2005, baik Megawati maupun PDIP getol melakukan kritik terhadap pemerintah. Salah satu diantaranya ketika menilai pemerintahan SBY-JK yang lamban dan hanya sibuk gonta-ganti kabinet tahun 2005.
Tak hanya itu, PDIP dan Megawati juga menyorot soal anjloknya nilai mata uang rupiah mendekati yang berada pada level Rp 12.000 ribu. Hingga indikasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus diwacanakan yang dinilai mengimbas pada masyarakat dengan melonjaknya harga sembilan bahan pokok waktu itu (Tempo, 2005).
Khusus untuk protes kenaikan BBM, PDIP tidak hanya melakukan protes dengan kontrol di DPR. Akan tetapi, PDIP juga tak segan melakukan aksi unjuk rasa dengan menggalang sejumlah ormas dan mahasiswa untuk melakukan protes bersama pada tahun 2008 lalu.
Sikap konsistensi PDIP yang bersebarangan dengan pemerintah, membuatnya seakan-akan muncul sebagai partai malaikat yang terus berjuang bersama rakyat. Tapi hal itu rupanya tak cukup membuat publik percaya begitu saja. Hal itu tercermin pada Pileg 2009.
Berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), PDIP mendulang suara sebanyak 14.600.091 dengan persentase 14,03 persen dengan jumlah kursi di DPR sebanyak 95. Perolehan suara itu membuat PDIP tetap konsisten untuk masuk dalam posisi tiga besar perolehan suara terbanyak di Pileg.
Meski perolehan suara itu turun jika dibandingan dengan Pileg 2004 lalu, akan tetapi PDIP masih tetap bersyukur karena mampu konsisten beradap pada posisi tiga besar. Kupikir, perolehan suara PDIP itu juga bagian dari konsistensinya untuk tetap memilih jalur oposisi dalam perjuangan politiknya.
Pada Pilpres 2009, Megawati kembali maju bertarung. Kali ini, Megawati melirik partai baru yang sedang berkembang yang dipelopori oleh Prabowo Subianto yang memiliki perolehan suara sekitar 4.646.406 atau 4,46 persen di Pileg. Meski memang jalannya komunikasi PDIP dan Gerindra ketika sangat alot.
Dalam perjalanannya, PDIP sendiri mengakui jika koalisi dengan Partai Gerindra merupakan pilihan yang terpaksa. Pasalnya, ketika itu PDIP cukup tertutup untuk melakukan komunikasi dengan partai politik lain. Dimana Demokrat sudah pasti akan mengusung kembali SBY dan Golkar telah memutuskan untuk mengusung JK.
Rupanya ujian terhadap PDIP dan Megawati masih terus berlanjut. Pasangan Megawati-Prabowo di Pilpres kembali keok untuk kedua kalinya dari Partai Demokrat. Mega-Prabowo hanya mampu mendulang suara 32.548.105 suara atau 26,79 persen.
Sedangkan SBY yang menceraikan JK dan kemudian berpasangan dengan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono memperoleh suara 73.874.562 dengan persentase mencapai 60,8 persen. Dan posisi buncit alias ketiga adalah pasangan JK-Wiranto dengan jumlah suara 15.081.814 dengan persentase 12,41 persen.
Kemenangan 2-0 SBY terhadap Megawati membuat hubungan keduanya menjadi sangat runcing. Hal itu terbukti ketika dalam beberapa kesempatan Megawati selalu mangkir ketika akan berhadapan dengan SBY. Tak hanya Mega dan SBY, Partai Demokrat dan PDIP pun demikian.
Rasa sakit hati Megawati dan PDIP pun membawanya untuk konsisten berada pada jalur politik di luar pemerintah. Itu artinya, PDIP dan Megawati selama dua periode pemerintahan SBY konsisten untuk oposisi. Konsistensi itu pun sepertinya membuat PDIP mulai mendapat perhatian publik.
Apalagi, dalam berbagai kesempatan tagline partai wong cilik ala PDIP kemudian booming yang membuat rakyat kian jatuh hati. Langkah politik PDIP yang berada diluar pemerintah yang membuatnya tak takut untuk melakukan kritik pedas sebagai bumbu manis.
Bahkan, politik mengiba yang diperagakan oleh PDIP seperti menampilan elit politik sedang menangis seperti yang pernah diperlihatkan oleh Megawati, Rieke Diah Pitaloka, dan Puan Maharani membuat hati rakyat kian bergetar untuk memberikan support dan dukungan.
Ditambah lagi PDIP yang mengangkat isu-isu yang sangat krusial seperti kenaikan harga BBM yang sangat bersentuhan dengan rakyat kiat membius hingga kepelosok. Tak hanya itu, dipeloporinya aksi unjuk rasa oleh PDIP yang dihadiri langsung oleh sejumlah elit dan menerbitkan buku pembelaan terhadap wong cilik terasa sangat memabukkan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bagi saya ketika Pileg 2014 PDIP muncul sebagai partai pemenang dengan jumlah suara 23.681.471 atau 18,95 persen. Yang menarik, setelah PDIP keluar sebagai partai pemenang Pileg, tidak serta merta membuat Megawati maju kembali ke Pilpres.
Kupikir keputusan Megawati tersebut sangatlah tepat. Sebab hal itu membuatnya menjadi buah bibir rakyat, pasalnya keputusan itu menjadikan Megawati sebagai sosok yang tidak haus kekuasaan secara pribadi. Tentu ini menambah sisi positif terhadap PDIP.
Disisi lain, Megawati yang telah melihat peluang untuk mengusung Gubernur DKI Jakarta kala itu yakni Joko Widodo yang sangat kental dengan sikap sederhana, merakyat, dan gaya blusukannya yang fenomenal. Apalagi, nama Joko Widodo sangat dielu-elukan oleh rakyat dengan balutan media yang sangat kental.
Hingga akhirnya membuat Megawati merasa dipuncak dan menghapus rasa sakit hatinya dan kesabarannya menjalankan langkah politik oposisi dengan memenangkan pertarungan Pilpres 2014. Joko Widodo yang dipasangkan dengan JK membuat partainya melenggang ke istana dengan perolehan suara yang cukup signifikan.
Jokowi-JK mampu mendulang suara sebanyak 70.997.833 suara dengan persentaasi 53.15 persen dengan PDIP sebagai partai pengusung utama bersama PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI. Sedangkan pesaingnya, Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang diusung oleh Partai Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat hanya mampu mendulang suara 62.576.444 atau 46.85 persen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H