Gesekan Etnis Era 80’an. Kisah Rumah Gedongan dan Rasialisme
Bukannya gesekan tak pernan ada, sebagaimana saudara sekandung yang tentu pernah berselisih paham. Semarang di era awal 80’an pun mengalami gesekan etnis yang pada waktu itu hampir meluas. Gesekan antara apa yang diklaim pada saat itu sebagai pribumi dengan pendatang terjadi karena sempat terjadi ekslusivitas kecil di masing masig etnis grup, dan pada umumnya, masalah strata sosial.
Gesekan kelompok kecil yang hampir membesar. Yang pada akhirnya memberikan sedikit ingatan buruk dan juga ‘sekat’ yang tak kelihatan antar kelompok etnis sendiri. Penulis sempat menyaksikan dan bahkan mengalami masa itu.
Ketakutan .Saat melihat rumah gedongan ekslusif tetangga yang dilempari batu. Juga oleh tetangga sendiri, sayangnya.
Bullying rasial pun dirasakan. Terlahir dengan perawakan bak etnis yang konon dari seberang, memang sedikit bikin kewalahan. Harus melawan dan memberontak menjadi terbentuk karena bullying rasialis seumuran yang sepertinya pada masa itu lazim dilakukan. Bukan salah mereka, anak seumuran.Namun pemikiran yang ditanam oleh orang tua dan lingkungan masing masing lah yang menjadi penyebab dan sekat sekat itu sendiri.
Pola pikir dan sekat itu sendiri terbangun kebanyakan melalui cara diturunkan.
Sekat yang pada tahun 90’an kemudian berusaha didobrak oleh generasi dibawahnya. Membaur, antara satu dan yang lainnya. Tetaplah, ada kelompok yang berusaha mempertahankan roots hardcore masing masing. Meski semakin hari, menjadi semakin kecil dan semakin tidak terlihat. Era Kepresidenan Gus Dur semakin membawa angin segar untuk perubahan ini, terutama di Kota Semarang.
Keturunan Etnis Tionghoa, yang sedari awal juga menjadi bagian historis dari sejarah Kota Semarang pun semakin membuka diri, tanpa kekhawatiran dan prasangka. Etnis keturunan dan keyakinan lain yang semula sempat juga menutup diri pada akhirnya pun berusaha belajar akan perbedaan masing masing. Terbuka, dan membaur kembali.
Narkoba dan Pembauran .
Satu sisi lain dari sebuah Kota Pelabuhan seperti Semarang adalah sejarah akan Pakter Madat atau Lisensi Perdagangan Candu dari seorang yang lebih dikenal dengan julukan Raja Gula Semarang, Oei Tiong Ham. Berpusat di Semarang dengan daerah pengelolaan mulai dari Semarang, Surakarta, Yogyakarta dan Surabaya- Kediri, Oei Tiong Ham yang bisnis utamanya adalah perkebunan tebu dan perdagangan gula mampu meraih keuntungan dengan jumlah yang kurang lebih besarannya sama dengan nilai 92 Milyar Rupiah pada masa ini- setiap tahunnya.