Dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Seorang guru apabila mendapati muridnya melakukan kesalahan atau melanggar kedisiplinan seharusnya memberikan hukuman yang sifatnya mendidik dan tidak dibenarkan melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap muridnya.
Sosok Supriyani merupakan seorang guru (honorer) pada SD Negeri 4 Baito di Kabupaten Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara) yang menjadi heboh dengan kasus dugaan penganiayaan terhadap salah satu anak didiknya. Bagaimana mungkin seorang guru yang notabene seharusnya mendidik serta memberikan rasa nyaman dan aman kepada anak didiknya malahan melakukan perbuatan pidana terhadap anak didiknya tersebut. Apalagi perbuatan tersebut dilakukan terhadap anak yang masih kecil (peserta didik kelas 1 Sekolah Dasar).Â
Namun demikian hal tersebut masih menjadi dugaan sampai dapat dibuktikan dalam persidangan nantinya, sehingga terhadap yang bersangkutan tetap harus diberlakukan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).Â
Bukan baru kali ini saja seorang guru dijerat dengan hukum pidana akibat dugaan melakukan tindak pidana terkait dengan tugasnya dalam mendidik putra-putri harapan bangsa. Beberapa kejadian dan di berbagai tempat pada akhirnya telah diselesaikan melalui jalur hukum.Â
Kasus Supriyani ini berawal dari laporan oleh orang tua siswa yang kebetulan adalah seorang anggota Kepolisian kepada pihak kepolisian sektor Baito atas dugaan penganiayaan terhadap anaknya (inisial D), yang merupakan salah satu siswa SD Negeri 4 Baito. Kebetulan pula pelapor ini adalah anggota kepolisian yang bertugas di Kepolisian Sektor Baito tersebut dengan jabatan Kanit Intelkam.Â
Dalam laporannya pelapor menduga telah terjadi penganiayaan terhadap anaknya tersebut setelah melihat adanya bekas luka memar pada bagian tubuh anaknya tersebut. Menurut pelapor pula berdasarkan keterangan anak tersebut luka lebam pada tubuhnya akibat dipukul oleh gurunya (Supriyani), pada hal dalam pengakuan sebelumnya luka tersebut akibat jatuh di sawah. Awalnya pihak keluarga juga merasa enggan untuk melaporkan kasus tersebut dan beberapa kali usaha mediasi dilakukan diantara kedua belah pihak, Â namun tidak menemukan titik temu.Â
Pihak Supriyani sendiri membantah melakukan pemukulan terhadap anak pelapor tersebut dengan dasar yang bersangkutan sendiri bukanlah guru yang mengajar anak pelapor dimaksud, sehingga keduanya jarang melakukan interaksi. Terlebih pada saat kejadain Supriyani tidak berada dalam kelas korban.
Kasus yang menjerat Supriyani inipun terus bergulir bukan hanya pada proses hukum yang terus berjalan, namun juga dampak atas penanganan kasus tersebut. Mulai dicopotnya Sudarsono Mangidi selaku Camat Baito oleh Bupati Konawe Selatan Sarubuddin Dangga dengan alasan yang bersangkutan tidak pernah melaporkan kasus guru Supriyani tersebut sehingga dianggap tidak profesional dalam menjalankan tugas sebagai camat. Demikian pula salah seorang kuasa hukum Supriyani yang bernama Samsuddin dicopot pula dari statusnya sebagai Ketua LBH HAMI Konawe Selatan dengan alasan adanya perdamaian yang dilakukan antara Supriyani dengan orang tua korban (pelapor) padahal proses persidangan masih berjalan. Terakhir Inspektur Dua M.Idris selaku Kapolsek Baito dan Ajudan Inspektur Dua Amiruddin selaku Kanit Reskrim Polsek Baito juga dicopot dari jabatan masing-masing. Belum lagi kemudian terjadinya penembakan terhadap mobil dinas camat Baito yang biasa digunakan untuk mengantar Supriyani menjalani persidangan.
Proses (hukum) atas laporan tersebut terus berlanjut dengan pelimpahan perkara kepada Kejaksaan Negeri Konawe Selatan. Bahkan terhadap diri Supriyani juga sempat dilakukan upaya paksa berupa penahanan terhadap yang bersangkutan dengan menempatkan pada Rumah Tahanan Negara Perempuan kelas III Kendari. Meskipun pada akhirnya penahanan tersebut ditangguhkan oleh Majelis Hakim, artinya Supriyani dikeluarkan dari rumah tahanan dan bisa menghirup udara bebas lagi.
Dalam surat dakwaannya Jaksa telah mendakwa Supriyani memukul salah seorang siswa didik pada SD Negeri 4 Baito (inisial D) yang merupakan anak dari pelapor dengan menggunakan gagang sapu ijuk yang mengakibatkan korban mengalami luka memar pada bagian paha. Untuk membuktikan dakwaannya tersebut pihak kejaksaan juga mengajukan beberapa bukti antara lain berupa gagang sapu ijuk dan visum et repertum, serta mengenakan Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 70 C Undang Undang tentang Perlindungan Anak. Namun demikian dalam surat tuntutan yang diajukan pihak kejaksaan telah menuntut supaya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengsdili perkara ini melepaskan Supriyani dari segala tuntutan hukum. Jaksa berpendapat perbuatan yang didakwakan kepada Supriyani tersebut yaitu melakukan pemukulan terhadap anak inisial D benar-benar ada dan terbukti, namun perbuatan tersebut tidak didasari adanya suatu niat jahat (mens rea)  sehingga perbuatan Supriyani bukan merupakan suatu tindak pidana.
Hal yang demikian berbeda dan bertolak belakang dengan pihak Supriyani dalam nota pembelaan (pledoi) yang telah disampaikan di persidangan beberapa waktu kemudian, di mana mereka berkesimpulan Supriyani tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwaan oleh Jaksa yaitu melakukan kekerasan terhadap seorang anak inisial D tersebut, sehingga mohon kepada Majelis Hakim untuk membebaskan Supriyani dari dakwaan tersebut. Pihak Supriyani juga mengungkapkan dengan berdasarkan pada keterangan ahli forensik yang berkesimpulan bahwa luka yang terdapat pada anak inisial D tersebut bukan luka yang diakibatkan dari pukulan dengan benda tumpul namun akibat gesekan  benda yang permukannya kasar.
Suatu hal yang wajar dan biasa apabila pendapat Jaksa berbeda bahkan bertolak belakang dengan pendapat dari pihak terdakwa dalam suatu persidangan, karena melihat permasalahan dari sudut dan kepentingan masing-masing.
Dari kedua pendapat yang berbeda tersebut akankah Majelis Hakim dalam putusannya sependapat dengan Jaksa sehingga terhadap Supriyani akan dijatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum karena Supriyani telah terbukti melakukan pemukulan terhadap anak inisial D ataukah justru Majelis Hakim sependapat dengan pihak Supriyani dengan menjatuhkan putusan bebas karena Supriyani tidak terbukti melakukan pemukulan (kekerasan) terhadap anak inisial D tersebut, atau bahkan Majelis Hakim tidak mengikuti pendapat kedua belah pihak yang berperkara dengan mengemukakan pendapat tersendiri dalam pertimbangan hukumnya dengan menyatakan Supriyani terbukti bersalah dalam arti telah melakukan perbuatan kekerasan (dengan cara memukul) terhadap anak inisial D tersebut dan kemudian menjatuhkan pidana penjara terhadap Supriyani.
Proses peradilan kasus Supriyani saat ini telah memasuki babak akhir yaitu tinggal menunggu putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo Kabupaten Konawe Selatan yang rencananya akan dibacakan pada persidangan tanggal 25/11/2024 yang akan datang. Masyarakat umum pasti sangat menantikan hasil persidangan perkara tersebut.
Babak akhir dari suatu proses persidangan di pengadilan adalah putusan yang diucapkan oleh Majelis Hakim. Putusan (pengadilan) tersebut merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum dapat berupa pemidanaan, putusan bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum. Dapat dikatakan putusan (pengadilan) merupakan 'mahkota' bagi seorang hakim, bahkan kwalitas dari seorang hakim dapat dilihat dari putusan yang dihasilkan.
Untuk membuat putusan seorang hakim haruslah memperhatikan segala aspek baik formal maupun materiil sampai dengan kecakapan teknik dalam membuat putusan. Hakim mempunyai kebebasan dalam arti untuk memeriksa dan memutuskan suatu perkara bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari segala pengaruh pihak (luar) yang dapat mempengaruhi keyakinan hakim.Â
Dalam suatu proses perkara pidana setiap dakwaan dan tuntutan harus melalui proses pembuktian yang sah di pengadilan. Sehingga pada akhirnya dalam putusan (pengadilan) yang dibuat oleh hakim didasarkan pada penilaian atas bukti-bukti dan terpenuhinya unsur-unsur dalam surat dakwaan. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dapat diartikan dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang, hakim haruslah dilandasi adanya keyakinan dengan berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti. KUHAP sendiri telah mengatur dan menentukan alat bukti yang sah adalah :
1. keterangan saksi.
2. keterangan ahli.
3. surat.
4. petunjuk.
5. keterangan terdakwa.Â
Dengan demikian dalam kasus Supriyani ini diharapkan hakim akan membuat putusan dengan berdasarkan pada alat-alat bukti yang telah diajukan dan diperiksa dalam persidangan tersebut. Selain itu diharapkan pula hakim lebih mengedepankan hati nurani dalam membuat putusan tersebut sehingga akan tercapai keadilan yang sebenarnya. Â Â
Apapun putusan yang dibuat dan kemudian diucapkan oleh Majelis Hakim dalam persidangan perkara (Supriyani) tersebut harus kita hormati, meskipun tidak semua pihak merasa puas dengan putusan tersebut. Bagi pihak yang merasa tidak puas masih ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.
  Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI