Piye Kabare? Â Iseh Penak Jamanku To?
Apabila dipojokkan dengan pertanyaan itu yang identik dengan sapaan dan senyum ramah seorang Soeharto, secara subyektif saya harus menjawab itu benar.
Tumbuh besar dan menjadi dewasa yang memang produk Orde Baru, ya jelas tidak bisa bilang bahwa hidup kami kesusahan. Masih bisa makan dengan layak, walaupun kami pun tahu bahwa orang tua jelas berjuang keras untuk itu. Zaman rajin menabung Tabanas, karena saatnya nanti, itulah uang saku kami untuk berlibur.
Pancasila, Petrus, Menteri dan Berita Tanpa Demokrasi.
Zaman itu, jangankan hafal Pancasila, pembukaan UUD 1945 pun di luar kepala. Tetapi di zaman itu juga terpaksa melihat pemandangan yang sedikit 'ngeri' di mana Petrus atau Penembak Misterius masih ada di Kota 'Gali' Semarang.
Bathi Mulyono, Komandan dari Fajar Menyingsing adalah salah satu saksi hidup dari peristiwa Petrus tersebut. Bisa simak sedikit ceritanya disini.
Zaman itu para menteri wajib menghafal satu persatu. Memang enggak terlalu susah, sih, wong ya jarang ganti. Juga upacara bendera, sesuatu yang sakral.
Tumbuh besar di kalangan stasiun amatir radio swasta pun menjadikan lebih tahu, bahwa semua berita yang keluar wajib hukumnya melalui pengawasan yang ketat.
Zaman di mana beberapa kali harus melihat, di mana "partisipasi" dalam acara yang diselenggarakan oleh TNI AD seperti wajib hukumnya untuk dipenuhi.
Meski tekanan ramah tapi lumayan serem itu selalu mentah dengan penolakan tegas oleh orangtua. Mau gimana lagi? Lah, saat yang datang masih 'baret' ketemu anak kolong yang sedari kecil sudah ikut pindah dari tangsi ke tangsi.Â
Salah alamat dan lali weton dong.Â
Itu orang tua. Kami para cucu sih 'hanya'cukup bersekolah di Persit dengan didikan 'semi militer' saja.
Hingga menginjak ke arah dewasa, hidup kami bisa dibilang baik baik saja. Masih teringat jelas acara 'Mbangun Deso'Â di mana di situ mendiang Soeharto terlihat sangat luwes dan bahagia berbincang-bincang dengan para petani. Seperti memang beliau merasa nyaman di posisi itu.Â
Wong Jowo, seorang pemimpin yang merakyat. Acara tersebut hanya rekayasa? Mana kita tahu.
Oh ya, zaman itu hanya ada tiga partai di Indonesia, dan yang menang itu-itu saja. Dan zaman di mana kami masih bisa belajar kearifan lokal lewat acara televisi punakawan Ria Jenaka.
1993, Manly, N.SW, Australia, tiba-tiba siang itu kebanggaan sebagai orang Indonesia bagi seorang bocah udik yang baru saja belajar hidup sendiri di negeri orang harus dirusak.
Diskusi kelas siang itu dibuka oleh seorang Lecturer yang membawa sebuah film yang dibintangi oleh Mel Gibson.
Tujuan film tersebut diputar adalah sebagai pemahaman dan pembelajaran politik dari negara tetangga terdekat, Indonesia.
Tadinya sedikit bangga, sebagai satu-satunya orang Indonesia di kelas itu. Begitu sang dosen sedikit memberikan prolog tentang film yang akan diputar, entah karena rasa nasionalis yang terlalu tinggi atau memang jelas kurang kedewasaan, marah pun meledak.
The Year of Living Dangerously -- cerita tentang Kudeta seorang Soeharto terhadap Soekarno.Â
Dengan tegas dan bahasa Inggris yang spik spik little little I can berusaha membantah keras kalimat demi kalimat dan cecaran dari teman sekelas tentang situasi pelanggaran hak asasi manusia dan seorang diktator bernama Soeharto.Â
Tidak, tidak seperti itu kejadian yang sebenarnya, terutama yang kami tahu.
Kami, Bangsa Indonesia tidak hidup di bawah tekanan. Bahkan saya secara tegas tetap menolak film yang berisi kebohongan itu.
 Setidaknya, kebohongan menurut versi yang selama ini diketahui. Jelas kalah suara kan?
Tapi dasar kepala batu, ya tetap bersikeras meninggalkan kelas, meski tetap harus fair kepada mereka yang lain yang ingin melanjutkan pelajaran.
Dari Tidak Tahu Menjadi Tahu
Di titik itu, satu babak baru akan pemahaman di mulai. Hubungan Indonesia-Australia yang benci tapi rindu dan takut pun membuat hal yang selama ini tabu untuk diketahui semakin terbuka.
Dari itu, saya mulai berusaha melahap buku buku, surat kabar. Kemudian awal internet masuk.Â
Mate, internet explorer dengan dial up internet access itu lama banget tau, kalian kids jaman now ga akan sanggup.
Namun di situ, pengetahuan tentang apa yang tidak pernah diberitakan di Indonesia karena sensor dan lainnya pun betul-betul dipahami dengan baik.
Bahkan, warga negara Australia mengkritisi keras Perdana Menteri mereka dan hubungannya dengan Indonesia karena dianggap "terlalu dekat dengan Soeharto".
Kita betul-betul Macan Asia, pada saat itu. Hijrah ke Melbourne, Victoria menjadikan rasa Nasionalisme semakin besar.
Tercatat pada masa itu ada sekitar 6.000 pelajar Indonesia di Australia.Â
 Dan hari demi hari terkadang kami, para perantau Indonesia harus 'sedikit bentrok' dengan rasisme atau sentimen terhadap Asia yang dianggap mengambil lapangan pekerjaan mereka yang asli Australia. Sampai-sampai harus merasakan dilempari akibat demo besar di luar konsulat oleh para pendukung kemerdekaan East Timor, atau yang sekarang dikenal dengan Timor Leste.
Orang East Timor, membenci kami. Ini sedikit tautan berita dari tahun 1986
Ancaman dari Macan Asia
The Smiling General adalah seorang negarawan yang ulung. Ahli strategi? Jelas.
Satu ketika halaman depan terpampang besar-besar ancaman Jenderal L.B Moerdani kepada Australia. Bahwa kalau Australia masih saja sulit menghargai kedaulatan Republik Indonesia, dalam waktu kurang dari 2x24 jam, Â maka Bendera Indonesia Merah Putih akan berkibar di sebagian Wilayah Australia, dan menjadi Provinsi ke 29,30 dan seterusnya.
Ini adalah sebuah ancaman serius yang datang dari sebuah negara tetangga. Persekusi dan intimidasi verbal pun dirasakan di ruang kelas. Wong Ndeso mana ngerti masalah hukum?
Demokrasi pun tak kenal, kokot bisu kok diajak debat, ya maleslah! Pukulan pun melayang ke mereka sampai ancaman dikeluarkan dari kampus dan dideportasi pun datang dari dekan.
Itu pun masih dilawan, kok. Kali ini dengan diplomasi. Bahwa dengan gamblang mengatakan ancaman diberhentikan dari kampus dengan tidak hormat dan deportasi tidak sedikitpun mengecilkan hati. Karena niat merantau untuk mencari ilmu dan belajar hidup, bukan untuk mendapatkan perlakuan persekusi atau rasialis di ruang kelas.
Dengan pertimbangan itu dan sedikit 'amaran halus' akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan di kampus tersebut.
Terus terang saja, pelajaran diplomasi dengan sedikit penekanan ini darimana lagi kalau bukan dari mendiang The Smiling General?Â
Sabar Atine, Saleh Pikolahe, Sareh Tumindake .Pitutur Jawa ini lah yang menjadi pengingat akan seseorang bernama Haji Muhammad Soeharto, seorang Bapak Pembangunan, Wong Ndeso yang lahir di Desa Kemusuk pada 8 Juni 1921 dan wafat pada tanggal 27 Januari 2008. Â Seorang Presiden Republik Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai dengan 1998. Â
Pro dan Kontra bukanlah bagian dari tulisan, hanya berusaha belajar dari sebuah sudut pandang yang bisa jadi terasa kental subyektivitasnya, karena cara pandang dan ingatan yang tentu sedikit berbeda. Orde Baru dan Soeharto adalah sebuah masa dan sejarah di Republik Indonesia.
Satu juta perbuatan baik hanya akan diingat sesaat, sementara satu perbuatan buruk akan diingat selamanya.
Sugeng Tanggap Warsa, Bapak Haji Muhammad Soeharto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H