Defisit transaksi berjalan triwulan pertama 2020 lebih rendah dari 1,5% PDB. Hal ini terjadi karena penurunan ekspor akibat perlambatan permintaan dunia, terganggunya supply cain dan serta rendahnya harga komoditas global di masa COVID-19. Meskipun begitu neraca perdagangan Indonesia surplus pada triwulan-I sebesar 2,62 miliar dolar AS yang disebabkan oleh besarnya penurunan Impor.
Cadangan devisa pada akhir bulan April meningkat sebesar 127,9 miliar dolar AS jika dibandingkan dengan akhir Maret yang sebesar 121,0 miliar dolar AS. Hal ini terjadi karena penerbitan global bond senilai 4,3 miliar dolar AS oleh Pemerintah. Penerimaan devisa pariwisata terjadi penurunan yang jauh lebih rendah yaitu 3,6 miliar dolar AS dari perkiraan sebelumnya karena hanya memperhitungkan penurunan devisa dari sisi jumlah wisatawan asing yang masuk. Namun nyatanya terjadi travel ban ke luar negeri sehingga mengurangi penggunaan devisa dari wisatawan nusantara yang tidak jadi keluar negeri.
Dengan melihat kondisi ini Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga acuan (BI-7DRRR) denga pertimbanan bahwa suku bunga telah diturunkan sebanyak 2 kali. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi maka Bank Indonesua melakukan quantitative easing, relaksasi kebijakan makroprudensial, dan akselerasi sistem pembayaran digital.
Bank Indonesia telah mencapai kesepakatan kerja sama repurchase agreement lune (repo line) dengan The Federal Reserve Bank senilai 60 miliar dolar, Bank for International Settlements 2,5 miliar dolar AS, Monetary Aithority of Singapore 3 miliar dolar AS dan bank sentral lain senilai 500juta – 1 miliar dolar AS. Hal ini dimaksudkan untuk digunakan sewaktu-waktu dalam menambah likuiditas dolar AS, meskipun tidak akan menambah cadangan devisa.
Kemudian BI menegaskan kembali bahwa kewenangan bagi BI untuk membeli SBN (SUN/SBSN) jangka panjang di pasar perdana bukan sebagai bail-out namun sebagai “last resort” untuk membantu pemerintah dalam menangani pembiayaan penanganan dampak penyebaran COVID-19.
MEI
28 Mei 2020 nilai tukar rupiah stabil pada level Rp 14.600 per dollar AS. Kondisi nilai tukar ini masih undervalued dan belum menguat ke titik fundamentalnya. Pergerakan nilai tukar rupiah masih akan meningkat lagi jika dilihat dari faktor fundamentalnya yaitu inflasi yang masih rendah terkendali sebesar 0,09% (mtm) atau 2,21% (yty). Rendahnya inflasi terjadi karena penurunannya permintaan masyarakat bersamaan dengan penurunannya pendapatan, dan rendahnya harga komoditas global yang mempengaruhi harga barang impor (imported inflation). Defisit transaksi berjalan yang terus menurun mencapai 3,9 miliar AS atau 1,4% dari PDB, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan devisit pada triwulan sebelumnya tairu 8,1 miliar dolar AS.
Penurunan defisit neraca berjalan dipengaruhi oleh penurunan defisit pada jasa transportasi karena berkurangnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Permintaan domestik yang melambat mempengaruhi penurunan Impor dan mengurangi dampak penurunan ekspor akibat kontraksi ekonomi dunia. Pergerakan nilai tukar rupiah jangka pendek dipengaruhi oleh pernyataan board members The Fed yang menyampaikan bahwa ekonomi AS akan membaik pada semester II 2020. Beberapa sentimen negatif yang dapat mempengaruhi rupiah seperti ketegangan hubungan antara AS dengan Tiongkong, Korea Utara dengan Korea Selatan.
Inflow modal asing tercatat sebesar Rp 6,15 triliun pada minggu II Mei 2020, meningkat jika dibandingkan dengan I Mei 2020 yang hanya sebesar Rp. 2,97 triliun. Namun di sisi lain, saham masih mencatat outflow sebesar Rp 2,72 triliun. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan-! 2020 tercatat 2,97% (yoy). Konsumsi rumah tangga tercarar 2,84% (yoy), Investasi tumbuh melambat sebesar 1,7%. Untuk menahan turunnya permintaan domestik maka pemerintah merespon melalui konsumsi yang tumbuh 2,74% (yoy).
Pada bulan ini, Bank Indonesia memperkuat likuiditas perbankan dengan menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprdensial sebesar 200 bps melalui pembelian SUN/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah di pasar perdana.
Quantitative Easing dengan injeksi liquiditas ke perbankan dengan jumlah total mencapai sekitar Tp 583,5 triliun, melalui pembelian SBN, repo, penurunan GWM, FX Swap, dan tidak mewajibkan tambahan giro bagi yang tidak memenuhi RIM. Quantitative Easing ini akan berdampak kepada sektor rill sejalan dengan dukungan dari stimulus fiskal (jaring pengaman sosial, insentif industri, KUR, dan lainnya). Pembelian SBN oleh Bank Indonesia di pasar perdana sebesar 23,98 triliun dan di pasar sekunder sebesar Rp 166,21 triliun untuk stabilisasi pasar. Posisi kepemilikan SBN oleh BI per 26 Mei 2020 sebesar Rp443,48 triliun.