"Benar ucapan, belum tentu benar di hati. Bukannya kalian barusan mau beli contongan? Karna apa lantas berubah keinginan?"
"Terus terang, saya dan teman-teman ini kagum pada ucapan Mbok, terutama masalah lampu templok tadi.."
"Nah, betul kan? Terpaksa bukan karena dengan kekerasan. Nak, bisa jadi orang terpaksa karena hal-hal yang halus dan samar-samar. Seperti rasa kagum! yang memaksamu membeli dengan cara menebas!"
"Wah, wah...boleh juga Mbok Sangreh ini?," decak salah seorang mahasiswa itu. "Kalau begitu beli tiga puluh contong sajalah!"
"Lho, kamu ini bagaimana sih. Inipun cara tebas! Sudahlah, nak. Beli yang wajar-wajar saja. Empat contong saja?"
"Yang lain buat teman-teman nanti malam, Mbok. Ada rapat...." Celetuk yang lainnya bernada serius.
"Lho, betul? Ada rapat mau dikasih sangreh?" ucap Mbok Sangreh ringan seraya memasukkan contong-contong ke dalam tas kresek, "kalau begitu boleh-boleh saja. Mbok yang ngalah!"
"Nah, begitu!," girang yang lain sambil menyambar dua atau tiga butir kacang yang belum dicontong, lalu dimasukkan ke mulutnya.
"Eh, ya. Mahasiswa sekarang kok sering rapat? Pertemuan? Apa belum selesai masalah unjuk rasa?," gumam Mbok Sangreh santai, "apa kalian mau demo lagi?"
Mendengar celoteh Mbok Sangreh serentak semua yang medengar tertawa lebar. Keren benar si Mbok ini, gumam salah seorang. Si Mbok saja sudah tahu persoalan ruwet negeri ini, tapi kenapa hanya sedikit mahasiswa yang sadar. Benar-benar jaman telah merubah segalanya.
"Ini kembaliannya. Tiga puluh contong kali seribu. Semuanya tiga puluh ribu. Kembaliannya dua puluh ribu" Mbok Sangreh menjulurkan tangannya setelah benar-benar yakin dengan hitungan uang kembalian itu.