Bagian (1) Mengenalmu adalah hal terindah
Suara khas motor vespa dengan asap tebal terdengar di kumpulan mahasiswa yang sedang berbaris di pelataran kampus. Acara pengenalan kampus pagi itu dimulai tepat waktu sesuai jadwal yang tertera di papan pengumuman kampus. Dua orang mahasiswa terlihat berlari memasuki gerbang
“Kenapa kalian terlambat?” tanya seorang mahasiswa senior yang bertugas sebagai panitia penyambutan mahasiswa baru. Mata-nya melotot, suaranya seakan membelah langit pagi itu.
“ma.. ma.. ma.. maaf Kak, ka.. ka.. ka.. mi”
Belum selesai bicara, Kakak senior itu memotong pembicaraan. Tak memberikan kesempatan kepada dua orang mahasiswa baru (maba) tadi untuk menjawab pertanyaan.
“Kalian berdua berdiri di depan, angkat kaki satu, trus Tarik telinga!” Teriak kakak senior dengan tangan menunjuk ke arah depan. Tatapan matanya sangat tajam seakan ingin melahap habis tubuh kami berdua.
Tanpa berpikir panjang, keduanya berlari menuju ke depan barisan maba yang telah berkumpul beberapa puluh menit yang lalu. Tak selang beberapa menit, keduanya pun berdiri di depan sambil menarik telinga dengan kedua tangan.
“Beginilah jadinya kalau ada yang terlambat. Mulai besok, kalian datang lebih awal. Mengerti?” Teriak seorang senior lain.
“Siap, kak.” Teriakan dengan lantang, penuh semangat oleh seluruh maba.
***
Setelah prosesi pengenalan kampus selama tiga hari, mereka resmi menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa dengan julukan agen of change.
Anak yang terlambat tadi bernama Bahar dan Ikal. Keduanya telah bersahabat sejak kecil. Bukan hanya teman bermain, keduanya juga berasal dari sekolah yang sama.
“Ikal, kita beda kelas ternyata.” Bahar menyapa Ikal dan berlalu, berjalan menuju koridor kampus. Sepertinya dia ingin melihat secarik kertas di pengumuman kampus.
“Tidak apa-apa Har, yang jelasnya kan kita masih bisa berdikusi. Kita kan sekampus. Tak sekelas tak mengapa.” Jawab Ikal menemani Bahar menuju tempat pengumuman.
Keduanya menatap serius secarik kertas yang tertempel di papan pengumuman. Bahar mengeluarkan bolpoin kemudian mencatat jadwal kuliah. Kegiatan belajar-mengajar dijadwalkan hanya berlangsung selama empat hari seminggu. Di dekat pengumuman jadwal kuliah tersebut, terdapat kertas pengumuman himpunan mahasiswa yang mewajibkan seluruh maba untuk mengikuti pengkaderan kepemimpinan.
“Kita harus ikut ini, Har. Kata kakak tingkat, ini wajib diikuti. “
“Emang berapa hari, Kal?” Tanya Bahar sambil berjalan menuju kursi di bawah pohon ketapang.
“Empat hari, Har. Nginap lagi.” Mata Bahar melotot seakan melihat hantu di siang bolong.
Ikal merasa heran. “ Kamu lihat apa sih, Har? kayak lihat hantu aja.”
Beberapa mahasiswi berjalan menuju ruang kuliah. Tatapan mata Bahar tertuju ke salah satu mahasiswi. Jalannya anggun, senyumnya manis. Saat hendak menghilang, mahasiswi itu sempat melirik ke arah Bahar dan berlalu menuju ruang kuliah.
“Itu siapa, Kal?” Tanya Bahar dengan raut wajah penasaran.
“Ingat pacarmu, Har. Jangan karena kalian tak satu kampus, kamu bebas cari cewe’ lain di sini.” Ikal meninggalkan Bahar dengan mendorong perlahan tepat di jidat kanannya. Langkah kakinya sigap menuju kantin.
“Mungkin dia lapar, lupa sarapan di rumah tadi pagi.” Gumam Bahar dalam hati.
Bahar masih penasaran dengan gadis mahasiswi yang berlalu di koridor kampus.
“Itu siapa ya? manis banget.” Ucap Bahar dalam hati sambil memainkan sebuah bolpoin di secarik kertas di tangan kanannya. Matanya masih tertuju ke sudut ruang kelas seolah menunggu seseorang.
Kampus mulai ramai dengan lalu lalang mahasiswa. Pohon ketapang menjadi salah satu tempat favorit untuk menunggu jadwal kuliah. Tersedia banyak tempat duduk, nyaman, dan terlindung dari panasnya sinar matahari.
“Hei, kamu mahasiswa baru ya?” seorang mahasiswa bertanya kepadaku. Dari rambutnya yang gonrong, mungkin dia sudah semester akhir. Jika mahasiswa yang lain memakai sepatu, tidak dengan dirinya yang santai menggunakan sandal khas pendaki gunung.
“Iya Kak, saya maba. Ada apa Kak?” tanyaku sambil mengangkat dagu, memalingkan pandangan ke arah wajahnya, takut dianggap tidak sopan, padahal masih seorang maba.
“Tolong beritahu teman kelasmu, semua maba wajib ikut kegiatan pengkaderan kepemimpinan!” Dengan nada agak keras , kening mengerut, dan berlalu meninggalkanku.
Aku melihat jam tangan, jarum pendek menunjuk angka 10, waktu mata kuliah perdana di kelas lantai satu. Saat berjalan masuk ke ruang kelas, sepasang bola mata indah terkunci di tatapku.
“Ini cewe’ yang tadi, rupanya aku sekelas dengannya.” Aku sengaja mengambil kursi tepat di sampingnya.
“Aneh, baru kali ini ada cewe’ tak melirik sekali pun, padahal aku ada di samping kanannya”. Berbisik di hatiku sembari menatap ke arah gadis itu.
“Maaf, bisa pinjam pulpen-nya?” tanyaku sambil menunduk, takut melihat indah bola matanya.
“Mahasiswa kok ngga bawa pulpen, gimana mau belajar?” Jawabnya dengan suara ketus.
Mata indahnya tak mau menatapku. Seakan aku adalah seorang pemangsa di alam liar yang sekejap mematahkan tulang belulang korban tangkapanku. Penampilannya memang cukup menawan. Wajahnya tak ada riasan sedikitpun. Tapi, matanya sangat indah, senyumnya membuatku terbang melintasi awan.
“Nih, pulpenku. Tapi kembalikan ya.” Suara indahnya membangunkanku dari lamunan tentangnya.
“Iya, OK. Pasti aku kembalikan-lah, masa aku bawa pulang. Kalau hatimu bolehlah aku bawa pulang”
“Enak aja, emang loe siapa mau bawa pulang hatiku?” gubrak, seakan dunia kiamat. Wajahku memerah, menahan malu. Seperti menampar pipi kiriku dengan sangat keras.
Aku serasa ingin pindah. Mataku menerawang ruangan, mencari meja yang masih kosong. Tapi semuanya sudah terisi. Wadduh, kakiku seakan terpaku tak bisa bergerak. Baru kali ini ada seorang gadis yang berani berkata seperti itu. Emang daya tarikku udah memudar ya. Ah sudahlah, akhirnya Cuma bisa diam menahan malu. Tapi aku makin penasaran dengan dia.
“Maaf, ini pulpenmu . Terima kasih, lain kali aku pinjam lagi ya.” Kuberi senyum termanis yang kupunya sampai gigi ini kering.
“Iya, lain kali bawa pulpen dong.” Diambilnya pulpen itu dengan wajah tak sedikit pun tertarik dengan senyum manisku.
Aku makin penasaran dengan dirinya. “Harus kudapakan simpatinya”, kataku dalam hati.
Selesai juga kuliah hari ini, perutku memberi sinyal, bahasanya tak lagi kumengerti. Kusapa Ikal yang berdiri di depan ruang kelas, dia bersiap pulang.
“Aku lapar, Kal. Aku ke kantin dulu ya. Trus aku langsung pulang. Kamu naik motor sendiri kan?”
“Iya, sono makan. Aku duluan ya,aku bawa motor kok.” Kata Ikal, tangannya memegang kunci motor, dia pamit ke teman kelasnya.
Keduanya seolah bersulang dan mengambil arah jalan berlawanan.
“Kenapa aku tidak tanya nama cewe tadi ya?” Bisik Bahar dalam hati. Bahar sangat penasaran dengan mahasiswi tadi. Kenalan saja belum sempat. “Aku harus tahu namanya besok saat kuliah pagi.” Bahar mencoba meyakinkan dirinya.
Mungkin ini yang namanya jatuh cinta
Pada pandangan pertama…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H