“Mahasiswa kok ngga bawa pulpen, gimana mau belajar?” Jawabnya dengan suara ketus.
Mata indahnya tak mau menatapku. Seakan aku adalah seorang pemangsa di alam liar yang sekejap mematahkan tulang belulang korban tangkapanku. Penampilannya memang cukup menawan. Wajahnya tak ada riasan sedikitpun. Tapi, matanya sangat indah, senyumnya membuatku terbang melintasi awan.
“Nih, pulpenku. Tapi kembalikan ya.” Suara indahnya membangunkanku dari lamunan tentangnya.
“Iya, OK. Pasti aku kembalikan-lah, masa aku bawa pulang. Kalau hatimu bolehlah aku bawa pulang”
“Enak aja, emang loe siapa mau bawa pulang hatiku?” gubrak, seakan dunia kiamat. Wajahku memerah, menahan malu. Seperti menampar pipi kiriku dengan sangat keras.
Aku serasa ingin pindah. Mataku menerawang ruangan, mencari meja yang masih kosong. Tapi semuanya sudah terisi. Wadduh, kakiku seakan terpaku tak bisa bergerak. Baru kali ini ada seorang gadis yang berani berkata seperti itu. Emang daya tarikku udah memudar ya. Ah sudahlah, akhirnya Cuma bisa diam menahan malu. Tapi aku makin penasaran dengan dia.
“Maaf, ini pulpenmu . Terima kasih, lain kali aku pinjam lagi ya.” Kuberi senyum termanis yang kupunya sampai gigi ini kering.
“Iya, lain kali bawa pulpen dong.” Diambilnya pulpen itu dengan wajah tak sedikit pun tertarik dengan senyum manisku.
Aku makin penasaran dengan dirinya. “Harus kudapakan simpatinya”, kataku dalam hati.
Selesai juga kuliah hari ini, perutku memberi sinyal, bahasanya tak lagi kumengerti. Kusapa Ikal yang berdiri di depan ruang kelas, dia bersiap pulang.
“Aku lapar, Kal. Aku ke kantin dulu ya. Trus aku langsung pulang. Kamu naik motor sendiri kan?”